
JAKARTA – Jakarta masih diselimuti suasana gamang pada 10 September 1945. Proklamasi kemerdekaan baru saja dikumandangkan tiga minggu sebelumnya, namun gelombang ancaman belum surut.
Tentara Jepang masih bercokol, sekutu bersiap mendarat, dan Belanda hendak kembali menegakkan kolonialisme. Di tengah ketidakpastian itu di sebuah ruangan sederhana, sekelompok pemuda bekas pelaut dan mantan anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) berkumpul.
Dari pertemuan itulah lahir Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) yang kelak menjadi cikal bakal TNI Angkatan Laut.
Sejarah ini sering luput dari sorotan publik, tertutup gegap gempita kisah pertempuran darat seperti Pertempuran Surabaya atau Palagan Ambarawa. Namun, tanpa kehadiran armada laut, Indonesia mungkin tidak pernah bisa menjaga pintu-pintu perairan, jalur perdagangan, dan kedaulatan maritim yang menjadi denyut nadi Nusantara.
Bagi bangsa yang terdiri dari belasan ribu pulau, laut bukan sekadar bentangan biru di peta. Laut adalah penghubung, jalur kehidupan, sekaligus medan perebutan kuasa. Sejak masa Sriwijaya hingga VOC, kekuatan laut selalu menentukan.
Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, semangat rakyat membara. Namun, revolusi tidak hanya soal mengibarkan bendera, melainkan juga melindungi tanah air dari upaya kolonial yang datang kembali.
Di pelabuhan-pelabuhan seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan, para pelaut dan buruh pelabuhan menyadari satu hal bahwa kemerdekaan akan rapuh bila laut tetap dikuasai pihak asing.
Pemerintah yang baru lahir menghadapi dilema. Pasukan bersenjata belum terbentuk. Maka, strategi awal adalah membentuk badan-badan keamanan rakyat, bukan tentara resmi agar tidak menimbulkan kecurigaan sekutu. Dari sinilah lahir BKR Darat, BKR Udara, dan tentu saja BKR Laut.
Pertemuan di Jakarta 10 September 1945
Di dalam catatan sejarah, pada tanggal 10 September 1945 berlangsung rapat penting di Jakarta. Rapat itu dipimpin oleh tokoh-tokoh kelautan yang sebelumnya pernah bergabung dalam Kaigun atau bekerja di pelayaran sipil.
Nama-nama seperti Mas Pardi yang kemudian dikenal sebagai “Bapak Pelayaran Indonesia”, menjadi motor penggerak. Mas Pardi atau yang lebih lengkapnya Laksamana Muda Mas Pardi, bukan nama yang sering terdengar dalam buku pelajaran. Tetapi, bagi sejarah kelautan Indonesia, ia adalah pionir.
Sebelum kemerdekaan, Mas Pardi sempat menempuh pendidikan di Sekolah Pelayaran di Semarang, lalu bergabung dengan Kaigun Jepang sebagai instruktur. Setelah proklamasi, dia segera melihat kebutuhan mendesak untuk melindungi lautan Nusantara.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 3 September, Pertempuran Ain Jalut: Terhentinya Invasi Mongol di Tanah Arab
Bersama rekan-rekannya, ia menggagas perlunya wadah khusus untuk para pelaut, taruna, dan teknisi yang memiliki keahlian kelautan. Dari diskusi yang penuh semangat itu, diputuskanlah pembentukan Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut).
Mas Pardi tidak hanya membentuk BKR Laut, tetapi juga mengorganisasi latihan-latihan dasar, mengatur struktur komando, dan memobilisasi bekas taruna pelayaran.
Di masa itu senjata pun terbatas. Banyak anggota BKR Laut hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang hasil rampasan, atau bahkan tangan kosong. Meski tanpa fasilitas canggih, BKR Laut berhasil menciptakan jaringan awal pertahanan maritim.
Di beberapa tempat, mereka bahkan mengambil alih kapal-kapal kecil milik Jepang atau perusahaan Belanda. Kapal-kapal itu kemudian menjadi “embrio” armada Indonesia.
Tujuannya sederhana tetapi krusial, yaitu menjaga pelabuhan, melindungi kapal-kapal, dan mencegah infiltrasi musuh melalui laut. Dengan segala keterbatasan, mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih kuat akan keyakinan pada republik yang baru lahir.
Perjuangan yang sunyi
Bayangkan suasana kala itu. Di Laut Jawa kapal-kapal patroli Belanda bersiap kembali. Di Selat Malaka kapal dagang asing masih berlalu lalang. Kemudian di Samudra Hindia jalur laut vital bagi pasokan pangan dan senjata terbuka lebar.
Para anggota BKR Laut yang banyak di antaranya pemuda berusia belasan tahun mengambil posisi di dermaga, menyalakan obor semangat, dan kadang harus menyamarkan identitas agar tidak ditangkap Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa di Tanjung Priok, para anggota BKR Laut melakukan aksi perebutan kapal kecil dari Jepang. Mereka tidak punya artileri, tetapi keberanian dan jumlah massa membuat Jepang akhirnya menyerahkan kendali. Peristiwa-peristiwa seperti ini meski kecil adalah cikal bakal berdirinya kekuatan laut di republik ini.
Berbeda dengan pertempuran darat yang sering diabadikan dalam foto atau laporan, perjuangan di laut berjalan senyap. Tidak banyak kisah heroik BKR Laut yang dikenal luas. Padahal, mereka menjaga kerja-kerja vital seperti distribusi beras antarpulau, arhus logistik senjata dari luar negeri, hingga jalur komunikasi diplomasi.
Tanpa mereka mungkin pasukan di Surabaya tidak mendapat suplai senjata. Tanpa mereka mungkin Sumatra dan Jawa terputus dalam komunikasi.
Di titik inilah, kita memahami bahwa BKR Laut adalah fondasi tak terlihat dari sebuah negara kepulauan yang baru lahir.
Pergantian nama BKR Laut hingga TNI AL
Tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai tentara resmi negara. BKR Laut pun bermetamorfosis menjadi TKR Laut. Dari sana, garis sejarah terus bergulir hingga akhirnya melahirkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).
Proses transformasi ini tidak mulus. Peralatan terbatas, pelatihan minim, dan tekanan musuh terus datang. Namun, semangat yang ditanamkan pada 10 September 1945 tidak pernah padam.
Sebab itulah, kisah perjuangan dari jalur laut itu membuat Indonesia disebut sebagai negara maritim dengan slogan poros maritim dunia. Semangat yang sesungguhnya sudah dicanangkan oleh generasi 1945. Mereka sadar, tanpa menguasai laut, Indonesia hanya akan menjadi penonton di halaman sendiri.
BKR Laut mungkin hanya bertahan sebentar sebelum bertransformasi, tetapi momen 10 September 1945 adalah tonggak. Dari sana lahirlah tradisi pertahanan maritim yang terus tumbuh hingga hari ini.
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H] 11 September, Kudeta di Langit Santiago Ketika Chili Terbelah – Rasinesia