[1D1H] 11 September, Kudeta di Langit Santiago Ketika Chili Terbelah

Serangan ke Istana La Moneda oleh Pihak Militer. Foto:  People’s World

 

JAKARTA – Kota Santiago terbangun dengan suara yang tidak biasa pada 11 September 1973. Deru pesawat tempur Hawker Hunter milik angkatan udara memecah kesunyian pagi ibukota Chili itu.

Langit yang biasanya hanya diisi kabut musim semi mendadak bergemuruh. Dari jendela-jendela rumah, warga menatap ke arah pusat kota. Di sana berdiri istana La Moneda, simbol pemerintahan dan tempat di mana Presiden Salvador Allende tengah bersiap menghadapi hari terakhirnya.

Hari itu Chili berubah selamanya. Kudeta militer mengguncang negeri Andes yang tenang, menjatuhkan seorang presiden yang terpilih secara demokratis sekaligus membuka jalan bagi kediktatoran Augusto Pinochet.

Jika menilik ke belakang sejenak, Chili adalah negara yang unik. Sempit, panjang, terjepit di antara Samudra Pasifik dan Pegunungan Andes. Lebih dari sekadar lanskap wilayah yang terapit, negara ini adalah laboratorium politik abad ke-20.

Pada awal 1970-an, Salvador Allende yang merupakan seorang dokter dan sosialis berhasil memenangkan pemilu. Dia adalah presiden sosialis pertama di dunia yang terpilih melalui pemilu demokratis.

Kebijakan Allende seperti nasionalisasi tambang tembaga, reformasi agraria, dan peningkatan program sosial, membuatnya dicintai kaum buruh dan petani. Tetapi langkah itu juga memicu kecemasan kalangan elit bisnis, oposisi politik, hingga pemerintah Amerika Serikat yang khawatir Chili menjadi Kuba kedua di Amerika Latin.

Di jalan-jalan Santiago, poster Allende terpampang di dinding-dinding. Sementara di pasar rakyat biasa mulai merasakan kelangkaan barang akibat boikot ekonomi dan krisis inflasi. Seperti gelombang yang kian membesar, ketegangan politik dan sosial terus menekan pemerintahannya.

Pada 11 September 1973, tanda-tanda kudeta itu dimulai dengan jelas. Unit-unit militer bergerak ke posisi strategis. Radio-radio menyampaikan kabar samar kalau kudeta sedang berlangsung.

Di dalam La Moneda, Salvador Allende menolak menyerah. Dia mengenakan helm baja, membawa senapan AK-47 hadiah dari Fidel Castro dan dikelilingi oleh pengawal setia. Salvador Allende menolak tawaran untuk dievakuasi dan memilih bertahan di istana kepresidenan.

“Saya tidak akan mundur karena saya memiliki mandat dari rakyat.” Itu adalah sikap terakhirnya yang tertuang dalam catatan sejarah Chili.

Di luar istana, pesawat tempur mulai menukik. Menjatuhkan bom di atas La Moneda. Ledakan seketika mengguncang pusat kota Santiago. Asap mengepul, kaca pecah, dan api melalap dinding istana. Dari luar, warga hanya bisa menyaksikan sejarah sedang ditulis dengan api dan besi.

Kematian Allende

Kisah tentang detik-detik terakhir Allende hingga kini masih diselimuti kontroversi. Sebagian sumber menyebut dia bunuh diri menggunakan senapan yang digenggamnya. Versi lain menuding dia ditembak oleh pasukan yang menyerbu.

Namun, di balik ketidakpastian itu, satu hal jelas bahwa pada siang hari 11 September 1973, Salvador Allende sudah tiada. Dia menjadi simbol seorang pemimpin yang bertahan di tengah badai dan memilih mati di kursi kepresidenan daripada menyerahkan mandat rakyat kepada militer.

Dari reruntuhan La Moneda, muncul nama baru yaitu Jenderal Augusto Pinochet. Hingga hari-hari sebelum kudeta, Pinochet dikenal sebagai perwira militer konservatif namun tidak menonjol. Tetapi pada 11 September, Pinochet menjadi arsitek kudeta yang memimpin junta militer merebut kekuasaan.

Pinochet segera mengumumkan pemerintahan militer. Konstitusi ditangguhkan, partai politik dilarang, dan media dibungkam. Ribuan orang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang hilang. Stadion nasional di Santiago berubah menjadi penjara terbuka tempat ribuan tahanan politik dijejalkan.

Bagi sebagian warga, Pinochet membawa “stabilitas” dan ekonomi pasar bebas yang didukung oleh ekonom Chicago Boys. Namun bagi ribuan keluarga, dia membawa luka mendalam yang tak pernah sembuh seperti kehilangan orang-orang tercinta, ketakutan, dan teror negara.

Kudeta yang dilakukan ini tidak serta merta terjadi dalam ruang kosong begitu saja. Dokumen-dokumen yang belakangan dibuka menunjukkan keterlibatan CIA dalam melemahkan pemerintahan Allende. Dari blokade ekonomi hingga pendanaan oposisi, bayangan Perang Dingin membayangi Chili.

Bagi Washington, menggulingkan Allende berarti mencegah dominonya jatuh ke sosialisme. Tetapi bagi rakyat Chili, ini adalah puluhan tahun hidup di bawah rezim militer.

Desaparecidos dan luka kolektif warga Chili

Jika berjalan di Santiago hari ini, kita masih bisa menemukan jejak 1973. Di dinding kota, mural bergambar wajah Allende berdampingan dengan tulisan “Nunca Más” yang berarti jangan pernah lagi.

Di museum hak asasi manusia, kisah korban rezim Pinochet dituturkan dengan suara lirih. Foto-foto hitam putih para desaparecidos atau orang hilang berjejer, menatap pengunjung dengan tatapan yang membeku dalam waktu.

Bagi keluarga korban, 11 September 1973 bukan hanya tanggal dalam kalender, tetapi awal dari kehilangan. Seperti gunung berapi yang meletus, kudeta itu menyisakan lava sosial yang mengalir hingga puluhan tahun.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 10 September, Lahirnya Badan Keamanan Rakyat Laut

Jika dihitung, Pinochet berkuasa di Chili selama 17 tahun. Di masa itu, Chili mengalami pertumbuhan ekonomi sekaligus ketidakadilan sosial yang tajam. Baru pada 1990 melalui referendum dan transisi demokrasi rezimnya akhirnya berakhir.

Tetapi perdebatan tetap hidup. Sebagian kalangan mengingat Pinochet sebagai penyelamat dari krisis, sementara yang lain mengutuknya sebagai diktator yang berdarah dingin.

Di balik perdebatan itu, bayangan Salvador Allende tetap hadir sebagai simbol demokrasi yang digulingkan oleh kekerasan.

Sekarang, istana La Moneda telah kembali berdiri megah, direstorasi dari puing-puing yang terbakar. Namun, bangunan itu bukan hanya simbol pemerintahan, melainkan juga monumen saksi dari sebuah tragedi pilu di Chili.

Di ruang bawah tanahnya terdapat sebuah museum kecil mengenang Allende. Kacamata logamnya yang bengkok ditemukan di reruntuhan pasca pengeboman. Kacamata itu dipajang dalam kotak kaca. Benda sederhana itu, lebih dari ribuan kata menceritakan tragedi sebuah bangsa.

Seperti ombak Pasifik yang terus menghantam pantai Chili, ingatan tentang 11 September 1973 tidak pernah benar-benar padam.

Hari itu adalah titik balik ketika demokrasi runtuh di bawah sayap pesawat tempur dan sebuah bangsa terbelah antara mereka yang mendukung stabilitas militer dan mereka yang merindukan demokrasi.

Di mata sejarah dunia, kudeta Chili menjadi peringatan betapa rapuhnya demokrasi dan betapa cepatnya kebebasan bisa runtuh bila senjata berbicara.

Dan di hati rakyat Chili, nama Salvador Allende tetap hidup bersama bisikan perjuangan yang terus menggema,

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 11 September, Kudeta di Langit Santiago Ketika Chili Terbelah”

  1. Pingback: [1D1H] 12 September, Hari Pertempuran Wina Ketika Dua Dunia Bertabrakan – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top