[1D1H] 2 September, Mengenang Kebakaran Besar London 1666

Lukisan Kebakaran London 1666 oleh Philip James de Loutherbourg (1797). Foto: Science Source

 

JAKARTA – Pada dini hari 2 September 1666 di sebuah toko roti sederhana di Pudding Lane, sebuah percikan kecil menyalakan salah satu bencana perkotaan terbesar dalam sejarah Inggris.

Dari nyala api tunggal di oven Thomas Farriner, lahir amukan yang akan melahap London selama empat hari. Menghancurkan lebih dari 13.000 rumah, 87 gereja paroki, dan sebagian besar jantung ekonomi kota.

Hari ini, lebih dari tiga abad kemudian, jejak kebakaran itu masih bersemayam dalam ingatan kolektif warga Inggris. Kota modern dengan gedung-gedung kaca dan baja menjulang seolah berdiri menutupi abu masa lalu.

Namun, bagi siapa saja yang menelusuri jalanan sempit bersejarah di kawasan tua London ini, bayangan api tahun 1666 itu tetap terasa seperti sebuah pengingat rapuhnya peradaban di hadapan alam dan kelalaian manusia.

Kota Kayu yang Menunggu Terbakar

London abad ke-17 adalah kota yang padat, berisik, dan rapuh. Bangunan-bangunannya didominasi kayu ek yang dikombinasikan dengan plester kapur, berdiri berimpitan di jalan-jalan yang hanya selebar dua gerobak kuda.

Atap-atap rumah ditutupi jerami atau genteng kayu, sementara bengkel pandai besi, toko roti, dan dapur umum menyalakan api setiap hari tanpa perlindungan berarti.

Dalam waktu yang bersamaan, musim panas 1666 di Inggris adalah musim kering. Hujan jarang turun, membuat kayu-kayu bangunan semakin kering dan mudah terbakar.

Ketika Thomas Farriner si tukang roti membiarkan oven menyala pada malam Minggu itu, percikan api kecil saja sudah cukup menjadi pemicu.

Sekitar pukul satu dini hari, peristiwa nahas yang sama sekali tidak pernah terduga itu terjadi. Api mulai merambat dari dapur, menelan rumah demi rumah di sepanjang Pudding Lane.

Di awal, warga sekitar tidak begitu panik. Kebakaran adalah hal lumrah di London dan biasanya dapat dipadamkan dengan cepat menggunakan ember air, sekop pasir, atau sekat kayu.

Namun malam itu, angin kencang dari arah timur membuat api menjalar seperti lidah naga, menyambar atap-atap rumah yang kering dan menyalakan bara baru dalam hitungan menit.

Api yang Meluas, Kota yang Tak Berdaya

Pada hari pertama, kebakaran masih dianggap terkendali. Wali kota London, Sir Thomas Bloodworth, menolak usulan untuk merobohkan rumah-rumah sebagai pemutus api.

“Sedikit ember air akan cukup,” katanya, meremehkan amukan yang sebenarnya sudah lepas kendali. Keputusan ceroboh sang wali kota yang tanpa perhitungan matang dalam melihat situasi dan kondisi ini pada akhirnya terbukti fatal.

Menjelang siang angin memperkuat lidah api, menyalakan jembatan London Bridge yang menjadi salah satu jalur vital kota. Panasnya begitu intens hingga kaca jendela pecah dengan sendirinya, sementara asap hitam tebal menutupi langit.

Ribuan orang mulai meninggalkan rumah, membawa anak-anak, barang berharga, dan hewan ternak. Jalan-jalan dipenuhi kereta, kuda, dan gerobak yang sarat muatan. Kekacauan massal tak dapat terelakkan.

Api terus menyebar ke arah barat, melahap distrik perniagaan Cheapside hingga kawasan elit di sekitar St. Paul’s Cathedral.

Pada puncaknya, kebakaran meluas hingga 436 hektare. Tidak ada cukup tenaga atau teknologi pada masa itu untuk melawannya. London pada abad ke-17 belum mengenal sistem pemadam kebakaran terorganisasi. London hanya punya kelompok sukarelawan dengan pompa air sederhana.

Simbol yang Runtuh

Ilustrasi St. Paul Cathedral terbakar pada 1666. Foto: Wenceslas Hollar

Kehancuran terbesar terjadi pada 4 September ketika St. Paul’s Cathedral yang megah ikut dilahap api. Bangunan katedral itu telah berdiri hampir 500 tahun dengan menara-menara tinggi yang menjadi ikon cakrawala London. Dinding-dinding batu yang dianggap tahan api ternyata tidak mampu menahan panas yang mencapai ribuan derajat.

Saat atap kayu dan rak buku besar di perpustakaan katedral terbakar, panasnya membuat timah dari atap meleleh dan mengalir seperti sungai api ke jalanan. Adegan itu menjadi simbol betapa rapuhnya kebanggaan manusia di hadapan amukan alam.

Ketika katedral runtuh, keputusasaan warga mencapai puncak. Bagi banyak orang, kehancuran St. Paul’s bukan sekadar hilangnya bangunan, melainkan juga tanda bahwa kota mereka benar-benar jatuh berlutut.

Empat Hari “Neraka”

Selama empat hari, api mengamuk tanpa henti. Malam keempat angin akhirnya mereda, memberi kesempatan kepada warga dan tentara untuk membuka jalur penghalang dengan meledakkan rumah-rumah.Dengan sekat api buatan itu, kobaran perlahan dapat dijinakkan. Pada 6 September, api akhirnya padam sepenuhnya.

Ketika matahari menyinari reruntuhan London pagi itu, lanskapnya berubah menjadi lautan abu. Lebih dari 80 ribu orang kehilangan rumah. Ribuan bangunan sejarah berharga, arsip perdagangan, serta karya seni lenyap tak tersisa.

Meski korban jiwa secara resmi tercatat kurang dari sepuluh orang, para sejarawan meyakini angka sebenarnya jauh lebih besar, mengingat panas api dapat menghanguskan tubuh tanpa meninggalkan jejak.

Yang tersisa hanyalah sebuah kota yang setengah mati, terhuyung, tapi juga sedang bersiap untuk dilahirkan kembali.

Dari Abu ke Kota Baru

Ironisnya, dari kehancuran lahirlah kesempatan. Kebakaran besar London membuka jalan bagi rekonstruksi kota dengan standar baru.

Raja Charles II segera memerintahkan pembangunan ulang, kali ini dengan regulasi ketat yaitu bangunan utama harus menggunakan batu bata atau batu, bukan lagi kayu. Jalan-jalan dibuat lebih lebar, alun-alun dirancang lebih terbuka, dan sistem pemadam kebakaran mulai dirintis.

Arsitek Sir Christopher Wren kemudian ditunjuk untuk merancang ulang St. Paul’s Cathedral yang berdiri megah hingga kini sebagai simbol kebangkitan.

Pembangunan ulang juga memperkuat infrastruktur perdagangan, menjadikan London semakin tangguh menghadapi era modern.

Namun, di balik wajah baru itu trauma tetap membekas. Warga London hidup dengan kesadaran bahwa api, unsur yang mereka gunakan sehari-hari untuk roti, besi, dan cahaya, dapat seketika mengubah kota menjadi neraka.

Warisan Api

Hari ini, ketika wisatawan berjalan-jalan di dekat Monumen Kebakaran Besar yang dibangun Wren, mereka mungkin melihatnya hanya sebagai obelisk batu tinggi. Namun, monumen itu sejatinya adalah pengingat keras bahwa kota yang paling kuat sekalipun bisa hancur hanya oleh percikan api kecil.

Kebakaran Besar London bukan sekadar tragedi, melainkan juga titik balik. Ia memaksa kota untuk berevolusi, meninggalkan era rapuh kayu dan jerami menuju era batu dan baja.

Ia juga melahirkan sistem pemadam kebakaran yang lebih terorganisasi, sebuah warisan yang kini menjadi standar bagi kota-kota modern di seluruh dunia.

Lanskap London modern mungkin tampak aman, namun di balik jalanan lebar dan gedung-gedung kokohnya, tersimpan gema api 1666.

Tanah yang terbakar itu, seperti yang selalu diajarkan sejarah, tidak pernah benar-benar lupa. Rumput dan batu mungkin menutupi abu, tetapi ingatan kolektif akan tetap menjaga cerita itu tetap menyala.

Harfi Admiral

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top