
JAKARTA – Riviera Prancis, September 1946. Di sebuah kota kecil bernama Cannes, ribuan mata tertuju pada layar putih yang terbentang di sebuah gedung mewah bernama Palais des Festivals.
Untuk pertama kalinya, dunia menyaksikan lahirnya sebuah tradisi baru, Festival Film Cannes, yang kelak menjadi salah satu panggung sinema paling bergengsi sepanjang sejarah.
Namun, di balik glamor karpet merah dan tepuk tangan meriah, lahirnya festival ini bukan sekadar soal merayakan sinema. Ia adalah jawaban atas luka perang, sebuah pernyataan kultural bahwa Eropa, yang porak-poranda dihantam Perang Dunia II, masih mampu melahirkan cahaya.
Enam tahun sebelum festival pertama berlangsung, Eropa tenggelam dalam kegelapan. Bioskop-bioskop hancur, kota-kota terbakar, dan film menjadi alat propaganda bagi kekuatan fasisme.
Di Prancis, perfilman berada dalam cengkeraman sensor Nazi. Festival film internasional yang tadinya direncanakan di Cannes pada 1939 pun gagal total karena pecahnya perang pada 1 September, tepat sehari setelah Jerman menyerbu Polandia.
Namun, setelah perang usai pada 1945, Prancis ingin bangkit. Dan apa yang lebih tepat untuk menunjukkan kekuatan kebudayaan selain sebuah festival film yang menandingi dominasi Festival Film Venesia, yang saat itu dicap terlalu dekat dengan rezim fasis?
Cannes dipilih sebagai tuan rumah. Sebuah kota kecil dengan pantai indah, vila-vila mewah, dan udara Mediterania yang hangat. Lokasi ini bukan kebetulan. Cannes diproyeksikan menjadi wajah baru Eropa yang optimis.
Pada tanggal 20 September 1946, tirai pun dibuka. Festival Film Cannes pertama resmi dimulai. Para sineas, aktor, dan kritikus dari seluruh dunia berdatangan. Mereka bukan hanya membawa film, tetapi juga membawa semangat baru.
Sekitar 20 negara berpartisipasi. Dari Amerika Serikat, Hollywood mengirim karya-karya besar seperti The Lost Weekend karya Billy Wilder. Dari Italia hadir Rome, Open City karya Roberto Rossellini, film neorealis yang menangkap kepedihan perang. Prancis sendiri membawa kebanggaan dengan film-film yang mencoba menunjukkan identitas nasionalnya yang baru.
Di layar festival, dunia menyaksikan sebuah mosaik budaya. Film bukan lagi sekadar hiburan, melainkan menjadi kesaksian tentang penderitaan, harapan, dan kebangkitan manusia.
Saksi mata menggambarkan suasana festival pertama ini unik. Tidak ada glamor berlebihan seperti yang kita kenal sekarang. Palais des Festivals masih sederhana, jauh dari megah. Para tamu duduk di kursi kayu, layar kadang bergetar tertiup angin laut, dan proyektor tidak selalu bekerja sempurna.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 19 September, Insiden Hotel Yamato Saat Merah Putih Berkibar di Langit Surabaya
Namun justru di situlah keistimewaannya. Cannes 1946 bukan tentang kilau bintang, tetapi tentang pertemuan budaya setelah perang. Para sutradara saling berpelukan, aktor bercakap di kafe-kafe Riviera, dan kritikus menulis dengan semangat seolah sinema baru saja lahir kembali.
Festival ini seakan menjadi terapi kolektif. Dunia yang baru saja terbelah oleh bom atom dan genosida menemukan ruang untuk berdialog lewat film.
Menariknya, pada festival pertama ini tidak ada satu pemenang tunggal. Dewan juri memutuskan memberikan penghargaan utama kepada sebelas film sekaligus dari berbagai negara. Sebuah keputusan yang mencerminkan semangat rekonsiliasi dan solidaritas internasional.
Beberapa film yang menerima penghargaan utama antara lain:
- The Lost Weekend (Amerika Serikat) karya Billy Wilder
- Rome, Open City (Italia) karya Roberto Rossellini
- Brief Encounter (Inggris) karya David Lean
- La Symphonie Pastorale (Prancis) karya Jean Delannoy
- Neecha Nagar (India) karya Chetan Anand
Nama-nama ini kemudian menjadi legenda dalam dunia film. Yang menarik, film India Neecha Nagar menjadi simbol bahwa Cannes sejak awal membuka diri terhadap sinema non-Barat.
Bagi Prancis, Cannes adalah lebih dari sekadar festival film. Festival ini adalah diplomasi budaya. Dengan menghadirkan sineas dari berbagai negara, Prancis menunjukkan bahwa mereka masih menjadi pusat peradaban Eropa, meski kalah perang.
Festival ini juga mengirim pesan kepada dunia bahwa seni bisa menjadi alat rekonsiliasi. Dalam ruang gelap bioskop, bekas musuh duduk berdampingan, menyaksikan kisah yang sama, tertawa dan menangis bersama. Itu adalah simbol perdamaian yang tidak bisa diabaikan.
Seiring waktu, Festival Cannes tumbuh menjadi legenda. Dari sebuah acara sederhana di 1946, festival ini berkembang menjadi panggung paling bergengsi untuk sinema dunia. Karpet merah, paparazzi, dan Palme d’Or (penghargaan utama) menjadi capaian banyak sineas dunia ketika masuk ke dalam festival ini.
Namun akar sejarahnya tidak boleh dilupakan. Cannes lahir bukan dari glamor, melainkan dari luka perang. Festival Film Cannes berdiri sebagai simbol bahwa film dapat menyatukan dunia, bahkan ketika politik memecahnya.
Hari ini, lebih dari 70 tahun setelah kelahirannya, Festival Film Cannes masih terus berjalan. Setiap tahun, para sineas terbaik dunia berlomba menayangkan karya mereka di sana. Palme d’Or menjadi salah satu penghargaan paling prestisius di dunia perfilman.
Namun, di balik semua glamor itu, kisah 20 September 1946 selalu hidup. Kisah tentang sebuah dunia yang baru saja keluar dari kisah perang yang mencoba merayakan hidup kembali melalui sinema.
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H] 21 September, Hari Perdamaian Internasional: Ketika Dunia Memberi Ruang untuk Hening – Rasinesia