
JAKARTA – Sebuah biara di Eropa pada abad ke-16 menggunakan gerakan tangan yang sederhana dalam berkomunikasi selama masa hening mereka sehari-hari. Tidak ada yang menyangka, masa hening itu kelak menjadi salah satu titik awal lahirnya sistem bahasa isyarat yang kini digunakan jutaan orang di seluruh dunia.
Selama berabad-abad, penyandang tunarungu dipandang sebelah mata. Namun, pandangan itu mulai berubah di masa Renaisans. Seorang biarawan Benediktin asal Spanyol, Pedro Ponce de Leon, melihat bahasa isyarat sebagai suatu hal yang berbeda.
Terinspirasi dari gerakan tangan di biara tempat ia tinggal, Ponce mengadaptasi metode komunikasi untuk mengajar anak-anak tuna rungu berinteraksi dengan lingkungannya.
Terinspirasi dari metode Leon yang sukses, Juan Pablo de Bonet, seorang pendeta asal Spanyol juga mengajar para penyandang tuna rungu menggunakan metodenya sendiri. Bonet memperkenalkan alfabet manual—gerakan tangan yang mewakili huruf-huruf alfabet.
Ratusan tahun kemudian, tongkat estafet itu diteruskan oleh Charles-Michel de l’Epee di Prancis. Pada tahun 1755, ia mendirikan sekolah umum pertama untuk anak-anak tuna rungu, Institut Nasional untuk Tuna Rungu-Bisu di Paris. Epee mengadaptasi isyarat-isyarat ini dan menambahkan alfabet manualnya sendiri sehingga terciptalah kamus isyarat.
Epee percaya bahwa bahasa isyarat harus mampu mengekspresikan segalanya, mulai dari preposisi hingga konjungsi. Karena dedikasinya, ia dijuluki “Bapak Kaum Tuli.”
Perjalanan bahasa isyarat tidak berhenti di Eropa. Pada awal abad ke-19, Thomas Hopkins Gallaudet dari Amerika Serikat belajar ke Perancis dan membawa pulang metode itu. Dari sinilah lahir American Sign Language (ASL), hasil perpaduan antara bahasa isyarat Prancis dan isyarat lokal Amerika.
Hari Bahasa Isyarat Internasional
Lompatan besar pengakuan global datang pada 19 Desember 2017. Saat itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional.
Menurut Wfdeaf, usulan penetapan Hari Bahasa Isyarat Internasional pertama kali diajukan oleh Federasi Tuna Rungu Dunia (WFD) dengan dukungan Misi Tetap Antigua dan Barbuda. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 97 negara anggota PBB ikut menjadi sponsor bersama. Resolusi ini kemudian diadopsi dengan konsensus penuh pada Sidang Umum PBB ke-72.
Baca Selengkapnya: [1D1H], 22 September, Invasi Irak ke Iran dan Awal Perang Delapan Tahun
Tanggal 23 September dipilih bukan tanpa alasan. Hari itu bertepatan dengan hari lahirnya World Federation of the Deaf (WFD) pada tahun 1951, organisasi global yang sejak awal berdiri memperjuangkan hak-hak penyandang tuna rungu di seluruh dunia.
Dengan menjadikan tanggal tersebut sebagai momen peringatan internasional, PBB ingin menegaskan bahwa bahasa isyarat adalah bagian penting dari hak asasi manusia, sekaligus menghormati sejarah panjang perjuangan komunitas tuna rungu.
Sejak saat itu, setiap 23 September, dunia merayakan bahasa isyarat sebagai simbol inklusi, aksesibilitas, dan kesetaraan. Hari ini mengingatkan kita bahwa komunikasi adalah hak semua orang tanpa kecuali.
Awal mula bahasa isyarat di Indonesia
Setelah melihat jejak sejarah bahasa isyarat di dunia, mari kita melihat bagaimana perkembangannya di Indonesia.
Menurut laman Good News From Indonesia, perjalanan bahasa isyarat di Indonesia dimulai pada tahun 1954, ketika seorang dokter bernama R. Soeharto mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk anak-anak tuli di Yogyakarta. Dari sinilah bahasa isyarat mulai diajarkan secara formal kepada siswa dengan gangguan pendengaran.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya bahasa isyarat semakin menguat pada tahun 1981. Saat itu, Indonesia ikut memperingati International Year of Disabled Persons yang dicanangkan PBB. Momentum ini menjadi pintu masuk penting untuk membuka mata publik bahwa penyandang disabilitas, termasuk teman-teman tuna rungu, memiliki hak yang sama dalam berkomunikasi.
Namun, perjalanan BASINDO tidak selalu berjalan mulus. Dilansir dari Pusbisindo, pada tahun 1994, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan Nomor 0190/P/1994 tentang penyusunan Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Kehadiran SIBI sempat memicu perbedaan pandangan antara komunitas Tuli—melalui organisasi Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin)—dengan tim penyusunnya.
Persoalan ini akhirnya dibahas dalam Kongres Nasional keenam Gerkatin di Bali tahun 2002. Dari situlah lahir kesepakatan untuk menetapkan nama Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) secara resmi dengan tujuan mempertahankan bahasa isyarat alamiah yang memang digunakan sehari-hari oleh komunitas Tuli di Indonesia.
Inovasi digital aplikasi Hear Me ID
Kini, bahasa isyarat telah berkembang dengan beragam bentuk di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Jika dulu Ponce de Leon atau Epee memperjuangkan ruang belajar bagi kaum tuli, hari ini kita punya cara baru yang lebih dekat dengan teman-teman tuna rungu dengan belajar bahasa isyarat melalui aplikasi digital.
Kehadiran teknologi membuat siapa saja bisa belajar bahasa isyarat dengan lebih mudah, kapan pun dan di mana pun.
Salah satunya adalah Hear Me ID, aplikasi buatan anak bangsa yang dirancang untuk membantu siapa pun belajar dan memahami Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Hear Me didirikan pada 2019 oleh mahasiwa Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB. Melalui aplikasi ini kita dapat berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tuna rungu.
Kita hanya perlu merekam suara di dalam aplikasi saat berkomunikasi dengan teman tuna rungu, lalu aplikasi akan mengolah suara tersebut menjadi bahasa isyarat lewat animasi.
Selain fitur untuk menerjemahkan, Hear Me juga menyediakan fitur lainnya, seperti transcribe me, learn me, dan play me.
Aplikasi ini membuka kesempatan bagi siapa pun untuk memahami bahasa isyarat, baik anggota komunitas Tuli maupun masyarakat umum yang ingin lebih inklusif dalam berinteraksi. Dengan pendekatan yang sederhana namun interaktif, Hear Me ID berusaha menjadikan BISINDO lebih mudah dipelajari dan semakin dikenal luas.
Dengan inovasi seperti ini, bahasa isyarat bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan menuju masyarakat yang lebih inklusif.
Adela Damanik adalah mahasiswi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Minatnya pada dunia literasi ia wujudkan dengan aktif berkegiatan di UKMF Labor Penulisan Kreatif (LPK), tempatnya kini mendalami dunia sastra dan kepenulisan.
Adela Damanik
Pingback: [1D1H] 24 September, Lahirnya Honda Motor Co., Ltd. – Rasinesia