[1D1H] 3 Oktober, Lahirnya Naruto Uzumaki di Layar Kaca

Naruto kecil yang nakal sedang membuat onar di desa Konoha. Foto: Apple TV

JAKARTA – Pada 3 Oktober 2002, layar kaca Jepang lewat TV Tokyo menayangkan secara perdana serial anime yang kelak dicintai banyak orang di seluruh dunia: Naruto.

Episode pembuka berjudul Enter: Naruto Uzumaki! memperlihatkan seorang bocah yatim piatu yang ditolak lingkungannya, namun bercita-cita menjadi pemimpin desa (Hokage). Ceritanya sederhana, namun penuh emosional. Tak seorang pun malam itu menduga bahwa anime ini akan menjelma menjadi salah satu fenomena budaya global terbesar di abad ke-21.

Naruto berawal dari pena Masashi Kishimoto, mangaka muda yang terinspirasi oleh kisah samurai, budaya ninja, dan film-film Barat. Pada tahun 1999, manga Naruto pertama kali diterbitkan di majalah Weekly Shonen Jump, bersanding dengan judul-judul besar seperti One Piece dan Bleach.

Kisah seorang anak yang berjuang mencari pengakuan segera menarik perhatian pembaca. Dalam waktu singkat, Naruto berkembang dari cerita mingguan menjadi manga yang dicetak jutaan eksemplar. Bagi banyak remaja Jepang saat itu, Naruto menawarkan pelarian ke dunia ninja yang penuh petualangan, sekaligus cermin dari kegelisahan dan mimpi mereka sendiri.

Kesuksesan manga itu membuka jalan bagi Studio Pierrot untuk mengadaptasinya menjadi anime. TV Tokyo yang saat itu dikenal sebagai rumah bagi berbagai serial populer melihat potensi besar. Lalu, pada tanggal 3 Oktober 2002, dunia melihat Naruto bergerak, berbicara, dan berlari untuk pertama kalinya di layar kaca.

Episode perdana tersebut langsung membawa penonton ke jantung konflik cerita. Desa Konoha pernah diserang oleh monster raksasa Kyubi atau rubah ekor sembilan bernama Kurama yang kemudian disegel dalam tubuh seorang bayi bernama Naruto Uzumaki.

Namun, alih-alih dianggap pahlawan, Naruto tumbuh sebagai anak yang ditolak. Dia dicemooh, dijauhi, dan dibiarkan sendirian. Untuk menutupi luka batinnya, Naruto sering berbuat ulah. Tapi di balik kenakalannya, ada tekad yang kuat. Dia ingin menjadi Hokage, pemimpin desa yang dihormati semua orang.

Adegan ketika Naruto belajar Jutsu Klon Bayangan atau Kagebunshin no Jutsu menjadi momen simbolis. Dengan teknik itu, dia melipatgandakan dirinya, seolah menyatakan kepada dunia bahwa meski sendirian, dia bisa menciptakan kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Itu adalah pernyataan kecil namun penuh makna dan sebuah janji untuk perjalanan panjang yang akan datang.

Naruto adalah anak yang tumbuh dalam kesepian, mencari penerimaan dan makna hidup. Siapa pun yang menonton anime ini bisa merasakan betapa kesepiannya Naruto. Kita semua tentu juga pernah merasa ditinggalkan, diremehkan, atau bahkan diabaikan.

Kisah Naruto membuktikan bahwa kerinduan akan pengakuan adalah naluri manusia yang paling mendasar.

Beberapa tahun kemudian, kisah Naruto hadir di televisi Amerika Serikat, Eropa, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Serial ini diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, dijual dalam bentuk DVD, hingga merambah dunia gim.

Komunitas pencinta Naruto pun mulai terbentuk. Cosplay Naruto meramaikan festival-festival anime di seluruh dunia. Forum daring dipenuhi diskusi teori dan prediksi kelanjutan cerita. Meme, kutipan, dan musik pembuka Naruto menjadi bagian dari budaya pop. Naruto menjelma tidak hanya  sekadar tontonan, tetapi juga menjadi “bahasa” bersama generasi 2000-an.

Mengapa Naruto bertahan?

Sejarawan budaya sering menyebut Naruto sebagai “epos modern” karena strukturnya yang mirip dengan kisah klasik manusia. Pertama, Naruto menghadirkan perjalanan pahlawan. Dari bocah nakal yang diremehkan, Naruto tumbuh menjadi pemimpin. Narasi ini sejalan dengan mitos dari Yunani, kisah samurai Jepang, hingga dongeng-dongeng rakyat di berbagai benua.

Kedua, Naruto menawarkan dunia yang kaya. Klan-klan ninja, sistem chakra, desa-desa tersembunyi, semua ini menciptakan geografi imajiner yang mendalam, tempat penonton bisa “hidup” di dalamnya.

Ketiga, Naruto berkembang bersama penontonnya. Naruto tidak tetap menjadi anak kecil. Dia tumbuh dewasa, melewati cobaan, kehilangan sahabat, dan menghadapi dilema moral dalam perjalanan hidupnya. Penonton pun ikut tumbuh bersamanya, menjadikan hubungan emosional antara Naruto dan penggemarnya semakin kuat.

Meski secara cerita serial anime Naruto telah tamat, penggemarnya masih terus membincangkannya hingga sekarang. Serial utamanya sudah selesai, namun spin-off dari Boruto: Naruto Next Generations melanjutkan kisahnya.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 2 Oktober, Hari Ketika Yerusalem Jatuh ke Tangan Shalahuddin al-Ayyubi

Ragam merchandise seputar dunia Naruto masih diproduksi, komunitas masih aktif, dan anak-anak generasi baru diperkenalkan kepada ninja oranye ini oleh orang tua mereka.

Di ruang-ruang kelas di Eropa, remaja menggambar simbol Konoha di buku catatan mereka. Di pasar-pasar Asia, kostum Naruto dijual untuk pesta atau pertunjukan sekolah. Di Amerika, kutipan Believe it! atau Dattebayo! masih muncul dalam percakapan santai.

Dalam sejarah panjang budaya manusia, 3 Oktober 2002 mungkin tampak kecil, hanya tanggal tayang perdana sebuah acara televisi. Namun, ketika kita melihat dampaknya dua dekade kemudian, tanggal itu berubah menjadi tonggak penting sejarah anime.

Seorang bocah fiksi keluar dari layar kaca Jepang dan memasuki imajinasi dunia. Naruto mengajarkan bahwa mereka yang paling kesepian pun bisa menemukan tempat di hati orang lain. Dan mimpi, sekecil apa pun, bisa mengguncang dunia.

“Aku tidak akan menyerah, aku tidak akan menarik kembali kata-kataku. Itulah jalan ninjaku!” – Naruto Uzumaki

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 3 Oktober, Lahirnya Naruto Uzumaki di Layar Kaca”

  1. Pingback: [1D1H] 4 Oktober, Hari yang Hilang dalam Sejarah Saat Dunia Mengubah Kalender Julian ke Kalender Gregorian – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top