[1D1H] 3 September, Pertempuran Ain Jalut: Terhentinya Invasi Mongol di Tanah Arab

Ilustrasi Pasukan Kesultanan Mamluk dalam pertempuran Ain Jalut. Foto: History Map

JAKARTA – Di lembah subur yang kini terletak di wilayah utara Palestina, pada sebuah pagi awal September 1260, udara masih basah oleh embun pegunungan. Domba-domba yang digembalakan di rerumputan setempat tampak biasa saja bagi mata orang awam.

Namun, bagi sejarawan atau bagi setiap orang yang membaca jejak peradaban, lembah bernama Ain Jalut itu menjadi panggung salah satu peristiwa paling menentukan dalam sejarah dunia. Pertempuran yang menghentikan laju pasukan Mongol yang seolah tak terkalahkan.

Tiga abad kemudian, rerumputan itu akan terus tumbuh dan layu. Gunung-gunung di sekitarnya tetap menjulang seolah enggan menceritakan kisah berdarah yang pernah terjadi. Tapi, sebagaimana tanah, ia selalu menyimpan gema langkah kuda, dentuman senjata, hingga jeritan manusia.

Gelombang Mongol: badai dari timur

Pada paruh pertama abad ke-13 nama Mongol menjelma seperti mitos. Dari stepa Asia Tengah pasukan berkuda mereka melaju bagaikan badai. Menundukkan kota demi kota, kerajaan demi kerajaan. Cina, Persia, Baghdad, semuanya takluk.

Kekhalifahan Abbasiyah yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam runtuh pada 1258 setelah Baghdad diserbu dan dihancurkan oleh Hulagu Khan, cucu legendaris Jenghis Khan.

Bagi dunia Muslim, kejatuhan Baghdad bukan sekadar hilangnya sebuah kota. Itu adalah runtuhnya simbol kejayaan. Perpustakaan yang menyimpan ribuan manuskrip kuno dibakar, sungai Tigris dikisahkan menghitam oleh tinta buku-buku yang dihanyutkan.

Peristiwa itu menanamkan ketakutan kolektif. Jika Baghdad saja tak bisa bertahan, siapa yang mampu menghadang badai Mongol?

Setelah Baghdad, Hulagu bergerak ke arah barat. Damaskus jatuh, kota-kota di Suriah dikuasai. Satu-satunya penghalang menuju Mesir hanyalah sebuah kerajaan muda yang baru saja bangkit dari pergulatan internal bernama Kesultanan Mamluk.

Mamluk: dari budak menjadi penjaga peradaban

Mamluk berarti “yang dimiliki”. Mereka adalah budak-budak militer. Sebagian besar berasal dari daerah Kaukasus dan stepa Eurasia yang dibeli, dilatih, lalu dijadikan pasukan elit oleh penguasa Muslim.

Namun, pada pertengahan abad ke-13, para Mamluk mengambil alih kekuasaan Mesir setelah menggulingkan Dinasti Ayyubiyah.

Pemimpin mereka yang bernama Sultan Qutuz adalah sosok yang keras, penuh tekad, dan tahu betul bahwa masa depan Islam berada di pundaknya. Di sampingnya berdiri seorang jenderal karismatik yang juga berasal dari seorang budak, Baybars, yang kelak dikenal sebagai salah satu panglima terbesar dalam sejarah Muslim.

Sementara Mesir bersiap, pasukan Mongol mengirim utusan kepada Qutuz dengan ultimatum yang sama seperti yang dikirimkan ke banyak penguasa lain: tunduk atau binasa.

Sang sultan menjawab ultimatum itu dengan berani. Dia mengeksekusi utusan Mongol itu dan mengirim kepalanya kembali ke Hulagu. Tindakan itu bukan sekadar penolakan, melainkan pernyataan perang.

Ain Jalut: lembah yang menentukan

Tanggal 3 September 1260, di lembah Ain Jalut yang berarti “Mata Air Goliath” dalam tradisi setempat, dua pasukan berhadapan. Di satu sisi, lebih kurang 10 ribu pasukan Mongol dengan reputasi tak terkalahkan. Di sisi lain, ada kurang lebih 15 ribu pasukan Mamluk yang mempertaruhkan segalanya.

Baybars dengan kecerdasan taktisnya, merancang strategi yang cerdik. Dia menempatkan pasukannya dalam posisi menyerupai retret, pura-pura mundur di hadapan Mongol. Tipu muslihat ini sudah lama menjadi taktik klasik di padang pasir, namun kali ini digunakan untuk melawan musuh yang selama ini mengandalkan kelincahan kavaleri.

Pasukan Mongol mengejar, merasa yakin akan kemenangan mudah. Tapi begitu mereka masuk ke lembah sempit, pasukan Mamluk yang bersembunyi di balik bukit keluar dan mengepung mereka. Pertempuran pun meledak.

Suara derap kuda mengguncang tanah. Panah berdesingan di udara. Debu mengepul menutup langit biru. Bagi para prajurit yang bertempur, dunia menyempit hanya pada kilatan pedang dan teriakan komandan.

Namun di balik kekacauan itu dan untuk pertama kalinya di dalam momen sejarah, pasukan Mongol yang selama puluhan tahun tak terkalahkan benar-benar dipukul mundur. oleh pasukan Mulmuk.

Kemenangan yang menggema

Ketika sore menjelang, pasukan Mongol yang dipimpin Kitbuqa, jenderal kepercayaan Hulagu, hancur. Kitbuqa sendiri tewas di medan perang. Bagi pasukan Mamluk, kemenangan ini bukan sekadar keberhasilan militer, ini adalah pembuktian bahwa Mongol bukan makhluk gaib yang tak bisa dikalahkan.

Berita kemenangan di Ain Jalut menyebar cepat ke seluruh dunia Islam. Mulai dari Kairo hingga Damaskus, dari Aleppo hingga Mekah, gema kemenangan itu membangkitkan harapan. Dunia Muslim yang tercerai-berai menemukan titik terang kalau badai Mongol bisa dihentikan.

Seorang kronikus Muslim menuliskan, hari itu Allah mengembalikan kepada umat Islam semangat yang hilang. Pasukan yang datang untuk menghancurkan dunia Islam justru dihancurkan.

Dunia yang berubah arah

Ain Jalut bukan sekadar pertempuran lokal. Dia menjadi titik balik global. Jika Mongol kala itu berhasil menaklukkan Mesir, jalan mereka terbuka lebar ke Afrika Utara dan mungkin hingga Eropa Selatan.

Dunia yang kita kenal hari ini bisa jadi sangat berbeda. Pusat-pusat budaya Mediterania mungkin tak pernah bangkit kembali. Sebaliknya, kemenangan Mamluk memungkinkan Mesir menjadi benteng Islam selama berabad-abad berikutnya.

Dinasti Mamluk bertahan hingga awal abad ke-16, melindungi jalur perdagangan, membangun masjid, madrasah, dan karya seni yang masih bisa disaksikan hingga kini di Kairo.

Lembah yang masih berbisik

Hari ini, Ain Jalut hanyalah lembah tenang di dataran tinggi Galilea. Sungai kecil mengalir, tanahnya hijau subur, domba merumput tanpa terganggu oleh sejarah yang mengalir di bawah kaki mereka.

Namun bagi mereka yang peka, setiap embusan angin seolah membawa bisikan masa lalu tentang teriakan Baybars memberi perintah, dentuman pedang Mongol beradu dengan baja Mamluk.

Bagi Palestina modern, Ain Jalut adalah pengingat. Sebuah narasi yang menegaskan bahwa tanah ini selalu menjadi titik temu peradaban, selalu menjadi panggung perebutan kuasa. Dari legenda Goliath hingga pasukan Mongol, dari Perang Salib hingga konflik kontemporer, tanah ini menyimpan jejak sejarah yang panjang.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 3 September, Pertempuran Ain Jalut: Terhentinya Invasi Mongol di Tanah Arab”

  1. Pingback: [1D1H] 10 September, Lahirnya Badan Keamanan Rakyat Laut – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top