[1D1H] 5 September, Lahirnya Freddie Mercury: Si Flamboyan Di Atas Panggung

Freddie Mercury di atas panggung. Foto: Queen Production/Neal Preston

 

JAKARTA – Di sebuah pulau kecil di lepas pantai Afrika Timur, 5 September 1946, lahirlah seorang bayi yang kelak mengubah cara dunia memandang musik rock.

Nama yang diberikan padanya adalah Farrokh Bulsara, lahir dari pasangan keluarga Parsis India di Stone Town, Zanzibar.

Tak ada yang membayangkan dari jalan-jalan sempit penuh bau rempah itu akan muncul seorang ikon yang menyatukan dunia lewat suara, gaya panggung, dan keberanian untuk hidup di luar batas-batas yang biasa.

Dunia mengenalnya sebagai Freddie Mercury. Dan sejak awal, dia sudah berbeda.

Akar dari Zanzibar ke London

Masa kecil Farrokh diwarnai percampuran budaya. Lahir di Zanzibar, besar di India, dan remaja di Inggris. Ayahnya bekerja di kantor pemerintah kolonial Inggris, memberi keluarganya akses pada dunia yang lebih luas, meski tetap kental dengan tradisi Parsis.

Di sekolah, Farrokh muda belajar piano klasik, jatuh cinta pada musik, dan bahkan membentuk band kecil bernama The Hectics. Teman-teman ingat dia pendiam, tetapi ketika duduk di depan piano tangannya seakan memancarkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Ketika keluarga pindah ke Inggris pada 1964, Farrokh berganti nama menjadi Freddie. London pada era itu ibaratkan wadah ekspresi bagi banyak anak muda. The Beatles, The Rolling Stones, Led Zeppelin, dan tentunya Freddie muda, haus untuk ikut menorehkan namanya. Dia belajar seni di Ealing Art College, tertarik pada desain grafis, tapi hatinya selalu kembali pada musik.

Queen: dari mimpi ke panggung dunia

Pertemuan dengan Brian May dan Roger Taylor pada awal 1970-an adalah titik balik. Bersama John Deacon, mereka membentuk band yang diberi nama Queen.

Nama itu terdengar angkuh, glamor, hampir berlebihan, tetapi cocok dengan ambisi mereka. Freddie yang saat itu sudah mulai membangun persona flamboyan merasa nama itu sempurna dengannya. Sederhana, berkelas, sekaligus provokatif.

Album demi album lahir, tetapi titik ledak sebenarnya datang dengan Bohemian Rhapsody pada 1975. Lagu itu dengan struktur opera rock enam menit dianggap terlalu aneh untuk radio.

Namun Freddie bersikeras. Dia percaya pada visinya. Dan benar saja, lagu itu meledak, menembus batas antara pop dan rock, klasik dan modern. Video klipnya bahkan dianggap sebagai cikal bakal era video musik di MTV.

Sejak itu, Queen tak pernah menoleh ke belakang. Dari We Are the Champions hingga Radio Ga Ga,  dari stadion Wembley hingga Live Aid 1985, mereka menjadi lambang kebesaran rock.

Di tengahnya, Freddie berdiri sebagai “pusat gravitasi”, suara tenor yang lentur, rentang vokal empat oktaf, gaya panggung yang teatrikal, dan auranya yang membuat puluhan ribu orang merasa sedang bernyanyi bersamanya.

Freddie Mercury: panggung sebagai rumah

Ada sesuatu yang paradoks dalam diri Freddie. Di panggung dia adalah raja tak terbantahkan. Berlari, berteriak, bercanda dengan penonton, bahkan membuat lautan manusia serempak mengulang pekikan vokalnya. Tapi di balik layar, dia dikenal pemalu, penuh keraguan, bahkan cenderung tertutup.

Freddie menciptakan alter ego di atas panggung sebagai cara untuk melampaui batas pribadinya. Dalam banyak wawancara, dia mengatakan, “Aku akan menjadi legenda.”

Kalimat itu terdengar seperti kesombongan. Tetapi lebih dari itu adalah janji pada dirinya sendiri bahwa dia akan meninggalkan sesuatu yang lebih besar dari kehidupan fana.

Hidup di tengah kontroversi

Freddie tidak pernah benar-benar terbuka soal identitas seksualnya, meski dunia industri musik dan media berulang kali berspekulasi.

Dia menjalin hubungan dengan Mary Austin yang kemudian menjadi sahabat seumur hidupnya, sebelum menjelajahi kehidupan cinta dengan pria.

Dalam lirik-liriknya, sering terselip kerinduan akan kebebasan, cinta yang rumit, dan perayaan hidup tanpa batas.

Dia hidup di masa ketika dunia masih penuh stigma terhadap perbedaan, terutama terhadap HIV/AIDS yang pada 1980-an menjadi epidemi global.

Freddie sendiri didiagnosis positif pada pertengahan dekade itu, tapi memilih merahasiakannya dari publik. Ia terus mencipta, merekam, tampil, seolah berpacu dengan waktu. Album terakhirnya bersama Queen bertajuk Innuendo (1991) adalah catatan keberanian menghadapi ajal.

Sehari sebelum meninggal, Freddie akhirnya mengumumkan kepada dunia bahwa ia menderita AIDS. Keesokan harinya pada 24 November 1991, dia berpulang di usia 45 tahun. Dunia terguncang, tetapi di satu sisi juga terinspirasi pada sosok Freddie Mercury.

Hampir 30 tahun lebih setelah kepergiannya, Freddie Mercury tetap hadir. Musik Queen masih diputar di stadion olahraga. Film biopik Bohemian Rhapsody (2018) juga berhasil meraih Oscar dan generasi baru mengenal sosok flamboyan itu seakan dia masih hidup.

Freddie mewariskan lebih dari sekadar lagu. Dia meninggalkan pelajaran tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri, untuk berani bermimpi, untuk mencintai meski dunia penuh prasangka.

Hari ulang tahunnya, 5 September, selalu jadi momen penggemar di seluruh dunia merayakan warisannya, dari konser amal hingga pesta kecil di bar.

Setiap kali orang menyanyikan Don’t Stop Me Now dengan penuh semangat, seakan-akan roh Freddie ikut bernyanyi bersama, melintasi ruang dan waktu.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 5 September, Lahirnya Freddie Mercury: Si Flamboyan Di Atas Panggung”

  1. Pingback: [1D1H] 6 September, Penemuan Burung Mandar Talaud – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top