[1D1H] 8 Oktober, Haji Agus Salim Sang Intelektual dari Tanah Minangkabau

Agus Salim dan Soekarano pada tahun 1949 di pengasingan, Parapat, tepi Danau Toba, Sumatera Utara. Foto: Seasia

JAKARTA – Di Padang Panjang, kota kecil yang dikelilingi gunung dan sawah, udara pagi membawa dingin sekaligus janji. Tanah Minangkabau kala itu adalah tempat lahirnya banyak pemikir besar seperti para ulama, orator, dan pembaharu.

Namun tidak banyak yang tahu bahwa pada tanggal 8 Oktober 1884, bayi mungil yang lahir di rumah sederhana keluarga Soetan Mohammad Salim akan menjadi salah satu bapak bangsa yang paling dihormati karena kecerdasan, kerendahan hati, dan integritasnya.

Agus Salim tumbuh di lingkungan yang sarat nilai agama dan intelektualitas. Ayahnya, Soetan Mohammad Salim adalah jaksa kepala di Pengadilan Padang, seorang bangsawan Minang yang disiplin dan berwawasan luas.

Di usia muda, Agus Salim sudah menguasai bahasa Belanda dan Arab dengan lancar. Agus Salim belajar di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia, sebuah sekolah elite bagi anak-anak Eropa dan segelintir pribumi terpilih.

Di bangku HBS, kecemerlangannya membuatnya dijuluki “de beste leerling van de school”, murid terbaik di sekolah itu. Agus Salim lulus dengan prestasi gemilang dan sempat mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda. Namun nasib berkata lain, kesempatan itu dibatalkan karena pertimbangan ras dan politik.

Bagi Agus Salim muda, penolakan itu menjadi pelajaran awal tentang ketidakadilan kolonial. Dari situ lahir tekad untuk melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan pikiran dan pena.

Tahun 1906, Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Di tanah Arab inilah dia bertemu dengan berbagai bangsa Muslim dari seluruh dunia.

Di tengah hiruk-pikuk jamaah haji, ia menyaksikan bahwa Islam bukan sekadar ritual, tetapi kekuatan sosial dan politik global. Agus Salim bertukar pikiran dengan para intelektual Ottoman, menyerap semangat pembaruan dari dunia Islam yang sedang bangkit.

Dari padang pasir yang sunyi itu, dia mulai merumuskan ide besar bahwa Islam dan nasionalisme bukan dua jalan yang bertentangan, melainkan dua sayap yang harus bekerja bersama untuk mengangkat martabat manusia dan bangsa.

Sekembalinya ke Hindia Belanda, Agus Salim tidak mencari jabatan, tetapi ruang untuk berpikir dan menulis. Dia bergabung dengan Sarekat Islam (SI), organisasi rakyat yang waktu itu berkembang pesat. Di sana, Agus Salim menjadi juru bicara, penulis, dan pendidik.

Bahasa yang digunakannya memikat tajam seperti pedang di sisi lain juga lembut seperti doa. Dia mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak akan datang hanya dari amarah, tetapi dari ilmu, akhlak, dan kesadaran.

Dalam banyak tulisannya di surat kabar Hindia Baroe, Neratja, dan Fadjar Asia, Agus Salim menekankan pentingnya moral dan tanggung jawab dalam perjuangan.

“Kita harus merdeka bukan hanya dari penjajah. Tetapi juga dari kebodohan dan hawa nafsu.”

Gaya hidupnya sederhana. Agus Salim menolak gaji besar dari Belanda dan lebih memilih hidup pas-pasan di rumah kecilnya di Jakarta. Anak-anaknya mengenangnya sebagai sosok yang sering memperbaiki sandal sendiri dan tetap menulis di bawah cahaya lampu minyak saat malam tiba.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, bangsa Indonesia membutuhkan sosok yang mampu menjembatani antara semangat revolusi dan diplomasi internasional. Dan di sanalah nama Haji Agus Salim muncul kembali.

Sebagai Menteri Luar Negeri dalam beberapa kabinet (1947–1950), Agus Salim membawa wajah Indonesia ke dunia dengan cara yang elegan. Dia bernegosiasi dengan Belanda, dengan PBB, dan dengan negara-negara Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 7 Oktober, Luna 3 dan Misi Fotografi Paling Puitis Dalam Sejarah Astronomi

Dalam setiap pertemuan diplomatik, dia tidak hanya bicara politik, tapi juga nilai. Agus Salim menolak gaya elitis diplomat kolonial, memilih berbicara dengan kejujuran yang sederhana namun memukau.

Satu kisah terkenal terjadi ketika dia menghadiri konferensi internasional dan disuguhi hidangan babi. Seorang pejabat asing bertanya sinis, “Apakah Anda menolak karena babi itu haram?”

Agus Salim menjawab tenang, “Bukan. Saya hanya tak ingin memakan makanan yang membuat Anda berpikir lebih rendah tentang saya.”

Balasan yang cerdas, bermartabat, dan menunjukkan keteguhan moral khasnya.

Di luar panggung politik, Agus Salim dikenal sebagai guru bagi banyak pemimpin generasi muda. Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir sama-sama mengagumi kecerdasannya, meskipun kadang berbeda pandangan politik.

Agus Salim sering mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu untuk membangun manusia Indonesia yang beradab dan bermartabat. Bagi murid-muridnya, dia bukan sekadar pengajar, melainkan teladan. Dalam hidup yang sederhana, Agus Salim menunjukkan bahwa integritas tidak perlu pengakuan dan kebenaran tidak memerlukan kekerasan.

Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954, di usia 70 tahun. Namun gagasannya tetap hidup. Dia mewariskan pandangan yang jernih bahwa nasionalisme Indonesia tidak boleh terjebak dalam sempitnya etnis atau agama.

“Islam saya, Islam yang membuat saya mencintai semua manusia,” katanya suatu kali.

Pandangan itu kini terasa relevan kembali di tengah dunia yang mudah terbelah oleh identitas dan kebencian.

Bagi Agus Salim, agama adalah sumber moral untuk membangun dunia, bukan alat untuk memecah belah. Dia memimpikan bangsa Indonesia yang berilmu tanpa sombong, beriman tanpa fanatik, dan berani tanpa beringas.

Agus Salim menunjukkan bahwa peradaban besar tidak dibangun oleh kekuatan ekonomi atau senjata, melainkan oleh pikiran jernih dan hati yang bersih.

Dunia yang bergejolak masih membutuhkan figur seperti Agus Salim, orang yang berani berpikir merdeka, hidup sederhana, dan berbicara dengan nurani.

Pada setiap 8 Oktober, ketika bangsa ini memperingati hari lahirnya, seolah kita diingatkan untuk kembali ke cermin moral itu bahwa perjuangan bukan hanya menaklukkan musuh di luar diri, tetapi juga musuh di dalam diri sendiri.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 8 Oktober, Haji Agus Salim Sang Intelektual dari Tanah Minangkabau”

  1. Pingback: [1D1H] 9 Oktober, Kematian Sang Revolusioner Che Guevara di Hutan Bolivia – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top