
JAKARTA – Ketika daun-daun maple berwarna keemasan mulai berguguran di sepanjang Sungai Charles pada musim gugur di tahun 1636, sekelompok kecil pemimpin Puritan di koloni Massachusetts Bay berkumpul dengan satu gagasan besar tentang pendidikan.
Di tengah dunia baru yang keras, di mana badai musim dingin bisa meluluhlantakkan panen dan konflik dengan penduduk asli kerap pecah, mereka justru memikirkan sesuatu yang lebih abadi. Mereka ingin mendirikan sebuah lembaga yang bisa mendidik generasi pendeta, cendekiawan, dan pemimpin.
Tanggal 8 September 1636, sebuah keputusan resmi dicatat dalam dokumen koloni yaitu berdirinya sebuah “college” di New Towne yang kelak dikenal sebagai Harvard University.
Universitas ini bukan hanya yang pertama di Amerika, tetapi juga simbol dari ambisi sebuah koloni muda untuk menancapkan akar intelektual di tanah yang masih liar.
Harvard tidak lahir dari gedung megah atau menara batu, melainkan dari kerendahan hati dan rasa takut akan masa depan. Para pemimpin Puritan menyadari bahwa tanpa pendidikan mereka akan kehilangan arah.
Pendeta-pendeta yang memimpin jemaat akan semakin menua, sementara generasi baru yang lahir di tanah koloni belum mendapat pendidikan teologi mendalam seperti di Inggris.
Maka ditetapkanlah pendirian sebuah college dengan dana awal £400. Jumlah yang sangat besar pada masa itu dan setara dengan belasan kali gaji tahunan seorang petani koloni. Lokasinya dipilih di Cambridge, sebuah kota kecil yang kala itu masih dikenal sebagai New Towne.
Hanya berselang dua tahun, datanglah sebuah hadiah tak terduga yang mengubah masa depan kampus ini selamanya ketika seorang pendeta muda bernama John Harvard meninggal dunia akibat tuberkulosis.
Dalam surat wasiatnya, Jhon Harvard mewariskan separuh kekayaannya (sekitar £780) dan perpustakaan pribadinya yang berisi 400 buku. Sebagai bentuk penghormatan, kampus itu kemudian diberi nama Harvard College.
Meski terletak di Amerika, Harvard lahir dari tradisi lama Eropa. Kurikulumnya berfokus pada teologi, filsafat klasik, bahasa Latin, dan Yunani. Tujuannya sederhana yaitu mencetak pendeta Puritan yang mumpuni.
Namun di balik niat itu, Harvard juga membuka jalan bagi lahirnya pemikiran bebas. Perdebatan tentang teologi, filsafat, dan politik yang berkembang di dalam kelas perlahan-lahan menjadi percikan api kecil dari budaya intelektual baru di dunia koloni.
Tak butuh waktu lama, Harvard menjadi pusat gravitasi ilmu pengetahuan di Amerika. Dari sana, muncul alumni yang kemudian menulis konstitusi, membentuk republik, hingga memimpin negara baru setelah Revolusi Amerika.
Jika hari ini kita berjalan menyusuri halaman Harvard Yard di mana hamparan hijau rumput yang dikelilingi gedung-gedung batu tua, kita bisa merasakan gema sejarah yang panjang.
Di tengah yard berdiri patung perunggu John Harvard, meski ironisnya patung itu sering disebut “the statue of three lies” karena inskripsinya yang salah. John Harvard bukan pendiri universitas, tahun yang tercantum keliru, dan wajah patungnya bukan wajah asli John Harvard.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 7 September, Misteri Kematian Munir Said Thalib Sang Aktivis HAM di Langit Garuda
Namun lebih dari sekadar simbol, kampus ini adalah mosaik sejarah Amerika. Dari ruang kuliah kecil abad ke-17, Harvard kini tumbuh menjadi universitas dengan 13 sekolah, termasuk fakultas hukum, bisnis, kedokteran, dan pendidikan.
Jika abad ke-17 Harvard mencetak pendeta, maka abad ke-18 dan 19 Harvard menjadi tempat lahirnya negarawan dan filsuf. Nama-nama besar seperti John Adams, John Quincy Adams, dan Theodore Roosevelt tercatat sebagai alumninya.
Memasuki abad ke-20, Harvard tak lagi sekadar sekolah koloni. Harvard menjelma menjadi pusat riset global, rumah bagi 160 penerima Nobel, dan sumber inovasi yang memengaruhi dunia.
Namun, seperti semua institusi tua, Harvard juga tak lepas dari kontroversi. Sejarah mencatat keterlibatannya dalam perdebatan rasisme ilmiah, diskriminasi terhadap mahasiswa Yahudi pada awal abad ke-20, hingga kritik tentang biaya kuliah yang sangat tinggi di era modern.
Lalu, apa yang membuat Harvard begitu bertahan, sementara banyak universitas lain runtuh oleh waktu? Jawabannya ada pada kombinasi tradisi dan adaptasi. Harvard menjaga akar Puritannya yang menekankan disiplin dan pembelajaran, tapi juga terus beradaptasi dengan tantangan zaman.
Dari ruang kelas berlantai kayu di abad ke-17 hingga laboratorium bioteknologi canggih di abad ke-21, semangat yang sama tetap hidup dan pengetahuan dijadikan sebagai pilar peradaban.
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H] 9 September, Sejarah Indomie dan Mie Instan Indonesia yang Mengubah Pola Makan Dunia – Rasinesia