[1D1H] 9 Oktober, Kematian Sang Revolusioner Che Guevara di Hutan Bolivia

Ernesto ‘Che’ Guevara. Foto: LIFE

JAKARTA – 9 Oktober 1967, udara dingin pegunungan Quebrada del Yuro, Bolivia, dipenuhi ketegangan. Di sebuah bangunan sekolah sederhana di desa La Higuera, seorang pria dengan janggut tebal, rambut kusut, dan tangan terikat duduk bersandar pada dinding batu.

Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi di balik tatapan itu tersimpan keyakinan sekeras baja. Namanya Ernesto “Che” Guevara, seorang revolusioner Amerika Latin, musuh bebuyutan kapitalisme, dan simbol perlawanan bagi generasi muda.

Hari itu, hidupnya akan berakhir. Tapi legenda Che baru saja dimulai. Demi memahami detik-detik terakhir Che, kita harus kembali ke dua dekade sebelumnya.

Ernesto Guevara lahir pada 14 Juni 1928 di Rosario, Argentina, dari keluarga kelas menengah. Dia menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Buenos Aires dan dikenal cerdas, idealis, serta haus petualangan.

Namun, hidup Che berubah saat melakukan perjalanan panjang melintasi Amerika Selatan pada awal 1950-an, perjalanan yang kelak dia kenang dalam The Motorcycle Diaries. Melalui mata seorang dokter muda, Che menyaksikan kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan struktural yang melanda Amerika Latin. Dia melihat tambang-tambang Amerika Serikat yang memperkaya segelintir orang, sementara penduduk lokal hidup dalam penderitaan.

Dalam catatannya, Che menulis:

“Saya tidak lagi menjadi seorang dokter yang bepergian. Saya telah menjadi seorang revolusioner yang mencari keadilan.”

Tahun 1955 di Meksiko, Che bertemu Fidel Castro dan saudaranya Raul, dua pengasing politik dari Kuba. Pertemuan itu menjadi titik balik. Bersama kelompok kecil bernama Movimiento 26 de Julio, mereka bersiap menumbangkan kediktatoran Fulgencio Batista.

Dalam pelatihan militer, Che bukan hanya dokter lapangan, dia juga menjadi strategi, pemikir, dan pejuang gigih. Saat revolusi Kuba meletus pada 1956, dia ikut dalam ekspedisi kapal kecil Granma, melintasi laut dari Meksiko menuju pantai Kuba.

Perjuangan itu berdarah. Dari 82 orang yang berangkat, hanya 12 yang selamat di hutan Sierra Maestra, dan Che adalah salah satunya. Dalam waktu dua tahun, mereka menggulingkan Batista. Pada 1 Januari 1959, Havana jatuh ke tangan revolusi.

Che Guevara naik ke puncak kekuasaan, dia menjadi menteri industri, kepala bank nasional, dan duta besar revolusi Kuba. Namun, bagi Che, revolusi tidak boleh berhenti di satu negara. Dia ingin membakar api yang sama di seluruh dunia.

Setelah keberhasilan di Kuba, Che menjadi wajah revolusi global. Namun, dia muak dengan birokrasi dan stagnasi politik di Havana. Dalam pidato di PBB tahun 1964, Che mengutuk imperialisme Amerika Serikat di hadapan dunia dan menyerukan untuk melawan dominasi Barat.

Pada 1965, Che menghilang dari panggung publik. Banyak yang menduga dia meninggal, tapi sebenarnya ia pergi diam-diam menuju Kongo, mencoba menyalakan revolusi di Afrika. Misi itu gagal total.

Dua tahun kemudian, Che kembali mencoba peruntungannya, kali ini di Bolivia, sebuah negara kecil di jantung Amerika Selatan. Dia berharap revolusi rakyat akan bangkit di sana, lalu menjalar ke seluruh benua.

Namun Bolivia bukan Kuba. Penduduknya tidak tergerak, partai komunis lokal menolak ikut berperang dan medan pegunungan yang kejam menghabisi semangat pasukannya. CIA yang saat itu tengah memantau pergerakan revolusioner di seluruh Amerika Latin, segera mencium keberadaannya.

Perburuan Che Guevara

Pada pertengahan 1967, pasukan gabungan Bolivia dan CIA meluncurkan operasi besar-besaran. Mereka dilatih dan dipimpin oleh penasihat CIA asal Kuba, Felix Rodriguez yang memiliki satu misi untuk menangkap Che Guevara hidup atau mati.

Pasukan Che yang semula berjumlah 50 orang semakin menipis. Kelaparan, penyakit, dan pengkhianatan membubarkan semangat gerilya. Pada 8 Oktober 1967 dalam pertempuran di lembah Quebrada del Yuro, Che tertembak di kaki dan ditangkap hidup-hidup.

Dia dibawa ke sebuah sekolah tua di La Higuera, sebuah desa terpencil dengan hanya beberapa rumah bata. Di situlah, selama 24 jam terakhir hidupnya, dunia berhenti sejenak menahan napas.

Para saksi mengingat Che tetap tenang. Dia meminta agar anak-anak tidak dibawa ke sekolah karena “tidak baik mereka melihat darah.”

Salah satu tentara Bolivia, Mario Teran, yang bertugas menjaganya mengatakan Che tampak kelelahan, namun tetap menatapnya dengan mata yang tajam.

Pagi 9 Oktober pukul 11.30, pesan datang dari atas untuk perintah eksekusi telah diberikan. CIA ingin Che tetap hidup untuk diinterogasi, tapi pemerintah Bolivia yang takut akan pemberontakan global, memutuskan sebaliknya.

Sebelum ditembak, Che berkata kepada algojonya:

“Aku tahu kau datang untuk membunuhku. Tembaklah, pengecut. Kau hanya akan membunuh seorang manusia.”

Tiga peluru menembus tubuhnya: di dada, di lengan, dan di kaki. Ernesto “Che” Guevara mati di usia 39 tahun.

Tubuh Che dibawa ke kota Vallegrande dan dipertontonkan kepada media internasional untuk membuktikan kematiannya. Wartawan dan fotografer merekam wajahnya yang damai, seolah tidur dengan mata setengah terbuka.

Bagi sebagian orang, itu adalah akhir seorang teroris. Namun bagi jutaan lainnya, itu adalah kelahiran seorang martir revolusi.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 8 Oktober, Haji Agus Salim Sang Intelektual dari Tanah Minangkabau

Gambar tubuh Che yang terbaring di atas meja rumah sakit dengan luka tembak di dada dan wajah yang bersinar di bawah lampu neon menjadi simbol keabadian. Banyak yang membandingkannya dengan lukisan The Dead Christ karya Mantegna.

Dalam waktu singkat, Che Guevara berubah dari manusia menjadi mitos. Poster wajahnya dengan baret hitam karya Alberto Korda, gambar yang diambil tahun 1960 di Havana santer dikabarkan. Dari kampus Eropa hingga demonstrasi di Asia, dari mural di Afrika hingga kaus di Amerika, wajah Che menjadi simbol perlawanan, idealisme, dan kebebasan.

Namun, legenda juga membawa paradoks. Simbol Che dijual di pasar kapitalis seperti kaus, stiker, bahkan parfum. Ironi yang mungkin akan membuatnya muak. Tapi mungkin juga membuatnya tersenyum pahit.

Bagi sejarah, Che Guevara bukan hanya pejuang. Dia adalah simbol dari generasi yang percaya bahwa dunia bisa diubah meski dengan peluru dan darah.

Puluhan tahun setelah kematiannya, jasad Che ditemukan kembali pada 1997 di sebuah kuburan massal di Bolivia. Dia kemudian dimakamkan di Santa Clara, Kuba, kota tempat dia dulu memimpin kemenangan menentukan dalam Revolusi Kuba.

Kini, setiap 9 Oktober, ribuan orang datang ke makamnya. Mereka tidak hanya mengenang seorang manusia, tapi juga sebuah tekad bahwa keberanian untuk menantang ketidakadilan tidak pernah benar-benar mati.

Harfi Admiral

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top