
JAKARTA – Tanggal 29 Agustus 1997 mungkin terlihat seperti hari biasa dalam kalender dunia teknologi. Dunia saat itu masih sibuk dengan kebangkitan dot-com, Google bahkan belum lahir, dan streaming mungkin terdengar seperti istilah sains fiksi.
Namun, di Scotts Valley, California, dua orang bernama Reed Hastings dan Marc Randolph meluncurkan sebuah perusahaan bisnis dengan ide sederhana: menyewakan DVD lewat pos. Kalian tahu nama perusahaan sewa DVD itu apa? Namanya adalah Netflix.
Siapa sangka, lebih dari dua dekade kemudian, perusahaan ini bukan hanya bertahan, tapi juga mendefinisikan ulang bagaimana dunia mengonsumsi hiburan. Netflix adalah contoh ekstrem bagaimana sebuah perusahaan bisa memanfaatkan kombinasi teknologi, data, dan keberanian mengubah model bisnis untuk menjadi raksasa global yang mengubah budaya pop.
Dari Amplop Merah ke Visi Digital
Di akhir 1990-an, model dominan hiburan rumahan adalah Blockbuster, toko persewaan VHS dan DVD di hampir setiap sudut kota Amerika. Ritualnya sama, yaitu datang, memilih film, membawa pulang, lalu buru-buru mengembalikannya sebelum terkena late fee.
Hastings, seorang software engineer yang pada saat itu baru saja menjual perusahaannya, merasakan langsung betapa menyebalkannya denda keterlambatan ini.
Berbagai sumber mengatakan bahwa ide Netflix lahir ketika Hastings harus membayar $40 untuk keterlambatannya dalam mengembalikan film Apollo 13. Cerita ini mungkin sudah dilebih-lebihkan, tapi yang jelas ada dorongan untuk mencari “cara” baru.
Sejak kejadian itu, singkat cerita Netflix pun muncul dengan sistem langganan lewat pos. Tidak ada denda keterlambatan. Pengguna cukup memesan DVD lewat situs web, dan film dikirim dalam amplop merah khas Netflix. Begitu selesai menonton, cukup masukkan kembali ke kotak surat. Sederhana, tapi revolusioner.
Namun, keberanian terbesar Netflix bukan sekadar mengganti cara distribusi film ke penyewa, melainkan memprediksi arah masa depan teknologi. Pada 2007, ketika broadband mulai meluas, Netflix meluncurkan layanan streaming.
Saat itu, banyak yang menganggap langkah ini nekat. “Menonton film lewat internet? Siapa yang mau?” Tapi Netflix tahu, masa depan ada di cloud, bukan lagi di amplop merah.
Algoritma Sebagai Sutradara Tak Terlihat
Sejak awal, Netflix tidak hanya memikirkan soal film, tapi juga data. Setiap klik, setiap rating bintang, setiap film yang ditonton separuh jalan, semuanya direkam. Dari data ini, Netflix mengembangkan algoritma rekomendasi yang cerdas.
Ketika sebagian besar pesaing masih mengandalkan iklan televisi atau rak film fisik, Netflix membangun personalized experience, daftar rekomendasi khusus yang berbeda untuk setiap pengguna.
“Because you watched Stranger Things…” bukan hanya gimmick, melainkan manifestasi dari AI yang bekerja di balik layar.
Netflix bahkan menggelar Netflix Prize pada 2006, kompetisi terbuka dengan hadiah $1 juta untuk siapa saja yang bisa meningkatkan akurasi algoritma rekomendasi mereka sebesar 10%.
Hasilnya? Bukan hanya algoritma yang lebih pintar, tapi juga reputasi Netflix sebagai perusahaan yang serius pada data-driven culture.
Inilah perbedaan fundamental Netflix dengan studio film tradisional. Jika Hollywood bergantung pada insting produser, Netflix mengandalkan jutaan titik data untuk memprediksi apa yang penonton inginkan. Bukan sekadar film yang bagus, tapi film yang tepat untuk audiens yang tepat.
Hollywood Baru Bernama Silicon Valley
Keputusan Netflix untuk memproduksi konten orisinal adalah titik balik lain. Pada 2013, ketika mereka merilis House of Cards, dunia hiburan tercengang. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan teknologi, yang bahkan tidak punya studio film besar, berani menginvestasikan $100 juta untuk serial orisinal?
Ternyata Netflix punya senjata rahasia yang disebut big data. Mereka tahu ada korelasi kuat antara penonton yang menyukai Kevin Spacey, karya-karya David Fincher, dan serial politik. Dengan kata lain, House of Cards bukan hanya proyek artistik, melainkan proyek algoritmik.
Hasilnya? Sukses besar! House of Cards bukan hanya memenangi penghargaan, tapi juga membuktikan bahwa Netflix bisa menjadi “Hollywood baru”.
Setelah itu, deretan konten orisinal bermunculan: Orange is the New Black, Narcos, The Crown, hingga Stranger Things. Netflix tidak lagi sekadar menyalurkan film, tapi menjadi produsen utama konten global.
Dan di sinilah Netflix benar-benar menjadi perusahaan teknologi yang mengubah budaya global.
Dari Silicon Valley ke Dunia
Netflix kini hadir di lebih dari 190 negara. Dari Seoul hingga Sao Paulo, dari Jakarta hingga Johannesburg, logo merah ikonik dengan huruf “N” itu jadi bagian keseharian banyak orang. Lebih dari 250 juta pelanggan aktif di seluruh dunia mengonsumsi kontennya setiap hari.
Namun, ekspansi global bukan sekadar soal distribusi. Netflix juga berinvestasi pada konten lokal. Serial Spanyol La Casa de Papel (Money Heist) menjadi fenomena internasional. Drama Korea Squid Game mencetak rekor sebagai tayangan paling banyak ditonton sepanjang sejarah platform kala itu.
Netflix memahami sesuatu yang fundamental bahwa internet adalah jaringan global, tapi selera tetap lokal. Strateginya ialah menggabungkan cerita lokal dengan distribusi global. Hasilnya, konten non-Inggris justru mendominasi percakapan budaya pop dunia.
Kompetisi yang Makin Panas
Namun, seperti semua kisah di Silicon Valley, kesuksesan tentu menghadirkan kompetisi yang beragam dari berbagai kontender. Sebut saja Disney, Amazon, Apple, hingga Warner Bros, juga ikut masuk ke arena streaming. Dunia hiburan kini disebut sebagai streaming wars.
Netflix, yang dulu pionir, kini harus bertarung untuk mempertahankan posisinya. Tantangannya bukan hanya teknologi, tapi juga konten. Di era di mana setiap studio besar menarik konten mereka kembali ke platform sendiri, Netflix harus terus mengisi katalog dengan produksi orisinal yang biayanya semakin membengkak.
Selain itu, pertanyaan soal ketahanan finansial mulai muncul. Dengan investasi miliaran dolar per tahun pada konten, berapa lama Netflix bisa terus membakar uang untuk menjaga pertumbuhan?
Dari Amplop ke AI: Apa Selanjutnya?
Hari ini, Netflix bukan lagi sekadar penyedia film. Mereka adalah ekosistem teknologi hiburan. Mereka menguji interaktivitas lewat Bandersnatch, memperluas ke game mobile, dan bereksperimen dengan AI generatif untuk mendukung produksi.
Bayangkan, algoritma yang tidak hanya merekomendasikan film, tapi juga membantu menulis naskah, menentukan sudut kamera, bahkan merancang poster promosi. Netflix berada di titik di mana batas antara studio film dan perusahaan teknologi semakin kabur.
Mungkin inilah visi besar Hastings sejak awal: hiburan sebagai produk software. Sama seperti Microsoft mendominasi PC dan Google mendominasi pencarian, Netflix ingin mendominasi waktu luang manusia.
Lebih dari Sekadar Hiburan
Netflix telah menjadi lebih dari sekadar perusahaan. Dia adalah fenomena budaya. Dari istilah “Netflix and Chill” yang masuk ke kamus gaul, hingga cara binge-watching mengubah pola konsumsi hiburan, Netflix telah menulis ulang aturan permainan.
Tanggal 29 Agustus 1997 bukan hanya hari lahir sebuah startup, tapi juga awal era baru. Dari amplop merah sederhana, Netflix menjelma menjadi algoritma raksasa yang mendikte selera dunia.
Dan jika ada satu pelajaran yang bisa dipetik dari perjalanan ini, mungkin sederhana: di dunia digital, yang bertahan bukan hanya yang paling kreatif, tapi yang paling adaptif.
Harfi Admiral