
JAKARTA – Sejak lama manusia tergoda dengan ide bahwa pikiran mampu menggerakkan benda tanpa sentuhan fisik. Dari panggung sulap, cerita mistis, hingga film populer seperti Star Wars, telekinesis digambarkan sebagai bukti “kekuatan tersembunyi” manusia. Tapi sayangnya, di dunia nyata, sendok hanya akan bengkok kalau ditekan, bukan dipelototi.
Ilmu pengetahuan sudah berkali-kali menguji klaim ini. James Randi, seorang ilusionis sekaligus pembongkar penipuan paranormal, bahkan menawarkan hadiah $1 juta bagi siapa saja yang bisa menunjukkan kemampuan telekinesis dalam kondisi terkontrol.
Sampai akhir hidupnya, uang itu tetap aman di rekening. Seperti dijelaskan oleh Wiseman & Greening (2005) dalam British Journal of Psychology, bahwa tidak ada bukti yang pernah mendukung keberadaan kemampuan psikokinetik saat diuji dalam kondisi yang terkontrol dengan baik.
Dengan kata lain, kalau benar-benar bisa menggerakkan benda hanya dengan pikiran, sains pasti sudah mencatatkan keajaiban itu. Nyatanya, yang bergerak justru rekening para “dukun” dan “paranormal” yang menjual pertunjukan semacam itu.
Sejarah Singkat Telekinesis: Dari Meja Bergoyang ke Super Power Layar Kaca
Telekinesis pertama kali populer pada abad ke-19, ketika gelombang spiritisme melanda Eropa dan Amerika. Saat itu, banyak orang menghadiri seance (pertemuan roh) di mana meja bergetar, kursi bergeser, atau benda-benda terangkat sendiri.
Bagi penggemar mistik, ini bukti roh yang hadir. Tetapi bagi ilmuwan, ini bukti betapa mudahnya manusia tertipu oleh trik sulap dan sugesti.
Banyak ilusionis kala itu membongkar rahasianya. Meja yang bergoyang ternyata karena kaki yang sengaja didorong atau magnet yang disembunyikan di bawah lantai. Meski terbongkar sebagai tipuan, gagasan telekinesis tak pernah benar-benar mati.
Abad ke-20, istilah ini masuk ke ranah parapsikologi dan menjadi bahan “penelitian” yang penuh kontroversi. Bahkan, selama Perang Dingin, rumor beredar bahwa Uni Soviet dan Amerika Serikat pernah meneliti telekinesis sebagai senjata rahasia. Namun, tak ada bukti ilmiah yang pernah keluar ke publik.
Seperti yang ditulis oleh Alcock (1981) dalam bukunya Parapsychology: Science or Magic?, klaim psikokinesis secara historis berkembang bukan karena validasi ilmiah, tetapi karena ketertarikan budaya terhadap kemungkinan kekuatan tersembunyi.
Artinya, telekinesis bertahan bukan karena terbukti, tapi karena manusia suka fantasi bahwa dirinya punya kekuatan super.
Tak heran jika hari ini telekinesis lebih sering kita temui di pop culture modern, misalnya Eleven di Stranger Things atau tokoh-tokoh dengan kekuatan psikis di serial The Umbrella Academy, daripada di laboratorium ilmiah.
Saat Telekinesis Masuk Laboratorium dan Gagal Total
Jika telekinesis benar adanya, sains tentu sudah bisa membuktikannya dengan mudah. Faktanya, puluhan tahun eksperimen hanya menghasilkan kekecewaan.
Pada 1930-an, parapsikolog J.B. Rhine di Duke University mencoba menguji kemampuan psikis, termasuk telekinesis, dengan dadu dan kartu. Awalnya ada hasil “menarik”, tapi ketika metode penelitian diperketat, efek ajaib itu hilang begitu saja.
Penelitian modern pun tak jauh berbeda. Misalnya, di Princeton Engineering Anomalies Research (PEAR) Laboratory, peneliti mencoba melihat apakah pikiran bisa memengaruhi mesin penghasil angka acak (random number generator). Hasilnya? Tidak ada bukti konsisten. Efek kecil yang muncul ternyata bisa dijelaskan dengan bias statistik atau kesalahan eksperimental.
Seperti yang dijelaskan Radin & Nelson (1989) dalam Foundations of Physics, klaim adanya interaksi pikiran dan materi telah gagal direplikasi ketika dikenakan kontrol yang ketat, yang menunjukkan bahwa efek yang diamati merupakan “artefak” dan bukan fenomena sebenarnya. Dengan kata lain, setiap kali telekinesis diuji dengan benar, hasilnya lenyap seperti asap.
Namun, kegagalan ini tidak menghentikan industri hiburan maupun “praktisi supranatural” untuk terus menjual ilusi telekinesis. Benda mungkin tidak pernah bergerak karena pikiran, tapi dompet penonton dan pengikut selalu bergerak ke arah yang sama: keluar.
Mengapa Kita Masih Percaya Telekinesis? Antara Harapan, Ilusi, dan Budaya Pop
Meski berkali-kali gagal dibuktikan, telekinesis tetap punya tempat istimewa di hati manusia. Mengapa? Pertama, ada faktor psikologis: manusia cenderung suka percaya pada sesuatu yang memberi harapan akan kekuatan luar biasa. Seperti dijelaskan oleh Wiseman & Watt (2006) dalam Paranormal beliefs and the misinterpretation of chance events, kepercayaan pada fenomena paranormal sering muncul karena orang salah menafsirkan kebetulan sebagai bukti kekuatan gaib.
Kedua, budaya populer memperkuat fantasi ini. Dari komik superhero hingga serial seperti Stranger Things atau The Umbrella Academy, kemampuan menggerakkan benda dengan pikiran selalu dipresentasikan sebagai simbol kekuatan dan pemberontakan terhadap batas manusia. Tidak heran, banyak orang masih ingin percaya meski akal sehat berkata sebaliknya.
Ketiga, ada aspek sosial dan ekonomi. Paranormal atau pesulap yang mengklaim punya telekinesis mendapatkan perhatian, pengikut, bahkan keuntungan finansial. Dengan kata lain, telekinesis lebih banyak bertahan sebagai “produk budaya” ketimbang fenomena ilmiah.
Pada akhirnya, telekinesis adalah cermin keinginan manusia: ingin berkuasa atas dunia hanya dengan pikiran, tanpa kerja keras. Sayangnya, hukum fisika tak pernah memberi diskon untuk harapan semacam itu.
Telekinesis, Ilusi yang Tak Pernah Bergerak
Telekinesis selalu terdengar menggoda. Siapa yang tidak ingin bisa menggerakkan benda hanya dengan pikiran? Namun, sepanjang sejarah, klaim tentang kemampuan ini selalu runtuh ketika diuji dengan metode ilmiah yang ketat.
Dari eksperimen awal di Duke University, laboratorium PEAR di Princeton, hingga penelitian modern, tidak ada satu pun bukti yang konsisten bahwa telekinesis benar-benar ada.
Faktanya, yang bergerak bukanlah sendok atau kursi, melainkan imajinasi manusia dan industri hiburan yang memanfaatkannya. Telekinesis hidup karena fantasi budaya populer, salah tafsir psikologis, dan daya tarik ekonomi dari “keajaiban” palsu yang dijual sebagai hiburan.
Sains, melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan, jelas menyatakan bahwa fenomena ini hanyalah ilusi. Namun, seperti semua mitos modern, telekinesis tetap bertahan bukan karena bukti, tetapi karena manusia selalu merindukan hal-hal ajaib yang bisa membuatnya merasa lebih dari sekadar makhluk biasa.
Pada akhirnya, sendok hanya akan tetap bengkok bila ditekan, bukan dipelototi.
Yogi Pranditia