
JAKARTA – Suasana di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta pada Kamis malam (4/9/2025) berbeda dari biasanya.
Berdasarkan pantauan langsung tim Rasinesia di Yogyakarta, ratusan masyarakat memadati area sisi selatan masjid untuk menyaksikan sebuah prosesi langka yang hanya muncul sekali dalam delapan tahun, yakni ritual Jejak Banon atau dikenal juga dengan Jejak Benteng.
Di Keraton Yogyakarta, upacara ini merupakan bagian dari rangkaian Hajad Dalem Sekaten. Prosesi ini dilaksanakan satu hari sebelum puncak acara Grebeg Maulud di Keraton Yogyakarta.
Untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, grebeg adalah tradisi tahunan yang ditandai dengan arak-arakan gunungan hasil bumi yang kemudian diperebutkan oleh warga.
Pada sistem penanggalan Jawa, tahun ini unik karena bertepatan dengan tahun Dal, salah satu tahun dalam siklus delapan tahunan atau windu.
Berdasarkan informasi dari situs Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Jejak Benteng adalah salah satu ritual kebudayaan yang jarang dilakukan karena tahun Dal memiliki status khusus.
Nah, sekitar pukul 19.00 WIB, rangkaian acara malam itu dimulai dengan pembacaan Riwayat Nabi Muhammad SAW di Masjid Gedhe. Setelah selesai membaca Riwayat Nabi, ritual Jejak Benteng pun dimulai.
Sri Sultan Hamengkubuwono X keluar dari masjid sekitar pukul 22.10 WIB. Beliau menapak dengan khidmat ke dinding benteng di sisi selatan Masjid Gedhe. Di hadapan ratusan pasang mata warga dan para abdi dalem, Sultan kemudian merobohkan bata benteng dengan kakinya.
Ritual Jejak Benteng memiliki nilai sejarah dan merupakan simbol keagamaan. Ritual ini dilakukan untuk mengingat perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi, yang mendirikan Keraton Yogyakarta.
Menurut cerita, Sultan Hamengkubuwono I harus melarikan diri dari kepungan musuh setelah melakukan salat Jumat di Masjid Gedhe. Untuk menyelamatkan diri, dia menendang bata benteng hingga roboh. Ritual yang dilakukan malam itu oleh Hamengkubuwono X menjadi pengingat akan keberanian, kecerdikan, dan keteguhan pendiri keraton.
Prosesi yang dilakukan setiap delapan tahun sekali ini menarik perhatian publik. Ratusan orang berbondong-bondong untuk melihat langsung. Banyak orang rela menunggu berjam-jam untuk menghindari kehilangan momen penting.
Namun, antusiasme warga untuk memungut bata yang sudah dirobohkan Sultan membuat suasana semakin unik. Meskipun hanya pecahan batu bata, bagi masyarakat bata itu dianggap membawa keberuntungan dan berkah.
“Masyarakat di sini percaya, kalo bisa bawa batu bata akan dapat keberkahan,” ujar Mahda (20) salah satu warga yang ikut hadir menyaksikan ritual Jejak Benteng kepada tim Rasinesia.
Pemandangan warga yang berebutan mengumpulkan pecahan bata ini menambah warna dalam jalannya tradisi. Di satu sisi, hal itu memperlihatkan kepercayaan masyarakat pada nilai simbolik, yaitu batu bata tadi.
Ritual Jejak Benteng bukan hanya sekedar tontonan budaya, namun merupakan warisan yang menyatukan nilai sejarah, spiritualitas, dan keyakinan masyarakat Jawa.
Meskipun dilakukan di era modern, ritual ini menjadi pengingat bahwa tradisi masih ada dan memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakat Yogyakarta.
Vara Madina Yazikra adalah seorang mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Saat ini sedang bergiat di UKMF Labor Penulisan Kreatif (LPK) Unand dan sedang mengikuti program Credit Earning ke Universitas Gajah Mada.
Vara Madina Yazikra