
JAKARTA – Di era ketika manusia bisa mengirim satelit ke orbit, menciptakan kecerdasan buatan, bahkan merencanakan koloni di Mars, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar hilang: kepercayaan bahwa hidup kita dikendalikan oleh ramalan zodiak.
Zodiak tetap eksis, tidak peduli seberapa jauh ilmu pengetahuan membongkar rahasia alam semesta. Ironisnya, banyak orang yang mungkin tidak percaya pada sains iklim atau data statistik, tapi dengan yakin mempercayai bahwa “Mercury retrograde” adalah alasan laptop mereka mendadak rusak atau hubungan cinta mereka retak.
Langit bicara, logika menghilang
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Ramalan bintang telah eksis selama ribuan tahun, diwarisi dari kebudayaan kuno yang menatap langit malam sebagai kitab suci.
Bedanya, jika dulu zodiak digunakan untuk mengatur musim tanam atau ritual kerajaan, sekarang ia lebih sering muncul di feed Instagram, di antara foto kopi susu dan selfie.
Dan meskipun tersedia lautan informasi ilmiah yang bisa diakses dengan satu klik, banyak orang lebih memilih membaca horoskop harian ketimbang riset psikologi.
Fenomena ini bukanlah sekadar penghibur di pagi hari. Ia bertahan karena fungsi psikologisnya. Seperti dijelaskan dalam artikel The Psychology Behind Why We Care About Astrology, astrologi tetap populer terutama saat krisis, karena memberikan rasa kontrol dan struktur ketika institusi yang seharusnya meyakinkan kita gagal menunjukkan kekuatan itu.
Dengan kata lain, zodiak bukan cuma gim, tapi semacam pelampiasan bagi mereka yang pikirannya kacau dan butuh yang terlihat pasti.
Efek Barnum, ramalan yang cocok untuk semua orang termasuk kucing
Salah satu alasan mengapa ramalan zodiak terasa ngena banget adalah karena ia dirancang untuk cocok bagi siapa saja. Ketika kamu baca, “Kamu orangnya peduli, tapi kadang egois,” lalu kamu langsung berpikir, “Astaga, ini aku banget!”
Padahal, kalimat itu juga bisa berlaku untuk tetanggamu, dosenmu, bahkan kucingmu yang pura-pura sayang lalu tiba-tiba mencakar.
Fenomena ini dikenal sebagai Efek Barnum, sebuah bias psikologis di mana manusia dengan senang hati menerima pernyataan samar sebagai kebenaran pribadi.
Psikolog Bertram Forer pada 1949 pernah melakukan eksperimen klasik. Ia memberikan para mahasiswanya analisis kepribadian yang katanya berdasarkan tes psikologi, tetapi sebenarnya semua mendapat teks identik.
Hasilnya? Mayoritas menilai analisis itu sangat akurat, dengan skor rata-rata 4,26 dari 5. Forer menyimpulkan, bahwa manusia cenderung menerima deskripsi umum sebagai gambaran unik dirinya.
Ironisnya, inilah bahan bakar utama ramalan zodiak modern. Tidak perlu riset, tidak perlu observasi, cukup tulis, “Minggu ini kamu akan merasa ragu, tapi akan ada kesempatan besar bila kamu berani melangkah.”
Voila! Jutaan orang merasa tersentuh. Satirnya, kalau prediksi ini dipasang di papan pengumuman kampus, mungkin bahkan kantin bisa merasa sedang diramal.
Bintang atau bias? Ilusi kontrol dalam astrologi
Salah satu alasan utama zodiak terus dipercaya adalah karena ia menawarkan apa yang manusia rindukan, yaitu ilusi kontrol. Ketika hidup terasa penuh ketidakpastian, entah itu soal pekerjaan, hubungan, atau kesehatan, percaya bahwa nasib sudah ditulis di bintang terasa jauh lebih nyaman daripada menghadapi kenyataan bahwa segala sesuatunya acak.
Siapa yang berani menyebut kegagalan karena malas, jika bisa dengan aman menyalahkan efek “retrograde”?
Studi klasik dalam The Journal of Social Psychology menunjukkan keterkaitan itu secara ilmiah. Sosis, Strickland, dan Haley menemukan bahwa orang yang memiliki locus of control eksternal, yaitu mereka yang percaya hidup dikendalikan oleh takdir atau kebetulan, cenderung lebih percaya astrologi.
Dengan kata lain, bicara zodiak seringkali bukan tentang bintang yang memimpin, tapi tentang ego yang ingin menutup keraguan dengan keyakinan palsu.
Lebih jauh lagi, artikel di Verywell Mind menegaskan bahwa astrologi hadir sebagai “penstabil psikologis” saat institusi yang seharusnya memberi jawaban seperti politik, ekonomi, atau agama. Bintang jadi pusat kenyamanan saat sistem yang ada tidak lagi meyakinkan.
Ramalan harian antara kopi pagi, ilusi, dan sedikit bumbu clickbait
Setiap pagi, jutaan orang membuka ponsel mereka bukan untuk membaca berita dunia, melainkan untuk mencari tahu apa kata bintang hari ini. Ramalan zodiak harian kini sejajar dengan ritual minum kopi, sesuatu yang ringan, manis, dan bisa bikin hari terasa lebih tertata.
Ironisnya, meski tahu isinya generik, banyak orang tetap membacanya dengan khusyuk, seolah barisan kata di kolom lifestyle portal berita lebih penting daripada laporan cuaca atau inflasi.
Secara psikologis, hal ini bisa dijelaskan melalui self-fulfilling prophecy yang mana, ketika seseorang percaya pada ramalan, ia cenderung bertindak sesuai prediksi tersebut. Pada akhirnya merasa ramalan itu “terbukti.”
Misalnya, jika zodiak bilang, “Hari ini kamu akan bertemu peluang baru,” maka seseorang akan lebih terbuka pada pengalaman baru, lalu menyimpulkan bahwa ramalan memang akurat.
Sebuah artikel di Psychology Today menegaskan bahwa astrologi bekerja karena orang menciptakan makna darinya dan menyesuaikan perilaku mereka untuk cocok dengan prediksi. Dengan kata lain, ramalan itu sering kali benar bukan karena bintang, tapi karena pembacanya yang berusaha membenarkannya.
Satirnya, ramalan zodiak harian tidak jauh beda dengan iklan clickbait: judul bombastis, isi generik, tapi tetap dibaca berjuta kali. Jika ramalan itu ditulis seperti, “Hari ini kamu akan makan sesuatu dan merasa kenyang,” mungkin orang tetap berkomentar, “Wow, kok pas banget sama aku.”
Bintang yang tak pernah salah, manusia yang selalu percaya
Ada sesuatu yang ironis dari ramalan zodiak, yaitu bintang selalu benar. Bukan karena mereka memang tahu nasibmu, tapi karena manusia selalu siap untuk percaya.
Astrologi bertahan bukan di ruang observatorium, melainkan di ruang hati yang rapuh, di mana ketidakpastian hidup butuh ditenangkan dengan kalimat sederhana seperti segalanya akan baik-baik saja.
Bahkan, jika ditulis dengan gaya generik, kita tetap menempelkan maknanya ke dalam kehidupan pribadi.
Sebuah ulasan di The Conversation menegaskan bahwa astrologi masih populer karena dunia modern penuh ketidakpastian. Psikolog Nicholas Campion menjelaskan bahwa astrologi bertahan bukan karena sains, tetapi karena menawarkan narasi, makna, dan rasa kontrol bagi individu yang kehilangan pegangan dalam dunia serba cepat.
Dengan kata lain, bintang tidak pernah salah karena manusialah yang selalu berusaha mencocokkan cerita itu dengan realitasnya sendiri. Namun, di balik semua itu, zodiak hanyalah cermin sederhana, ia memantulkan apa yang sudah ada di dalam pikiran kita. Bukan kosmos yang berbicara, melainkan bias kognitif kita sendiri.
Jika hari ini ramalanmu berkata, “kamu akan menemukan cinta baru,” mungkin itu sekadar algoritma kuno yang bekerja sama baiknya dengan algoritma media sosial. Bedanya, bintang tidak menagih paket data, hanya menagih iman.
Dan di situlah letak satirnya, manusia yang bisa mendarat di bulan, membuat AI, dan merencanakan koloni di Mars, tetap rela menyerahkan sebagian logikanya pada kalimat generik yang lahir dari konstelasi kuno.
Bintang memang tidak pernah salah, kitalah yang terlalu ingin mereka selalu benar.
Yogi Pranditia
Pingback: Kalau Aku Jatuh Kamu Harus Ikut, Mengenal Fenomena Crab Mentality – Rasinesia