
JAKARTA – Pada tahun 1996, sebuah kabar dari ujung utara Indonesia menyentak dunia ornitologi. Di Kepulauan Talaud, gugusan pulau kecil yang terjepit antara Sulawesi dan Filipina, para peneliti menemukan kembali seekor burung yang selama puluhan tahun dianggap hilang, bahkan mungkin punah.
Burung itu bernama mandar Talaud atau dalam bahasa latin Amaurornis magnirostris. Mandar ini bukan burung sembarangan. Dia bagian dari keluarga Rallidae, kelompok burung rawa yang terkenal licik, sulit dipantau, dan sering kali menjadi legenda lokal ketimbang objek penelitian.
Seperti bayangan yang melintas di antara alang-alang dan semak bakau, dia hidup dalam bisu seakan menolak terpergok manusia. Sejak terakhir kali tercatat pada abad ke-19, keberadaannya menjadi misteri yang nyaris dilupakan. Lalu di tahun 1996, misteri itu terpecahkan.
Kepulauan Talaud, pulau di tepi dunia
Kepulauan Talaud bukan sekadar titik di peta. Pulau ini merupakan serangkaian pulau yang diselimuti hutan tropis, sawah, dan kebun kelapa. Dikelilingi juga oleh lautan yang kaya ikan.
Bagi para ahli burung, pulau-pulau semacam Kepulauan Talaud adalah laboratorium hidup. Isolasi geografisnya menciptakan peluang evolusi unik. Spesies yang berkembang berbeda sehingga membentuk identitas yang tak ditemukan di tempat lain. Indonesia bagian timur adalah episentrum biodiversitas seperti itu dan Talaud adalah salah satunya.
Namun, Talaud juga tempat di mana burung dapat hilang tanpa jejak. Perubahan habitat, perburuan, dan kehadiran predator asing bisa menghapus jejak spesies dalam satu atau dua generasi manusia. Itulah yang dikhawatirkan terjadi pada mandar Talaud.
Hantu yang hidup di rawa
Burung-burung mandar terkenal sulit dipelajari. Mereka hidup di antara vegetasi rapat, sering bersembunyi di balik batang bakau atau rawa. Jarang sekali mereka terbang jauh. Sebaliknya, mereka lebih memilih berlari cepat, menyelinap, atau bahkan menyelam ke air dangkal untuk menghindar dari bahaya.
Tubuhnya relatif besar dibandingkan kerabatnya dengan paruh tebal dan kaki panjang yang memungkinkannya melangkah di antara lumpur. Suaranya jarang terdengar dan geraknya hanya sekilas. Itulah sebabnya, ketika para peneliti dan ornitologis seperti Frank Lambert berhasil mengidentifikasi kembali spesies ini pada 1996, dunia ilmiah menjadi gempar.
Momen itu bermula dari ekspedisi ornitologi yang dilakukan untuk mendata kekayaan burung di pulau-pulau terpencil Indonesia. Saat menyusuri semak rawa Talaud, tim ekspedisi mendapati burung berukuran sedang dengan ciri yang tak dikenal. Paruh besar, tubuh kekar, dan perilaku khas burung rawa menegaskan bahwa mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang luar biasa.
Spesimen yang diteliti cocok dengan deskripsi lama Amaurornis magnirostris, spesies yang pertama kali dicatat lebih dari seabad sebelumnya namun tidak pernah terlihat lagi.
Burung itu bukan sekadar “penemuan baru”, dia adalah penemuan kembali (rediscovery), sebuah kejadian langka yang selalu disambut dengan euforia di dunia konservasi.
Dalam dunia biologi konservasi, penemuan kembali spesies ibarat menemukan kembali halaman buku yang hilang dari sejarah. Mandar Talaud memberi kita pelajaran bahwa ekosistem masih menyimpan rahasia dan kepunahan tidak selalu final selama habitatnya masih ada.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 5 September, Lahirnya Freddie Mercury: Si Flamboyan Di Atas Panggung
Tapi penemuan itu juga menyalakan alarm. Jika selama puluhan tahun burung ini tak pernah terlihat, itu artinya populasinya kecil, rapuh, dan rawan punah.
Tanpa perlindungan, mandar Talaud bisa saja benar-benar hilang untuk selamanya.
Ancaman di pesisir dan rawa
Sama seperti banyak pulau tropis lainnya, Talaud juga menghadapi tekanan berat dari aktivitas manusia. Deforestasi, perluasan lahan pertanian, dan pembukaan lahan untuk pemukiman mempersempit ruang hidup spesies endemik. Burung yang bergantung pada habitat sempit seperti mandar Talaud menjadi korban pertama.
Penemuan kembali tahun 1996 menjadi pengingat betapa pentingnya melindungi ekosistem Talaud, bukan hanya bagi burung mandar, tapi juga bagi seluruh jaringan kehidupan yang bergantung padanya.
Menariknya, bagi masyarakat Talaud sendiri, keberadaan burung rawa ini bukan hal asing. Mereka mengenalnya sebagai bagian dari lanskap sehari-hari, meski tidak selalu memberi perhatian khusus. Dalam banyak budaya di Nusantara, burung rawa dianggap sekadar satwa liar yang bersembunyi di pinggir sawah atau hutan.
Namun setelah kabar penemuan kembali menyebar, perhatian dunia membuat mandar Talaud naik derajat dari “burung biasa” menjadi simbol keunikan ekologis Talaud.
Para peneliti yang beruntung mendengar atau melihat mandar Talaud menggambarkan sensasi itu seperti menyaksikan hantu yang menjelma nyata. Burung ini jarang sekali menampakkan diri penuh, melainkan lebih sering berupa gerakan samar di antara daun basah.
Tetapi dalam kesamaran itulah letak daya tariknya. Dia mewakili alam liar yang masih menyimpan rahasia, sekaligus rapuh di hadapan peradaban manusia yang semakin meluas.
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H] 7 September, Misteri Kematian Munir Said Thalib Sang Aktivis HAM di Langit Garuda – Rasinesia