
JAKARTA – Setiap kali manusia duduk di meja makan, sebenarnya ia tengah duduk di atas kuburan kecil yang rapih tersaji. Satu potong ayam goreng yang tampak sederhana di piring, sejatinya adalah puncak dari rantai panjang pembantaian yang sunyi.
Ayam yang bernyawa dipaksa bungkam, padi yang berdesis dipanen paksa, bawang yang menjerit diam-diam dikupas, hingga kelapa sawit yang ditebang tanpa belas kasihan demi setetes minyak goreng. Semua itu mati tanpa upacara, hanya agar manusia bisa menelan “kesenangan” beberapa menit.
Ironinya, manusia jarang merasa bersalah. Justru, ia menaburkan tepung dan garam, lalu menyebutnya hidangan lezat. Inilah tragedi paling intens di dunia, pembunuhan massal yang kita rayakan tiga kali sehari lengkap dengan sambal dan es teh manis.
Ayam yang mati demi tawa di meja makan
Mari kita coba contohkan mulai dari ayam. Ayam tidak pernah meminta lahir hanya untuk dicelupkan ke minyak panas. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi menu paket hemat di restoran cepat saji.
Namun, manusia selalu melihatnya sekadar protein berjalan, bukan makhluk yang pernah berkaki, bersuara, dan bernafas. Lucunya, di meja makan, manusia bisa tertawa lebar, bersenda gurau, bahkan saling suap potongan daging ayam seakan yang mati di atas piring hanyalah benda tanpa sejarah.
Satu ekor ayam dibunuh, dipotong, lalu digoreng dan akhirnya menjadi teman makan nasi. Tragisnya, manusia memberi bumbu pedas untuk menutupi aroma kematian itu, lalu menyebutnya “lezat.” Seakan dengan menambah sambal dan kecap, semua jejak darah bisa dihapus.
Ironi paling pahit adalah ayam lebih dihargai setelah mati ketika tubuhnya berubah menjadi lauk bukan ketika ia masih hidup dan berkokok di pagi hari.
Dan bukankah lebih satir lagi, bahwa kita sering menyebut ayam goreng sebagai comfort food? Seakan-akan penderitaan seekor hewan bisa menjadi penghiburan batin manusia. Barangkali inilah puncak absurditas, manusia mencari kenyamanan di atas luka dan menyebutnya sebagai “kebahagiaan sederhana.”
Butir padi yang menangis di sawah
Tetapi, tidak ada yang lebih tragis daripada kisah padi. Lahir dari tanah, tumbuh di bawah matahari, diguyur hujan, lalu akhirnya dipenggal di ladang oleh tangan manusia yang menyebutnya “panen raya.”
Bagi manusia, butir padi bukan makhluk hidup yang bernapas, melainkan sekadar karbohidrat yang harus ditanak dan dimakan tiga kali sehari. Tak peduli berapa banyak nyawa kecil yang dihancurkan, manusia hanya akan menyebutnya bagian dari sembako.
Padi dalam satu siklus hidupnya mengabdikan diri sepenuhnya untuk manusia. Dari benih, batang, hingga bulir semuanya dimanfaatkan. Begitu sudah menjadi nasi ia sering terbuang di piring, basi di dapur, atau tercecer di lantai.
“Hargailah makananmu,” kata orang tua, padahal manusia sendiri jarang benar-benar menghargai padi sebagai nyawa yang dipetik dari bumi.
Padi adalah salah satu tanaman budidaya tertua di dunia dengan sejarah lebih dari 9.000 tahun dan menjadi makanan pokok bagi lebih dari separuh populasi manusia di bumi. Ironi ini begitu jelas, sesuatu yang menopang hidup miliaran orang justru dianggap remeh, bahkan disia-siakan setiap hari.
Padi tidak pernah protes karena suaranya ditenggelamkan oleh deru mesin penggiling dan kepulan nasi panas di meja makan.
Air mata bawang, air mata kita semua
Setiap kali bawang dikupas, ada semacam ritual pengorbanan yang ganjil. Manusia memotong tubuh kecilnya lalu menangis. Bawang yang tak pernah punya mata, justru membuat manusia berlinang air mata. Sungguh pengingat bahwa bahkan untuk sekadar menumis, ada tragedi sunyi yang harus dibayar.
Bawang adalah saksi bisu kerakusan manusia. Ia dikorbankan bukan hanya untuk rasa, tapi juga untuk aroma, bahkan terkadang untuk sekadar warna kecokelatan di minyak panas. Tak ada yang bertanya apakah ia ingin ikut masuk ke penggorengan. Nasibnya sudah diputuskan sejak ditanam di tanah. Tidak ada pilihan, kecuali pasrah jadi tumisan.
Menurut National Onion Association, manusia di seluruh dunia mengonsumsi lebih dari 100 juta ton bawang setiap tahun. Angka yang bahkan lebih besar daripada jumlah daging beberapa hewan ternak.
Bayangkan, sekecil itu bentuknya tapi ditelan dalam jumlah yang seolah-olah dunia tidak akan berputar tanpa bawang. Dan memang benar, dunia manusia bisa kacau hanya karena harga bawang naik.
Minyak yang membakar hutan, bukan sekadar penggorengan
Minyak goreng benda cair yang tampak polos, bening, bahkan sering dianggap suci karena selalu hadir di hampir setiap masakan. Namun siapa sangka, setiap tetesnya adalah cerita panjang dari pohon-pohon kelapa sawit yang ditebang, hutan yang dibakar, dan satwa liar yang kehilangan rumah.
Semua demi satu tujuan sederhana, yaitu membuat ayam goreng lebih renyah.
Minyak bukan hanya melumuri penggorengan, tapi juga melumuri sejarah manusia dengan noda kerakusan. Kita menuntut renyah di lidah, tapi jarang berpikir tentang nyawa orangutan yang terjebak di lahan terbakar atau kabut asap yang membuat anak-anak sulit bernapas. Semua tragedi itu disulap jadi “makanan lezat” yang kita kunyah tanpa rasa bersalah.
Baca Selengkapnya: Global Chaos, Ketika Kekacauan Menjadi Bahasa Universal
Menurut laporan South China Morning Post, lebih dari 85% minyak sawit dunia diproduksi di Indonesia dan Malaysia dengan dampak serius pada deforestasi dan hilangnya habitat satwa liar, terutama orangutan dan harimau sumatra.
Sebuah harga yang terlalu mahal untuk sekadar sepotong ayam goreng.
Perjamuan terbesar bernama dunia
Pada akhirnya, meja makan manusia tak pernah benar-benar kosong. Dari gigitan pertama hingga tegukan terakhir, kita menjadikan bumi ini sebuah pesta tanpa akhir, di mana semua yang hidup, dan bahkan yang nyaris tak hidup, dipaksa menjadi hidangan.
Ayam goreng di piringmu bukan sekadar ayam, ia adalah ladang padi yang merunduk, bawang yang menangis, dan kelapa sawit yang tumbang di ujung hutan tropis.
Manusia menyebut dirinya makhluk paling beradab, padahal meja jamuan kita hanyalah altar pengorbanan. Kita merayakan rasa lapar dengan upacara berdarah yang dibungkus rapi dalam kotak makan modern.
Dari hutan yang ditebang, laut yang dijarah, hingga udara yang dikotori, semuanya demi sepotong “kenikmatan” yang bertahan hanya sebentar di lidah, lalu menghilang di perut.
Mungkin inilah tragedi terbesar kita tentang rasa lapar yang tak pernah kenyang hingga rakus yang selalu ingin lagi, lagi, dan lagi. Jika dunia adalah jamuan, maka manusia adalah tamu yang datang paling rakus, duduk paling lama, dan lupa bahwa setelah pesta usai, yang tersisa hanyalah meja “patah” dan lantai berlumuran sisa makanan.
“Kita bukan hanya memakan dunia, kita sedang memakan diri kita sendiri suap demi suap tanpa pernah sadar kapan pesta ini harus berhenti.”
Yogi Pranditia
Pingback: Apakah Eren Yeager Benar-Benar Salah? Membongkar Moralitas dalam “Attack on Titan” – Rasinesia