[1D1H] 14 September, Rasuna Said dan Suara Perempuan yang Menggetarkan Nusantara

H.R. Rasuna Said. Foto: National Geographic Indonesia

JAKARTA – Di tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat, udara pagi selalu berkabut tipis menyelimuti perbukitan yang mengelilingi permukaan air biru tenang. Dari tanah inilah, pada 14 September 1910 lahir seorang perempuan yang kelak namanya bergema di ruang-ruang rapat perjuangan, di jalanan yang dipenuhi protes, hingga di sidang parlemen negara baru yang bernama Indonesia.

Namanya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau lebih dikenal sebagai Rasuna Said, seorang tokoh perempuan yang keberaniannya mendobrak batas budaya, politik, dan gender pada masanya.

Minangkabau tempat Rasuna Said tumbuh memiliki satu ciri khas yaitu sistem matrilineal. Garis keturunan yang diwariskan melalui ibu. Perempuan memiliki kedudukan penting dalam Rumah Gadang. Namun, meski secara adat perempuan Minang dihormati, ruang politik dan sosial pada awal abad ke-20 masih didominasi laki-laki.

Rasuna kecil menyerap dua hal yang tampak bertolak belakang, yaitu tradisi Minangkabau yang menempatkan perempuan pada pusat keluarga dan realitas kolonial Belanda yang membatasi ruang gerak perempuan dalam pendidikan serta politik. Ketegangan inilah yang membentuk karakternya dan mendorongnya untuk bertanya, melawan, dan memperjuangkan hak.

Sejak muda, Rasuna haus akan ilmu. Dia menempuh pendidikan di sekolah agama di Padang Panjang, lalu melanjutkan ke Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, sekolah modern pertama di Indonesia yang dikhususkan untuk perempuan. Di sini Rasuna berkenalan dengan gagasan-gagasan Islam modernis dan semangat kebangsaan.

Guru-gurunya tidak hanya mengajarkan membaca Al-Qur’an, tetapi juga memperkenalkan ide kebebasan, kesetaraan, dan nasionalisme. Perpaduan nilai Islam dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme menyalakan api dalam dirinya. Rasuna menyadari bahwa perempuan tidak bisa lagi hanya menjadi penonton dalam perjuangan bangsa. Mereka harus berdiri di garis depan.

Pada usia belia, Rasuna sudah menulis artikel-artikel yang tajam di surat kabar lokal. Tulisan-tulisannya mengkritik kolonialisme Belanda dan menyoroti pentingnya pendidikan perempuan. Dengan gaya bahasa lugas, Rasuna menegaskan bahwa kemerdekaan bangsa hanya bisa tercapai bila perempuan ikut bergerak.

Namun, Rasuna tidak berhenti di atas kertas. Dia turun ke jalan, memberikan pidato-pidato berapi-api di hadapan rakyat. Pidatonya tidak hanya membangkitkan semangat, tetapi juga membuat resah penguasa kolonial. Suaranya lantang, menyebut penjajahan sebagai kezaliman dan menuntut kemerdekaan.

Penjara dan perlawanan

Tahun 1932, Rasuna Said ditangkap Belanda karena dianggap menghasut rakyat melalui pidatonya. Dia dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 3 bulan di Semarang. Bukannya menyerah, penjara justru semakin mengukuhkan tekadnya.

Dari balik jeruji Rasuna membaca, menulis, dan menyusun gagasan untuk perlawanan yang lebih besar. Dia menjadi bukti nyata bahwa kolonialisme tidak bisa membungkam suara perempuan Indonesia. Kisahnya menjadi inspirasi bahwa seorang perempuan muda Minangkabau rela dikurung demi kebebasan bangsanya. Bagi masyarakat pada masa itu, langkah Rasuna adalah tindakan radikal menantang norma yang menganggap politik hanya milik laki-laki.

Setelah bebas Rasuna tidak berhenti. Dia mendirikan organisasi perempuan seperti Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), lalu aktif dalam Gerakan Putri Indonesia (GPI). Melalui organisasi ini, Rasuna mendorong perempuan untuk berpendidikan, berorganisasi, dan ikut serta dalam pergerakan nasional.

Rasuna percaya, perempuan bukan sekadar “pelengkap” perjuangan, tetapi subjek yang setara. Pidatonya sering menekankan bahwa perempuan harus ikut menentukan arah bangsa. Dengan demikian, perjuangan kemerdekaan menjadi perjuangan bersama, bukan hanya milik satu gender.

Masa revolusi dan kemerdekaan

Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942–1945) Rasuna kembali aktif. Meski ruang gerak politik dibatasi, dia tetap mengorganisasi perempuan melalui berbagai kegiatan sosial dan pendidikan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Rasuna bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada masa awal Republik Indonesia, dia dipercaya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal parlemen Indonesia. Inilah tonggak penting ketika Rasuna Said menjadi salah satu perempuan pertama yang duduk di badan legislatif Indonesia.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 13 September, Super Mario Bros: Ketika Tukang Ledeng Italia Menyelamatkan Dunia Video Game

Rasuna kemudian menjabat di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam forum resmi negara, suaranya tetap kritis. Rasuna menekankan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan bangsa, mengingatkan agar semangat kemerdekaan tidak hanya berhenti pada simbol, tetapi diwujudkan dalam kesejahteraan rakyat.

Rasuna aktif mendorong kebijakan yang berpihak pada pendidikan dan hak-hak perempuan. Bahkan ketika kesehatannya menurun, Rasuna tetap berjuang di jalur politik hingga akhir hayat.

Rasuna Said wafat pada 2 November 1965 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sebuah penghormatan bagi kontribusinya yang besar.

Nama Rasuna Said hidup dalam berbagai bentuk seperti jalan protokol utama di Jakarta, Jl. HR Rasuna Said, gedung sekolah, hingga beasiswa dan penelitian tentang tokoh perempuan.

Namun warisan terbesarnya bukan pada nama jalan atau prasasti, melainkan kesadaran bahwa suara perempuan sama pentingnya dengan suara laki-laki dalam menentukan nasib bangsa.

Seperti kabut yang mengelilingi Danau Maninjau, kisah Rasuna Said menyelimuti perjalanan bangsa Indonesia yang tenang di permukaan, tetapi juga menyimpan kedalaman.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 14 September, Rasuna Said dan Suara Perempuan yang Menggetarkan Nusantara”

  1. Pingback: [1D1H] 15 September, Agatha Christie Sang Ratu Misteri dari Inggris – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top