[1D1H] 16 September, Arsitek Bangsa Kecil yang Menjadi Raksasa Dunia itu Bernama Lee Kuan Yew

Potret Lee Kuan Yew. Foto: The New York Times

JAKARTA – Jika Singapura hari ini adalah mercusuar kemakmuran, ketertiban, dan inovasi, maka fondasinya terletak pada tangan seorang anak peranakan Tiongkok yang tumbuh di sebuah pulau tropis yang dulu tak lebih dari titik kecil di peta dunia.

Lahir pada 16 September 1923 di tanah kecil dan sempit yang penuh dengan rawa-rawa, Lee Kuan Yew adalah seorang anak yang dalam beberapa dekade kemudian menjadi pria yang membentuk kembali bukan hanya negaranya, tetapi juga peta geopolitik kawasan.

Lee Kuan Yew dilahirkan dalam keluarga menengah Tionghoa peranakan, di masa ketika Singapura masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris. Kehidupan masyarakat kala itu terbelah atas kelas elite Eropa di puncak, sementara mayoritas penduduk Asia hidup sederhana, menjadi pekerja pelabuhan atau pedagang kecil. Namun, Lee muda tidak puas menjadi bagian dari status quo.

Didikan disiplin keluarga serta pendidikan formal di sekolah-sekolah berbahasa Inggris menyiapkan jalannya. Ia dikenal cerdas, ambisius, dan tekun. Lee melanjutkan pendidikannya ke London School of Economics, kemudian Cambridge University.

Di sanalah Lee meraih gelar hukum dengan predikat tertinggi. Namun lebih penting lagi dia menyaksikan secara langsung bagaimana kekuatan kolonial bisa runtuh dan bagaimana bangsa-bangsa membangun kembali identitasnya.

Masa mudanya juga dibentuk oleh pengalaman pahit Perang Dunia II. Pendudukan Jepang di Singapura (1942–1945) memperlihatkan rapuhnya perlindungan kolonial.

“Itu adalah titik balik,” kelak Lee akan menulis. Dari sana tumbuh keyakinan bahwa rakyat Singapura tak bisa selamanya bergantung pada kekuatan asing.

Sekembalinya dari Inggris, Lee terjun ke dunia hukum sekaligus politik. Lee mendirikan People’s Action Party (PAP) pada 1954 yang kelak menjadi kendaraan utama bagi ambisinya membentuk Singapura modern. Melalui retorika tajam, strategi politik pragmatis, serta aliansi dengan serikat buruh, Lee berhasil meraih simpati rakyat.

Pada tahun 1959, Singapura diberi pemerintahan sendiri. Lee Kuan Yew terpilih sebagai Perdana Menteri pertama. Namun babak lebih dramatis datang pada 1965 ketika Singapura berpisah dari Malaysia. Awalnya, Lee percaya penyatuan dengan Malaysia adalah jalan terbaik. Tetapi konflik etnis, politik, dan ekonomi membuat hubungan itu mustahil dipertahankan.

Pada 9 Agustus 1965, Singapura secara resmi dikeluarkan dari Malaysia. Dalam siaran televisi Lee menangis, bukan karena kehilangan kuasa, melainkan karena dia sadar betapa rapuhnya posisi negaranya yang hanya sebuah pulau kecil tanpa sumber daya alam dan dikelilingi negara-negara yang lebih besar.

Membangun dari nol

Inilah titik awal perjuangan terbesar Lee Kuan Yew. Bagaimana membuat sebuah pulau tanpa tanah subur, tanpa minyak, tanpa air bersih yang cukup, menjadi negara berdaulat dan sejahtera?

Jawabannya adalah kombinasi dari disiplin, pragmatisme, dan visi jangka panjang. Lee memfokuskan pembangunan pada tiga pilar, yakni industri, pendidikan, dan ketertiban sosial.

Dari segi ekonomi, Lee membuka Singapura pada investasi asing. Dengan strategi “negara kota sebagai perusahaan,” Lee menjadikan Singapura sebagai lahan investasi perdagangan dan manufaktur. Zona industri diciptakan dan pelabuhan diperluas hingga menjadi salah satu yang tersibuk di dunia.

Lee juga menjadikan pendidikan sebagai fondasi. Dari awal, Lee percaya bahwa aset terbesar Singapura adalah manusia. Sistem pendidikan diciptakan untuk membentuk tenaga kerja terampil dengan fokus pada sains, matematika, dan bahasa Inggris sebagai penghubung ke pasar global.

Lee juga menerapkan aturan ketat. Dari larangan membuang sampah sembarangan hingga hukuman keras bagi korupsi, dia membangun reputasi Singapura sebagai negara bersih, aman, dan efisien.

Antara demokrasi dan otoritarianisme

Meski berhasil, gaya kepemimpinannya kerap menuai kritik. Di bawah Lee, kebebasan pers terbatas, oposisi ditekan, dan hukum digunakan untuk membungkam lawan politik.

Namun, Lee tak pernah menutupi hal itu. Baginya, stabilitas dan pembangunan lebih penting daripada retorika demokrasi yang bisa mengancam kelangsungan sebuah negara kecil.

“Jika Anda ingin kebebasan mutlak, maka bersiaplah hidup dalam kekacauan,” ujarnya suatu kali. Kalimat itu merangkum filsafat politiknya yang pragmatis terkadang keras, tetapi selalu berorientasi pada hasil.

Hasilnya berbicara sendiri. Dalam kurun satu generasi, Singapura berubah dari pelabuhan usang menjadi salah satu pusat keuangan global. Gedung pencakar langit menjulang di Marina Bay, bandara Changi menjadi pintu dunia, dan paspor Singapura kini termasuk yang terkuat di dunia.

Namun bagi Lee, pencapaian terbesar bukan hanya ekonomi, melainkan keberhasilan menjaga harmoni etnis di sebuah masyarakat yang majemuk. Tionghoa, Melayu, India, dan kelompok lainnya hidup berdampingan dalam sistem yang dia bangun dengan hati-hati dari kebijakan perumahan hingga bahasa nasional.

Peninggalan Lee Kuan Yew untuk Singapura

Lee Kuan Yew mundur sebagai Perdana Menteri pada 1990, tetapi tetap menjadi penasihat senior hingga usia senjanya. Ketika dia wafat pada 23 Maret 2015, dunia menyaksikan bagaimana ratusan ribu orang Singapura turun ke jalan memberikan penghormatan terakhir.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 15 September, Agatha Christie Sang Ratu Misteri dari Inggris

Dalam suatu kesempatan, Lee pernah berkata, “Saya telah menghabiskan hidup saya membangun bangsa ini. Semua yang saya lakukan, saya lakukan demi Singapura.”

Hari ini, jejaknya masih terasa dalam gedung-gedung modern, dalam bandara yang menjadi kebanggaan Asia, dalam disiplin sosial yang kadang dianggap kaku, namun juga dalam semangat kecil yang bisa jadi besar.

Ketika kita melihat ke Singapura hari ini, sulit membayangkan bahwa negara ini dulu hanyalah sebuah pulau kecil yang dipenuhi rawa, gudang pelabuhan, dan kampung-kampung miskin. Perjalanan itu adalah cermin betapa visi, disiplin, dan keberanian politik bisa mengubah sejarah.

16 September 1923 yang menjadi hari lahir Lee menjadi sebuah tanggal yang kini dikenang bukan hanya di Singapura, tetapi juga dalam catatan dunia.

Lee mungkin kontroversial, tetapi juga monumental. Lee membuktikan bahwa ukuran sebuah bangsa tidak ditentukan oleh luas wilayah atau kekayaan alam, melainkan oleh kualitas kepemimpinan dan daya juang rakyatnya.

Seperti mercusuar di tengah samudra, Lee Kuan Yew akan terus memancarkan cahaya, menjadi pengingat bahwa sebuah pulau kecil pun bisa menjadi raksasa dunia.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 16 September, Arsitek Bangsa Kecil yang Menjadi Raksasa Dunia itu Bernama Lee Kuan Yew”

  1. Pingback: [1D1H] 17 September, Berdirinya Palang Merah Indonesia – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top