Ketika Hobi Jadi Investasi Semu, Fenomena Monkey Business di Indonesia

Ilustrasi Monkey Business. Foto: iStock

 

JAKARTA – Ada saat-saat di Indonesia ketika sebuah benda biasa tiba-tiba berubah menjadi “harta karun” hanya karena tren. Batu akik yang dulu bisa ditemukan di pasar kecil mendadak jadi simbol status sosial. Tanaman janda bolong yang sebelumnya hanya jadi penghias pekarangan sontak dihargai jutaan rupiah.

Fenomena ini sering membuat orang bertanya-tanya, apakah benar benda-benda itu bernilai tinggi atau hanya hasil permainan pasar yang singkat?

Inilah yang disebut sebagai monkey business, sebuah permainan ilusi dalam dunia bisnis ketika hobi dan tren mendadak dianggap sebagai investasi.

Nilainya sering kali tidak datang dari manfaat nyata, melainkan dari hype, spekulasi, dan rasa takut tertinggal. Yang menarik adalah siklus ini terus berulang di Indonesia, dari batu akik, ikan louhan, hingga tanaman hias. Semuanya menunjukkan betapa rapuhnya batas antara kesenangan pribadi dan keserakahan kolektif.

Di negeri ini, hobi tidak sekadar hobi. Ia bisa mendadak menjelma jadi “tambang emas” instan. Begitu ada satu tren yang naik daun, seakan seluruh negeri terkena hipnotis massal.

Benda yang tadinya hanya dianggap pajangan, entah itu batu, ikan, atau tanaman, tiba-tiba diperlakukan layaknya emas batangan. Para penghobi mendadak bermetamorfosis menjadi investor dadakan, lengkap dengan jargon ala pasar modal, “harga naik, stok terbatas, siapa cepat dia dapat.”

Namun, seperti ladang emas ilusi, kilauannya hanya sebentar. Begitu tren meredup, hobi yang tadi dielu-elukan berubah jadi barang rongsokan. Lucunya, orang yang tadinya pamer koleksi berharga jutaan, kini tak berani lagi menyinggungnya, apalagi menawarkannya.

Dari sini kita bisa belajar bahwa di Indonesia, hobi seringkali bukan sekadar kesenangan batin, melainkan ladang spekulasi, sebuah monkey business yang selalu mengulang diri dengan kemasan baru.

Dari kantor Presiden ke pinggir jalan

Batu akik pernah menjadi bintang utama dalam monkey business ala Indonesia. Dari warung kopi hingga ruang kerja pejabat, semua orang tiba-tiba sibuk memamerkan cincin dengan batu sebesar kelereng di jari mereka.

Bahkan, pada puncaknya sekitar tahun 2015 batu akik bukan hanya jadi tren rakyat kecil, tapi juga merambah ke kalangan elit. Seolah-olah tanpa batu akik di jari, seseorang kehilangan separuh wibawanya.

Namun, seperti kembang api yang meletup sesaat lalu padam, kejayaan batu akik tak bertahan lama. Begitu tren meredup, pasar yang dulu ramai berubah jadi sepi. Koleksi yang dulu dibanggakan, kini hanya jadi pajangan berdebu di etalase.

Menurut catatan dari berbagai sumber, demam batu akik di Indonesia mencapai puncaknya pada 2015, namun setelah itu popularitasnya menurun drastis. Fenomena ini mengajarkan satu hal, tidak semua yang berkilau layak dijadikan investasi, apalagi kalau kilau itu datang dari hype massal yang bersifat temporal.

Tanaman yang lebih mahal dari iPhone

Jika dulu orang rela antre demi iPhone terbaru, beberapa tahun lalu ada tren yang lebih absurd. Orang berebut tanaman hias. Salah satunya adalah Monstera variegata yang di Indonesia lebih akrab disebut janda bolong.

Tanaman dengan daun bolong-bolong ini mendadak naik kasta dari sekadar penghias ruang tamu menjadi aset investasi dadakan. Tiba-tiba, harga sebatang tanaman bisa menyamai cicilan motor.

Fenomena ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri, harga tanaman ini juga melambung gila-gilaan. Situs Tropicflow menuliskan, beberapa tanaman Monstera dapat dihargai mulai dari $1,5 ribu hingga $5 ribu tergantung pada varietas dan kondisinya.

Harga ini jelas tidak masuk akal jika dibandingkan dengan fungsi dasarnya, yaitu sekadar tanaman penghias rumah yang sebenarnya bisa mati kapan saja kalau lupa disiram.

Di titik inilah kita bisa menyebut fenomena ini sebagai bentuk monkey business dalam arti sebenarnya, sebuah permainan spekulasi yang membungkus benda biasa dengan mitos nilai luar biasa. Orang membeli bukan karena butuh, melainkan karena takut ketinggalan tren atau ingin terlihat berbeda.

Tren “tanaman hias langka” bukan cuma soal keindahan, ia adalah eksperimen sosial di mana konsumen dan media sosial menciptakan nilai tinggi dari kelangkaan dan estetika semata.

Di sebuah artikel Homes & Gardens dilaporkan, bahwa dalam laporan tren taman 2026, tanaman hias yang sangat jarang sekarang dianggap sebagai “koleksi wajib”, menjadi barang yang diburu orang bukan hanya karena hobi, tapi sebagai simbol status atau identitas visual di rumah mereka.

Ini adalah inti dari monkey business modern di mana barang tak perlu fungsional, cukup punya cerita “langka” sudah bisa dijual mahal.

Baca Selengkapnya: Apakah Eren Yeager Benar-Benar Salah? Membongkar Moralitas dalam “Attack on Titan”

Fenomena ini muncul jelas di pasar internasional, seperti tanaman Monstera ‘Thai Constellation’ atau Philodendron ‘Jungle Boogie’, yang disebut-sebut sebagai tanaman koleksi karena keunikan bentuk dan warnanya yang tidak mudah ditemukan.

Artikel Homes & Gardens menyebut bahwa tanaman hias langka menjadi koleksi baru di tahun mendatang, mencerminkan pergeseran yang kuat di kalangan gen Z dan milenial menuju koleksi yang disengaja dan individualitas.

Artinya, tren konsumsi sudah bergeser, bukan lagi beli karena perlu, tetapi beli karena ingin terlihat punya barang langka.

Pada akhirnya, monkey business bukanlah sekadar jual beli, ia adalah panggung besar tempat manusia rela menukar logika dengan rasa lapar akan pengakuan. Daun hijau biasa bisa menjelma “emas hijau”, batu kerikil bisa dipuja layaknya permata, dan tiba-tiba pasar penuh dengan cerita tentang “kelangkaan” yang sebenarnya diciptakan oleh lidah-lidah licin para pedagang.

Kita hidup di zaman ketika status sosial bisa diukur dari seberapa cepat kita membeli ilusi. Mungkin hari ini Monstera, besok batu akik lagi, lalu entah apa lagi yang akan ditawarkan.

Siklusnya sederhana. Satu barang dijadikan legenda, orang berbondong-bondong, lalu ditinggalkan seperti cinta lama yang usang. Satirnya, manusia yang merasa berakal justru sering jadi komoditas paling mudah dipermainkan.

“Yang langka bukanlah tanaman atau batu itu, melainkan akal sehat orang yang rela membelinya dengan harga selangit.”

Yogi Pranditia

1 komentar untuk “Ketika Hobi Jadi Investasi Semu, Fenomena Monkey Business di Indonesia”

  1. Pingback: Ketika Badut Membutuhkan Tawa, Paradoks Paling Tragis dalam Hidup Manusia – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top