
JAKARTA – Di balik kaca pembesar Sherlock Holmes yang dingin dan penuh logika, ada seorang pria bernama Arthur Conan Doyle, sang pencipta yang justru percaya pada hal-hal yang tak masuk akal bagi tokohnya sendiri.
Dunia sastra mengenalnya sebagai otak di balik detektif paling rasional sepanjang masa, tetapi kehidupan pribadi Doyle justru dibalut keyakinan kuat terhadap spiritualisme, arwah, hingga peri.
Sebuah kontras yang membuat banyak orang terperangah, bagaimana mungkin seorang penulis yang begitu teliti pada detail kriminal justru mempercayai foto peri yang kini terbukti palsu?
Paradoks ini menjadikan Doyle bukan sekadar penulis novel detektif, melainkan sebuah misteri hidup yang layak diteliti. Ia mengajarkan kita bahwa manusia tidak pernah sepenuhnya logis atau sepenuhnya spiritual, kadang keduanya berdansa dalam kepala yang sama.
Di sinilah letak daya tariknya. Doyle adalah bukti nyata bahwa kecerdasan tidak menghalangi kepercayaan dan kepercayaan tidak selalu bisa dijinakkan oleh kecerdasan.
Logika di atas kertas, mistis di balik tirai
Arthur Conan Doyle menciptakan Sherlock Holmes sebagai “dewa kecil” rasionalitas, seorang pria yang hanya percaya pada bukti, deduksi, dan sains.
Namun, di balik pena sang penulis, Doyle sendiri terpesona oleh dunia tak kasatmata, roh, medium spiritual, hingga peri kecil yang menari di foto kabur. Di satu sisi, ia menuliskan Holmes yang akan menertawakan semua itu, tapi di sisi lain, ia sendiri dengan penuh keyakinan membela kebenaran spiritualisme di hadapan publik.
Ada sesuatu yang ironis, bahkan tragis dari kontradiksi ini. Doyle seakan meminjam logika Holmes untuk membongkar kejahatan fiksi, namun menanggalkan logika itu saat berhadapan dengan dunia nyata. Seperti seorang dalang yang terhipnotis oleh bonekanya sendiri, Doyle menciptakan tokoh yang lebih tajam pikirannya daripada dirinya sendiri.
Namun justru di situlah letak kemanusiaannya. Kita bisa tertawa, bisa menggelengkan kepala, tapi pada akhirnya kita dipaksa untuk bercermin. Bukankah kita semua punya “Holmes” dan “Doyle” dalam diri kita masing-masing?
Satu bagian yang ingin merasionalisasi segalanya dan satu bagian lain yang begitu ingin percaya meski kadang pada hal-hal yang mustahil.
Meski terkenal sebagai bapak logika fiksi detektif, Arthur Conan Doyle adalah salah satu pembela paling vokal gerakan spiritualisme di awal abad ke-20. Ia percaya bahwa arwah orang mati dapat berkomunikasi dengan dunia manusia melalui medium.
Keyakinan ini semakin menguat setelah Doyle kehilangan putranya, Kingsley, dalam Perang Dunia I. Bagi Doyle, spiritualisme bukan sekadar hiburan mistis, tetapi “ilmu baru” yang menjanjikan jawaban atas rasa kehilangan dan duka.
Arthur Conan Doyle, sang pencipta Sherlock Holmes yang dikenal sebagai simbol logika dan deduksi, ternyata juga manusia dengan kerentanan yang sama. Ironisnya, ia justru terjebak dalam salah satu hoaks paling terkenal di abad ke-20: foto peri Cottingley.
Ketika dua gadis muda memotret diri mereka bersama gambar peri buatan kertas, Doyle menerimanya sebagai bukti sahih dunia spiritual. BBC mencatat bahwa Doyle pada saat itu sedang meneliti sebuah artikel tentang kehidupan peri karena ia ingin membuktikan keyakinannya terhadap spiritualisme.
Di sinilah letak paradoks besar Doyle. Sang pencipta Holmes yang mengajarkan kita bahwa ketika semua penjelasan lain mustahil, yang tersisa betapapun mustahilnya pasti benar, justru ia sendiri terjebak dalam keyakinan yang rapuh.
Sebuah potret tentang manusia pintar, penuh logika, tetapi juga rapuh ketika berhadapan dengan rasa kehilangan dan kerinduan yang tak terjawab.
Kasus Doyle dengan foto peri Cottingley menunjukkan bahwa kepercayaan sering kali lebih kuat daripada bukti. The Guardian menuliskan, fotografi peri Cottingley akhirnya diakui sebagai tipuan, tetapi Doyle telah menaruh begitu banyak keyakinan hingga ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 15 September, Agatha Christie Sang Ratu Misteri dari Inggris
Di sini kita melihat paradoks tentang seorang tokoh yang menciptakan ikon rasionalitas justru memeluk irasionalitas. Ini membuktikan bahwa intelektualitas tidak otomatis membuat seseorang kebal terhadap manipulasi imajinasi.
Keyakinan sering bekerja bukan di ruang logika, tetapi di ruang psikologis yang penuh harapan, kehilangan, dan kerinduan akan sesuatu yang transenden.
Rasionalitas yang Rapuh: Holmes boleh jenius, tapi Doyle tetap manusia
Sherlock Holmes mungkin adalah ikon logika paling murni yang pernah lahir dari pena manusia. Setiap kasus ia pecahkan dengan “deduksi” dingin, seolah emosi dan imajinasi hanyalah debu yang mengganggu pandangan kaca pembesar.
Namun, betapa ironisnya bahwa sang pencipta, Sir Arthur Conan Doyle, justru menapaki jalan yang jauh berbeda, jalan kabut penuh seances, telepati, dan keyakinan akan dunia gaib.
Situs Arthur Conan Doyle Collection mencatat bahwa Doyle sebenarnya seorang materialis ketika meninggalkan Edinburgh University, tetapi pada dekade 1880-an ia mulai melakukan eksperimen telepati, menyelidiki hipnosis, bahkan menghadiri seances.
Dengan kata lain, di saat Holmes berjuang menyingkirkan kabut mistik lewat deduksi, Doyle justru menegakkan altar spiritualisme di tengah hidupnya sendiri.
Paradoks ini makin menarik bila dibandingkan dengan temuan psikologi modern. Artikel Big Think tentang teori System 1 dan System 2 menjelaskan bahwa manusia tidak bisa hanya mengandalkan rasionalitas murni, karena berpikir deliberatif (System 2) sering membuat kita tampak kurang empatik dan kaku, sedangkan intuisi cepat (System 1) memberi kehangatan manusiawi
Seperti ditulis, “Orang yang sangat deliberatif cenderung kurang empati, sering dianggap kurang dapat dipercaya dan autentik… pada akhirnya, kita membutuhkan sintesis keduanya untuk membuat keputusan yang baik dan menjalani kehidupan yang bahagia.”
Jadi mungkin, Doyle secara naluriah mencoba mengisi kekosongan yang tak bisa diberikan Holmes, ruang bagi kepercayaan, harapan, dan spiritualitas.
Antara deduksi dan doa
Pada akhirnya, kisah Doyle dan Holmes bukan sekadar anekdot ironis antara seorang penulis dan tokoh ciptaannya. Ia adalah cermin tentang manusia itu sendiri.
Kita semua ingin hidup setegas Holmes, mengandalkan fakta, data, dan deduksi yang lurus seperti garis lurus di papan tulis. Namun, di balik ketegasan itu, selalu ada Doyle dalam diri kita, makhluk rapuh yang haus akan makna, ingin percaya ada sesuatu lebih besar dari sekadar rumus dan bukti.
Ironi itu justru membuat manusia indah, logika memberi kita arah, tapi keyakinan, betapapun samar dan rapuh, memberi kita alasan untuk tetap berjalan.
Doyle mengajari kita bahwa bahkan sang pencipta detektif paling rasional pun bisa tersesat dalam kabut spiritualisme. Dan mungkin, tidak ada yang salah dengan itu. Sebab tanpa kabut, cahaya tidak pernah terlihat lebih terang.
“Logika menuntun kita pada kebenaran. Tapi iman, betapapun rapuh, menuntun kita untuk tetap berharap.”
Yogi Pranditia
Pingback: Orang Bunian, Penghuni Sunyi di Balik Hutan Sumatera Barat – Rasinesia