
JAKARTA – Surabaya 19 September 1945. Udara kota pelabuhan itu masih dipenuhi ketegangan. Perang Dunia II baru saja usai. Jepang menyerah kepada sekutu dan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan masih berusia satu bulan. Namun, semangat rakyat Surabaya sudah membara. Mereka tidak rela simbol penjajahan kembali berdiri di tanah yang baru merdeka.
Hari itu, sebuah hotel megah di jantung kota Surabaya menjadi saksi. Hotel Yamato, bangunan bergaya kolonial yang dulunya milik pengusaha Belanda diubah menjadi panggung perlawanan rakyat.
Dari atapnya, berkibar bendera merah-putih-biru milik Belanda. Namun dalam hitungan jam, warna biru itu akan lenyap, disobek, dicabik, hingga hanya menyisakan merah-putih, simbol kebebasan yang kelak menjadi bendera nasional Indonesia.
Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Insiden Hotel Yamato, sebuah momen yang menjadi pemantik bagi pertempuran lebih besar, yaitu Pertempuran Surabaya.
Untuk memahami insiden ini, kita perlu menoleh ke latar belakangnya. Pada Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Kekosongan kekuasaan pun terjadi di Indonesia.
Proklamasi 17 Agustus 1945 membawa harapan baru, tetapi juga menimbulkan pertanyaan, siapa yang benar-benar berkuasa di bumi nusantara?
Di Surabaya, ribuan pemuda bersenjata bekas rampasan Jepang membentuk laskar-laskar rakyat. Sementara itu, Belanda yang tergabung dalam Netherlands Indies Civil Administration (NICA) mulai masuk kembali bersama tentara Sekutu. Mereka berusaha mengambil alih pemerintahan kolonial yang telah runtuh.
Hotel Yamato yang berdiri megah di Jalan Tunjungan menjadi markas sementara pejabat Belanda. Pada 18 September malam, mereka mengibarkan bendera merah-putih-biru di puncak gedung, sebuah simbol kembalinya kekuasaan kolonial.
Bagi rakyat Surabaya, itu adalah penghinaan. Pagi hari pada 19 September 1945, kerumunan rakyat mulai memenuhi sekitar Hotel Yamato. Para pemuda, tokoh masyarakat, hingga santri dari pesantren sekitar datang dengan satu tujuan untuk menurunkan bendera Belanda.
Di tengah massa itu hadir Soedirman Surabaya (bukan Panglima Besar Jenderal Sudirman, melainkan tokoh pemuda setempat), juga tokoh ulama seperti KH Hasyim Asy’ar yang sebelumnya menyerukan resolusi jihad. Di antara mereka, semangat berkobar Indonesia sudah merdeka, tidak boleh ada bendera asing di tanah air.
Delegasi rakyat Surabaya mencoba berunding. Mereka menemui pihak Belanda yang dipimpin oleh Mr. Ploegman, salah satu pejabat sipil. Permintaan mereka sederhana yaitu untuk menurunkan bendera Belanda atau tidak mereka akan menghadapi kemarahan rakyat.
Ploegman menolak. Baginya, Belanda masih berhak atas Hindia. Suasana pun memanas. Saksi-saksi sejarah menyebutkan, negosiasi berubah menjadi perkelahian mulut. Kata-kata kasar terlontar. Pemuda Surabaya menuntut bendera diturunkan saat itu juga. Ploegman menolak dengan keras.
Keributan pun pecah. Dalam situasi kacau, Ploegman didorong, bahkan konon sempat dicekik hingga tewas. Riuh massa semakin tak terkendali. Pintu hotel didobrak, tangga diserbu, dan ratusan pemuda berlari ke atas gedung.
Mereka hanya punya satu tujuan, yaitu menyobek warna biru dari bendera Belanda itu. Di puncak hotel, seorang pemuda bernama Hariyono bersama kawannya Koesno Wibowo berhasil mencapai tiang bendera.
Dengan segenap tenaga, mereka menurunkan bendera Belanda. Namun mereka tidak membuangnya begitu saja. Kain biru di bagian bawah bendera dicabik, disobek, hingga terpisah. Yang tersisa hanyalah merah dan putih. Bendera itu pun dikibarkan kembali, berkibar gagah di langit Surabaya.
Massa di bawah bersorak. “Merdeka! Merdeka!” teriak mereka. Tangis, tawa, dan pekikan bercampur jadi satu.
Momen itu adalah lebih dari sekadar aksi simbolis. Itu adalah pernyataan keras kepada dunia kalau Surabaya dan tentunya Indonesia, tidak akan tunduk lagi pada penjajah.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 18 September, Fenomena dari Rio yang Mengubah Sepak Bola Dunia itu Bernama Ronaldo Nazario
Insiden Hotel Yamato tidak berhenti sebagai cerita lokal. Berita penyobekan bendera itu menyebar cepat ke seluruh Nusantara. Peristiwa itu menjadi simbol keberanian rakyat Surabaya, sekaligus tanda bahwa kemerdekaan harus dipertahankan dengan darah dan nyawa.
Belanda murka. Sekutu yang berada di Surabaya, terutama Inggris, merasa kewalahan menghadapi militansi rakyat. Ketegangan meningkat hingga pecah pertempuran besar pada 10 November 1945 yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Dengan demikian, Hotel Yamato menjadi titik api. Dari sinilah kobaran semangat itu menyebar, hingga melahirkan perlawanan bersenjata paling heroik dalam sejarah Revolusi Indonesia.
Hari ini, Hotel Yamato tidak lagi menyandang nama kolonial itu. Setelah melewati berbagai perubahan, bangunan itu dikenal sebagai Hotel Majapahit, sebuah hotel bersejarah yang tetap berdiri megah di Surabaya.
Di dindingnya terukir kisah insiden bendera dan di ruang-ruangnya masih terasa gaung masa lalu. Para tamu yang datang tidak hanya melihat arsitektur kolonial yang indah, tetapi juga merasakan aura perjuangan yang pernah berkobar di sana.
Setiap 19 September, Surabaya mengenang peristiwa ini. Bukan hanya sekadar seremonial, tetapi sebagai pengingat bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah.
Ia lahir dari keberanian pemuda, dari tangan-tangan yang berani menyobek kain biru dan dari hati yang menolak tunduk pada penjajahan.
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H] 20 September, Lahirnya Festival Film Cannes – Rasinesia