
JAKARTA – Hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya Indonesia pasti mendengarkan musik. Musik bisa jadi penyemangat dikala lelah hati atau bisa jadi pelampiasan kegalauan ketika kita ingin meratapi nasib.
Dalam keadaan negeri yang dipenuhi carut-marut ini, musik bisa jadi terapi diri untuk menjaga kewarasan kita.
Ada beberapa media yang bisa masyarakat pakai untuk mendengarkan musik, baik analog atau digital. Analog sendiri seperti CD yang diputar pada pemutar CD, kaset yang diputar pitanya dengan Walkman atau Vinyl/piringan hitam yang cakramnya diputar turntable.
Untuk media digital, banyak dari kita di Indonesia yang menikmati musik dengan mendengarkannya lewat digital streaming.
Di antara digital streaming yang dikenal di Indonesia yaitu Joox, AppleMusic, Soundcloud hingga Spotify.
Spotify sendiri menjadi media musik digital yang paling banyak pendengarnya di seluruh dunia berdasarkan data dari MIDIA Research dengan pangsa pasar 31,7% yang mendominasi di kuartal ketiga tahun 2023.
Spotify adalah salah satu aplikasi pemutar musik yang terbaik dalam pelayanan musik digital. Surga untuk para pendengar yang bisa berselancar dengan tenang dalam mencari lagu-lagu yang mereka inginkan.
Aplikasi yang mudah diakses dengan biaya langganan relatif murah, membuat Spotify menjadi sasaran utama para pendengar musik yang ingin mendengarkan lagu favorit musisi yang ia gemari.
Tetapi, di balik itu semua, belakangan ini ada beberapa hal yang menjadi kontroversi dan polemik dari kreator Spotify itu sendiri.
Proyek investasi senjata CEO Spotify dan upah minim musisi
Baru-baru ini, kita mendapat berita penarikan lagu-lagu dari band Massive Attack dari Spotify. Band trip-hop yang berasal dari Inggris tersebut, dalam berbagai keterangan beralasan bahwa CEO Spotify Daniel Ek berinvestasi di perusahaan senjata militer dengan AI.
Siapa sebenarnya Daniel Ek CEO Spotify yang dikabarkan berinvestasi jutaan dolar untuk pengembangan senjata yang berbasis di Jerman tersebut?
Daniel Ek lahir pada tanggal 21 Februari 1983 di Stockholm, Swedia. Ia besar di distrik Ragsved dan tercatat sebagai lulusan dari Royal Institute Technology di Sundbyberg pada tahun 2002. Akan tetapi, ia berhenti kuliah lalu fokus pada dunia teknologi yang ia senangi.
Di usianya yang terbilang masih muda, ia sudah banyak bekerja pada perusahaan ternama berbasis teknologi seperti Tradera, Advertigo dan Stardoll. Setelah malang melintang dalam bidang tersebut, ia dan partnernya yang juga seorang co-founder Tradedoubler, Martin Lorentzon mendirikan Spotify yang kita kenal sekarang.
Spotify menjadi populer dikarenakan akses yang mudah bagi para pencinta musik untuk lebih jauh berselancar mencari lagu-lagu yang mereka inginkan. Para pendengar diuntungkan dengan biaya keanggotaan yang murah dan bahkan gratis dengan beberapa batasan.
Dengan segala kemudahan yang difasilitasi oleh Spotify, tak salah platform ini menjadi begitu populer di dunia.
Menurut data Forbes, perusahaan tersebut memiliki lebih dari 381 juta pengguna dan setengah dari penggunanya adalah pelanggan berbayar aplikasi tersebut.
Daniel Ek menjadi orang yang berperan penting bagi perkembangan digital streaming di dunia. Akibatnya, segala sesuatu yang ia kerjakan juga akan diperhatikan publik.
Terbaru, ia menjadi sorotan ketika berinvestasi kepada perusahaan Jerman bernama Helsing dalam pembuatan senjata militer. Ia mendanai $600 juta pada perusahaan tersebut untuk mengembangkan perangkat AI dalam keperluan militer.
Beberapa musisi tidak terima akan sikap dari Daniel Ek. Band paling lantang menyuarakan keresahan itu adalah Deerhoof. Unit Indie rock asal Califonia ini secara terbuka memposting unek-uneknya pada akun instagram resmi mereka.
Dalam postingan tersebut, Deerhoof mempertanyakan keputusan Daniel Ek berinvestasi pada perusahaan pembuatan senjata tersebut. Deerhoof sendiri tidak mau musiknya menjadi alat untuk membunuh orang.
Selain itu, masih banyak lagi musisi yang melakukan aksi boikot terharap Spotify, di antaranya Leah Senior, David Bridie dan Skee Mask.
Problematika selanjutnya dan sangat begitu krusial adalah sistem royalti terhadap musisi yang rendah. Pendapatan yang diterima musisi dari Spotify berkisar $0,003 hingga $0,005 per satu kali pendengar.
Pembagian royalti yang dilakukan pihak Spotify kadangkala tidak jelas. Hal demikian tentu berdampak untuk musisi yang baru merintis dalam industri ini.
Baca Selengkapnya: The Cottons Rilis “Gundah”, Lagu Baru Yang Berkolaborasi Dengan Aprilia Apsari Dari Grup White Shoes & The Couples Company
Hal itu menjadi alasan kenapa karya dari para musisi tidak begitu dihargai oleh Spotify. Banyak musisi yang memindahkan musiknya ke situs lain yang lebih menguntungkan seperti Bandcamp yang biaya platformnya rendah sehingga pendapatan masuk ke para musisi lebih banyak.
Jadi, dengan segala problematika dan hal kontroversi yang Daniel Ek lakukan, apakah masih bisa kita sebut Spotify menjadi sang juru selamat untuk para musisi yang ingin karyanya bisa didengar lebih luas, disertai upah yang layak atas kreatifitasnya?
Atau, Spotify malah menjelma menjadi penindas musisi yang memberikan upah minim demi sebuah proyek genosida yang sampai saat ini kita semua mengecamnya?
Johan Paduka Muntasyar
Pingback: Tiara Andini Rilis Single Terbaru Berjudul “Adu Bola Mata” – Rasinesia