
JAKARTA – 21 September 1982. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta dunia berhenti sejenak untuk diam, untuk merenung, untuk berharap. Pada hari itu, lahirlah Hari Perdamaian Internasional, sebuah momentum tahunan yang ditujukan bagi seluruh umat manusia untuk menghentikan permusuhan walau hanya sehari.
Namun, seperti banyak keputusan bersejarah lainnya, Hari Perdamaian tidak lahir begitu saja. Hari ini muncul dari ketegangan Perang Dingin, dari perang-perang regional yang tiada henti, dan dari mimpi besar bahwa manusia masih mampu menundukkan senjata demi secercah kedamaian.
Awal 1980-an adalah masa yang genting. Dunia terbagi dalam dua blok besar, yaitu Amerika Serikat dan sekutunya di Barat, melawan Uni Soviet dan sekutu Blok Timur.
Ketegangan nuklir memuncak dan program persenjataan terus berkembang. Krisis Afganistan, perang Iran-Irak, hingga konflik Amerika Tengah membuat dunia terasa berada di ambang jurang.
Dalam situasi ini, suara untuk perdamaian justru semakin keras. Organisasi masyarakat sipil, aktivis, bahkan seniman mulai mendorong PBB agar menciptakan satu hari simbolis, hari ketika dunia diingatkan bahwa perdamaian bukan sekadar utopia, tetapi tujuan bersama.
Pada 30 November 1981, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 36/67. Isinya jelas untuk menetapkan Hari Perdamaian Internasional yang akan diperingati setiap tahun, bertepatan dengan hari pembukaan sidang tahunan PBB di bulan September.
Resolusi ini disponsori oleh Inggris dan Kosta Rika, sebuah kombinasi menarik. Inggris, kekuatan besar dunia, dan Kosta Rika, negara kecil yang justru dikenal karena memilih tidak memiliki angkatan bersenjata. Kedua negara ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya isu politik global, tetapi juga idealisme universal.
21 September 1982 Jadi Hari Pertama
Hari Perdamaian Internasional pertama jatuh pada 21 September 1982. Di markas besar PBB di New York, sebuah bel perdamaian dibunyikan. Bel itu sendiri punya makna mendalam. Dicetak dari koin yang disumbangkan oleh anak-anak dari seluruh dunia, sebuah simbol bahwa perdamaian adalah harapan lintas generasi.
Sekjen PBB saat itu, Javier Perez de Cuellar, memimpin upacara. Dunia menyaksikan sebuah seruan agar semua negara menghentikan konflik, walau hanya sementara. Seruan itu sederhana, tapi penuh simbolisme, sebuah tantangan moral bagi dunia yang terbiasa hidup dalam bayang-bayang perang.
Tujuan utama Hari Perdamaian adalah menciptakan ruang untuk refleksi. Dalam resolusi PBB, negara-negara diminta mengamati gencatan senjata global selama 24 jam.
Baca Selengkapnya: [1D1H] 20 September, Lahirnya Festival Film Cannes
Tentu, kenyataannya tidak semudah itu. Perang Iran-Irak tetap berlanjut. Konflik internal di Amerika Latin tidak berhenti. Namun ide tentang “sehari tanpa perang” punya kekuatan moral. Hari itu membuka ruang bagi diplomasi, bagi pembicaraan, bahkan bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan tuntutan damai.
Awalnya, Hari Perdamaian Internasional lebih bersifat simbolis. Peringatan dilakukan lewat pidato, upacara, dan kegiatan kecil di markas PBB. Namun memasuki abad ke-21, perayaan ini mulai berubah arah.
Pada 2001, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi baru (55/282) yang menetapkan tanggal pasti 21 September setiap tahun dan bukan lagi bergantung pada jadwal sidang umum. Hari itu resmi diakui sebagai hari tanpa kekerasan dan gencatan senjata.
Sejak itu, semakin banyak organisasi, sekolah, dan komunitas di seluruh dunia terlibat. Dari pelepasan burung merpati di Jepang, konser musik di Eropa, hingga doa lintas agama di Afrika, Hari Perdamaian menjadi perayaan dunia.]
Hari Perdamaian dalam konteks sejarah
Sejarah mencatat, tidak ada perang besar yang berhenti hanya karena Hari Perdamaian. Namun nilai dari hari ini terletak pada pesan yang dikirimkan bahwa manusia masih memiliki kesadaran kolektif untuk menginginkan dunia yang lebih baik.
Jika merujuk linimasa catatan sejarah pada peristiwa penting di hari peringatannya, seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada 1982 menjadi Hari Perdamaian pertama yang diperingati. Kemudian, pada 2001 tanggal 21 September ditetapkan secara permanen sebagai Hari Perdamaian tanpa lagi merujuk pada sidang tahunan PBB. Lalu, pada 2013 fokus Hari Perdamaian ditujukan pada pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah. Pada 2016, lebih dari 180 negara melaksanakan acara khusus pada perayaan ini.
Hari ini, meski konflik masih merajalela, Hari Perdamaian menjadi pengingat bahwa suara rakyat dunia bisa bersatu di atas satu kata: damai.
Lalu, pertanyaan besar yang sering muncul adalah apakah Hari Perdamaian hanya simbol kosong tanpa makna? Bagi sebagian kritikus, jawabannya iya. Mereka menilai resolusi PBB ini tidak mampu menghentikan perang nyata.
Namun bagi yang lain, simbolisme ini penting. Seperti halnya bendera, lagu kebangsaan, atau monumen peringatan, Hari Perdamaian berfungsi sebagai “jangkar” moral. Hari Perdamaian memberi ruang untuk merenung, bahkan bagi mereka yang hidup jauh dari medan perang.
Bahkan, dalam beberapa kasus, Hari Perdamaian benar-benar dimanfaatkan. Di negara-negara yang tengah konflik, aktivis menggunakan hari ini untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, melakukan vaksinasi anak, atau membuka koridor diplomatik.
Seiring berjalannya waktu, Hari Perdamaian semakin dikenal luas. Media internasional meliput setiap peringatan di Markas PBB. Bel perdamaian yang dibunyikan setiap tahun menjadi simbol ikonik.
Tetapi yang lebih penting adalah partisipasi akar rumput. Sekolah-sekolah di Kenya mengajarkan siswa tentang pentingnya toleransi pada 21 September. Di Kolombia, musisi menggelar konser anti-kekerasan. Di Indonesia, doa lintas agama digelar di berbagai kota.
Hari ini, peringatan tidak hanya menjadi milik diplomat di New York, tetapi juga milik masyarakat dunia. Hari Perdamaian Internasional bukanlah solusi instan. Hari Perdamaian tidak menghentikan perang, tidak membubarkan tentara, tidak menghapus senjata nuklir. Tetapi memberikan sesuatu yang sama pentingnya, yaitu harapan.
Pada 21 September setiap tahun, dunia berhenti sejenak. Suara senjata mungkin tidak pernah benar-benar hening, tetapi di sekolah, di ruang doa, di markas diplomasi, ada bisikan yang sama kalau damai itu mungkin.
Seperti kata Javier Perez de Cuellar pada 1982, “Hari ini kita tidak diminta untuk melupakan kenyataan dunia, tetapi untuk mengingat apa yang dunia bisa capai.”
Harfi Admiral
Pingback: [1D1H], 22 September, Invasi Irak ke Iran dan Awal Perang Delapan Tahun – Rasinesia