
- Ilustrasi menu MBG (Musik Bersedih Gratis). Foto: Rasinesia/Rega Maulana
JAKARTA – Terkadang hidup tidak berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan. Tak jarang tanpa sengaja menginjak duri yang menancap di tengah perjalanan, sehingga kita perlu berhenti sejenak tanpa memaksakan langkah.
Banyak dari kita juga harus melewati fase-fase kehilangan, yang dalam psikologi dikenal dengan five stages of grief, yang mana istilah ini diperkenalkan oleh Elisabeth Kubler-Ross.
Apa itu five stages of grief?
Five stages of grief adalah fase emosi yang sering kali dialami seseorang ketika menghadapi perubahan besar dalam hidup, terutama kesedihan dan kehilangan.
Lima tahapan tersebut yaitu:
1. Denial
Pada tahap ini, seseorang cenderung tidak ingin mengakui bahwa dirinya telah mengalami sesuatu yang buruk. Masih menepis semua fakta yang terjadi.
2. Anger
Berbeda dengan penyangkalan yang bertujuan untuk meredam semua kemungkinan yang merugikan. Tahap ini cenderung untuk melepaskan emosi yang ada sekaligus merasakan penyesalan.
3. Bargaining
Di fase ini, seseorang berandai-andai bahwa apa yang sudah terjadi, seakan-akan belum terjadi.
Mencoba bernegosiasi dengan keadaan yang sudah terlanjur buruk.
4. Depression
Tahapan ini adalah saat seseorang yang telah mengalami kehilangan merasa sangat kosong serta kesedihan yang mendalam.
Fase ini cukup berat hingga mempengaruhi aktivitas seperti sulit untuk makan, sulit untuk tidur, sampai ke tahap benar-benar menyesali yang telah terjadi.
5. Acceptance
Fase ini merupakan tahapan akhir setelah kesedihan terlewati. Ia akan mengonversi hal-hal buruk yang menimpa dirinya menjadi sebuah pelajaran berharga.
Menyadari bahwa yang indah di awal belum tentu berakhir sesuai harapan. Bukan berarti pasrah total, tapi sadar kalau hidup memang penuh kekalahan.
Mengutip puisi Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul Derai-derai Cemara:
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Dari Midwest Amerika ke scene musik Indonesia
Emotional hardcore atau biasa dikenal dengan sebutan “emo” merupakan subgenre dari musik hardcore. Midwest emo berkembang di Amerika pada tahun 90-an.
Subgenre ini lahir dengan pendekatan lebih lembut dan personal. Band-band seperti American Football, Mineral, dan Cap’n Jazz menjadi pelopor genre ini dan berhasil mempengaruhi industri musik saat itu.
Perbedaan yang paling mencolok di genre ini terletak di kekuatan liriknya yang terasa liris dan melankolis. Sebuah hasil eksperimental dari perpaduan ironi dan melodi.
Tidak jarang banyak yang menyimpulkan penulisan lirik ini karena bentuk jujur dari rasa keterasingan dan teralienisasi.
Baca Selengkapnya: Tiara Andini Rilis Single Terbaru Berjudul “Adu Bola Mata”
Di Indonesia, pengaruh midwest emo juga terasa, terutama pada band-band indie. Band seperti The Milo, Eleventwelfth, Beeswax, dll berhasil membawa nuansa tersebut ke wilayah sub-kultur kancah musik tanah air.
Dengan lirik-lirik yang kadang bilingual dilengkapi tema kegagalan, patah hati, juga perayaan kehilangan.
Wong kalahan, identitas di balik kesedihan
Istilah “Wong Kalahan” ini dipinjam dari bahasa Jawa oleh orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai pecundang, pihak yang selalu kalah oleh keadaan.
Bukan kalah gagah seperti pahlawan yang gagal menyelamatkan sebuah kota, tetapi kalah receh dari fakta sehari-hari seperti kalah cinta, kalah gaji, sampai kalah kesempatan.
Wong kalahan ini tidak secara mutlak menetapkan Midwest Emo sebagai pelengkap tragedi hidup, tetapi setiap playlist mereka umumnya kental dengan unsur melankolis dan melodis yang liris.
Band-band lokal yang umumnya terdapat di soundtrack Wong kalahan seperti Murphy Radio, COLORCODE, Eastcape, dll.
Terkadang lagu-lagu bergenre alternatif rock atau shoegaze juga dapat ditemukan pada daftar putar mereka. Jadi, memang tidak ada jurang pemisah untuk batasan genre bagi Wong Kalahan selama liriknya menertawakan kesedihan.
Jika dijalin benang merahnya, midwest emo merupakan soundtrack wong kalahan yang sudah berhasil memasuki fase acceptance. Mereka sudah lelah menyangkal, marah, atau bernegosiasi dengan nasib.
Mereka menyadari roda semesta akan tetap bekerja dan melindas mereka yang berlarut dalam kesedihan.
Wong kalahan seakan bukan menjadi sekadar orang yang kalah, tapi orang yang bisa menertawakan dan memaknai kekalahannya.
Dan di situlah midwest emo menjalankan fungsinya, membuat kekalahan lebih terdengar indah, karena pada akhirnya hidup tidak selalu menghadirkan ruang bagi setiap orang untuk menjadi pemenang.
Kita lebih sering ditempatkan dalam posisi kalah. Baik itu dari urusan cinta, kesempatan, maupun pendapatan. Namun di balik itu, terdapat kekuatan lain: kemampuan untuk menerima kekalahan dan merumuskannya menjadi bentuk ekspresi.
Sub-kultur ini seolah-olah mengajarkan kita untuk lebih ekspresif. Untuk lebih jujur dengan diri sendiri karena kekalahan tidak perlu dipoles dengan kesuksesan fiktif di LinkedIn, repost quotes di Instastory atau Tiktok, tetapi melalui proses kreatif ruang personal: menyusun playlist atau meracik melodi dan lirik melankoli.
Rega Maulana
Pingback: Shakira Jasmine Jadi Satu-satunya Wakil Indonesia di Music Matters Live 2025 Singapore – Rasinesia