[1D1H] 28 September, Memperingati Hari Rabies Sedunia Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Penyakit Tertua yang Masih Mengancam

Louis Pasteur di laboratoriumnya memegang toples berisi sumsum tulang belakang kelinci yang terinfeksi rabies, yang ia gunakan untuk mengembangkan vaksin melawan penyakit tersebut. Foto: Science History

JAKARTA – Di sebuah desa kecil di Asia Selatan, seorang anak laki-laki berlari pulang sambil menangis. Lengannya berdarah hingga berbekas terkena gigitan anjing. Sang ibu panik, bukan hanya karena luka yang terbuka, tetapi karena sebuah ketakutan yang telah menghantui umat manusia selama ribuan tahun, yaitu rabies. Penyakit ini, meski terlihat seperti momok masa lalu, masih hidup di banyak sudut dunia.

Setiap 28 September, dunia memperingati Hari Rabies Sedunia, tanggal yang bertepatan dengan wafatnya Louis Pasteur pada 1895, ilmuwan yang pertama kali menemukan vaksin rabies. Namun, meski lebih dari satu abad telah berlalu sejak penemuan itu, rabies tetap menjadi salah satu penyakit zoonosis paling mematikan di dunia.

Jika melihat jejaknya, rabies dapat ditelusuri hingga 4000 tahun yang lalu. Teks hukum kuno dari Mesopotamia berjudul Codex of Eshnunna (1930 SM), sudah mencatat aturan mengenai anjing yang menggigit manusia.

Deskripsi tentang “anjing gila” juga muncul dalam catatan Yunani kuno dan tulisan Romawi. Selama berabad-abad, rabies identik dengan ketakutan akan air atau hydrophobia, kejang-kejang, dan kematian yang tak terhindarkan.

Virus rabies menyerang sistem saraf pusat. Setelah gejala klinis muncul mulai dari demam, cemas, halusinasi, hingga ketakutan luar biasa terhadap air, kematian hampir selalu pasti. Angka fatalitasnya mendekati 100%, menjadikannya salah satu penyakit paling mematikan dalam sejarah medis.

Namun, ada satu sisi lain yang lebih kompleks. Rabies adalah penyakit yang dapat dicegah sepenuhnya. Vaksin telah ada sejak 1885, tetapi kesenjangan akses membuat jutaan orang masih hidup dalam bayang-bayang ancaman.

Louis Pasteur, ahli biologi asal Prancis, mengubah wajah kedokteran modern. Pada 6 Juli 1885, dia pertama kali mencoba vaksin rabies hasil eksperimennya pada seorang bocah berusia sembilan tahun bernama Joseph Meister yang digigit anjing gila. Dengan suntikan berulang vaksin yang dibuat dari jaringan saraf kelinci yang dilemahkan, Pasteur berhasil menyelamatkan nyawa bocah itu.

Keberhasilan ini menjadi tonggak bersejarah. Untuk pertama kalinya, sebuah penyakit yang hampir pasti membawa kematian bisa dicegah. Dunia menyaksikan awal era baru dalam imunologi. Tidak mengherankan jika Hari Rabies Sedunia diperingati pada tanggal wafatnya Pasteur sebagai bentuk penghormatan atas penemuannya.

Di satu sisi, rabies mungkin tidak lagi terdengar di negara-negara maju. Namun, di banyak belahan dunia, terutama Asia dan Afrika, rabies masih menjadi ancaman nyata. Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 59 ribu orang meninggal setiap tahun akibat rabies. Artinya, satu orang meninggal setiap sembilan menit.

Lebih dari 95% kasus rabies pada manusia ditularkan melalui gigitan anjing. Negara-negara dengan populasi anjing liar yang besar, terbatasnya akses vaksin, serta sistem kesehatan yang belum merata, menjadi titik panas penyebaran.

Di India, misalnya, rabies masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama. Begitu juga di beberapa negara Afrika di mana kesadaran, fasilitas medis, dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Di sisi lain, negara-negara seperti Jepang, Australia, dan sebagian besar Eropa telah berhasil membebaskan diri dari rabies melalui kampanye vaksinasi hewan dan pengawasan ketat.

Hari Rabies Sedunia lebih dari sekadar peringatan

Hari Rabies Sedunia yang jatuh setiap 28 September pertama kali dicanangkan pada 2007 oleh Global Alliance for Rabies Control (GARC) yang bekerja sama dengan WHO (World Health Organization), FAO (Food and Agriculture Organization), dan OIE (Office Internationa des Epizooties).

Tujuannya bukan hanya mengenang Pasteur, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies. Selain itu juga untuk mengajak vaksinasi massal pada hewan, terutama anjing. Serta mendorong kolaborasi global untuk mencapai target ambisius dunia bebas rabies pada 2030.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 27 September, Terbentuknya Pakta Tripartit Jerman, Italia, dan Jepang

Tema tahunan yang diangkat biasanya menyoroti aspek berbeda, mulai dari edukasi masyarakat, peran dokter hewan, hingga pentingnya kolaborasi lintas sektor (One Health).

Jika melihat ke dalam negeri, Indonesia termasuk negara yang masih menghadapi rabies terutama di wilayah-wilayah seperti Nusa Tenggara, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi. Di Bali, wabah rabies kembali muncul pada 2008 setelah puluhan tahun bebas dan hingga kini penanganannya masih membutuhkan kerja sama intensif.

Salah satu tantangan terbesar adalah jumlah anjing liar yang tinggi. Vaksinasi massal sering kali terkendala oleh biaya, akses, dan kesadaran masyarakat. Namun, ada pula kisah sukses seperti di Pulau Flores yang sempat mengalami kasus tinggi, kini berangsur menurunkan angka kematian melalui program vaksinasi yang lebih masif.

Rabies dan perspektif One Health

Konsep One Health yang menekankan keterhubungan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan menjadi kunci untuk mengatasi rabies. Penyakit ini adalah contoh nyata betapa masalah kesehatan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan hewan.

Vaksinasi anjing adalah strategi paling efektif. Jika 70% populasi anjing di suatu wilayah divaksin, rantai penularan bisa diputus. Di sisi lain, edukasi masyarakat tentang tindakan cepat pasca gigitan seperti membersihkan luka dengan sabun dan air mengalir, lalu segera mencari vaksin dapat menyelamatkan nyawa.

Rabies juga tidak hanya menjadi masalah medis. Dalam banyak budaya, anjing gila atau orang yang terinfeksi rabies sering dianggap kutukan, hukuman, atau roh jahat. Dalam literatur lama, rabies digambarkan dengan penuh horor, memperkuat stigma dan ketakutan.

Film, sastra, hingga cerita rakyat sering menggambarkan rabies sebagai penyakit yang mengubah manusia menjadi “liar” atau bahkan “monster”. Asosiasi ini membuat rabies bukan sekadar penyakit biologis, tetapi juga simbol kengerian kolektif dalam budaya manusia.

Meskipun angka kematian masih tinggi, ada alasan untuk tetap optimis. Vaksin rabies modern jauh lebih efektif dan aman dibanding masa Pasteur. Kolaborasi internasional, kampanye vaksinasi, serta meningkatnya perhatian dari lembaga dunia membuka jalan menuju eliminasi rabies.

Target yang ditetapkan WHO “Zero by 30”, yaitu dunia bebas rabies pada 2030 adalah cita-cita besar, tetapi bukan mustahil. Beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina telah menunjukkan progres signifikan dengan menekan angka kasus.

Hari Rabies Sedunia bukan hanya tentang mengenang Louis Pasteur atau sekadar menandai kalender kesehatan dunia. Ini adalah pengingat bahwa ada penyakit tua yang masih hidup di antara kita, penyakit yang bisa dicegah namun tetap merenggut puluhan ribu nyawa setiap tahun.

Seperti ditulis Pasteur lebih dari seabad lalu bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal negara, karena ilmu pengetahuan adalah milik manusia dan merupakan obor yang menerangi dunia. Hari Rabies Sedunia adalah kesempatan bagi kita semua untuk menyalakan obor itu dan memastikan bahwa suatu hari, rabies benar-benar hanya tinggal cerita dalam buku sejarah.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 28 September, Memperingati Hari Rabies Sedunia Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Penyakit Tertua yang Masih Mengancam”

  1. Pingback: [1D1H] 29 September, Berdirinya Universitas Negeri Pertama di Pulau Bali – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top