[1D1H] 2 Oktober, Hari Ketika Yerusalem Jatuh ke Tangan Shalahuddin al-Ayyubi

Ilustrasi Salahuddin al-Ayyubi, pemimpin Muslim termasyhur dalam sejarah Perang Salib. Foto: National Geographic Indonesia

JAKARTA – Pada tanggal 2 Oktober 1187, sebuah momen yang akan mengguncang dunia Kristen dan Islam tercatat dalam sejarah. Yerusalem, kota suci tiga agama, jatuh ke tangan pasukan Muslim yang dipimpin oleh panglima Shalahuddin al-Ayyubi.

Pengepungan yang berlangsung selama dua minggu itu bukan sekadar peristiwa militer, melainkan sebuah titik balik dalam Perang Salib. Dan yang membuatnya abadi dalam ingatan adalah bagaimana Shalahuddin memenangkannya bukan dengan pedang yang haus darah, melainkan dengan kebijakan, kehormatan, dan kemurahan hati.

Perjalanan menuju Yerusalem berawal dari Pertempuran Hattin pada 4 Juli 1187. Di padang gersang dekat Danau Tiberias, pasukan Shalahuddin menghancurkan pasukan Tentara Salib Kerajaan Yerusalem. Di bawah teriknya matahari, pasukan Kristen terkepung, kehausan, dan akhirnya menyerah. Raja Guy de Lusignan ditawan, begitu pula banyak ksatria Ordo Templar dan Hospitaller.

Kemenangan Hattin membuka jalan lebar menuju kota-kota penting di Levant. Dalam waktu singkat, pasukan Shalahuddin merebut Tiberias, Akko, Nablus, Jaffa, hingga Askalon. Namun, tujuan utama dari semua ekspedisi itu hanya satu, Yerusalem, kota yang menjadi simbol, hadiah terbesar, dan mahkota kemenangan.

Bagi kaum Muslim, Yerusalem adalah al-Quds, tempat Nabi Muhammad SAW melakukan Isra Mi’raj, kiblat pertama sebelum Ka’bah, dan tanah suci yang dijanjikan. Bagi kaum Kristen, kota itu adalah tempat penyaliban Yesus dan pusat ziarah terbesar di dunia. Kekalahannya bukan sekadar kehilangan wilayah melainkan hantaman psikologis yang mengguncang Eropa.

Yerusalem yang dikelilingi ketakutan

Pada akhir September 1187, pasukan Shalahuddin tiba di depan tembok Yerusalem. Kota itu dijaga ketat oleh garnisun Kristen, dipimpin oleh Balian dari Ibelin, seorang bangsawan yang sebelumnya sempat ingin meninggalkan kota, tetapi kembali demi keluarganya dan rakyat.

Keadaan di Yerusalem kacau. Tentara Salib telah porak-poranda sejak Hattin, sebagian besar ksatria tewas atau tertawan. Warga sipil memenuhi kota, ketakutan akan kemungkinan pembantaian, mengingat bagaimana Tentara Salib pada tahun 1099 menaklukkan Yerusalem dengan darah ketika puluhan ribu Muslim dan Yahudi dibantai tanpa ampun di jalanan. Kini, giliran mereka berada di posisi yang sama akan ketakutan dibalas dengan pedang.

Balian berusaha mengatur pertahanan, namun persenjataan minim dan pasukan tak seberapa. Meskipun demikian, dia bersumpah akan mempertahankan kota sebisa mungkin, bahkan mengancam bahwa jika Shalahuddin menyerang tanpa kompromi, warga Kristen akan membakar harta, merusak tempat-tempat suci, bahkan membunuh para perempuan dan anak-anak agar tidak jatuh ke tangan musuh.

Shalahuddin, meski dikenal sebagai panglima perang, tidak terburu-buru melancarkan serangan frontal. Shalahuddin mengepung kota, mendirikan menara pengepungan, meluncurkan panah, dan menggali parit untuk melemahkan pertahanan. Serangan bertubi-tubi menghantam tembok Yerusalem, terutama di sisi utara dekat Gerbang Damsyik.

Namun, Shalahuddin juga membuka jalur negosiasi. Shalahuddin tahu, merebut kota dengan pedang bisa berarti pengulangan tragedi 1099 dan itu bukanlah hal yang ia inginkan. Dia ingin Yerusalem kembali dengan kehormatan, bukan dengan darah yang mengalir di jalanan suci.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 1 Oktober, Lahirnya Master Wing Chun dari Foshan

Setelah dua minggu serangan, jelaslah bagi Balian dan warga Yerusalem bahwa mereka tak bisa bertahan lebih lama. Makanan menipis, moral hancur, dan tembok semakin rapuh.

Balian lalu menghadap Shalahuddin. Dalam perundingan itu, dia memohon agar warga sipil diberi jalan keluar yang aman. Awalnya, Shalahuddin menawarkan syarat tebusan berupa setiap pria Kristen harus membayar 10 dinar, wanita 5 dinar, dan anak-anak 1 dinar untuk kebebasan mereka. Yang mampu membayar boleh meninggalkan kota dengan selamat menuju wilayah Kristen.

Namun, jumlahnya terlalu besar. Banyak rakyat miskin tak sanggup menebus diri. Melihat penderitaan itu, Shalahuddin menurunkan syarat, bahkan membebaskan ribuan orang miskin tanpa bayaran. Para biarawati dan anak-anak yatim dibebaskan. Bahkan, dengan kemurahan hati, Shalahuddin bahkan mengizinkan Balian sendiri untuk membawa keluarganya pergi tanpa gangguan.

Keputusan ini kelak menjadi sejarah. Sejarawan Muslim menulisnya sebagai bukti kebesaran hati seorang pemimpin Islam. Sejarawan Kristen pun, meski musuh, tak bisa menutupi kekaguman mereka terhadap Shalahuddin.

Pada pagi hari 2 Oktober 1187, bendera-bendera pasukan Muslim berkibar di atas menara dan gerbang Yerusalem. Adzan kembali berkumandang di Masjid al-Aqsa setelah hampir satu abad terdiam. Kubah Batu (Dome of the Rock) yang sebelumnya dijadikan gereja, dibersihkan dan dikembalikan menjadi rumah ibadah Muslim.

Tidak ada pembantaian. Tidak ada sungai darah yang mengalir di jalanan. Sebaliknya, keteraturan ditegakkan. Tentara Muslim menjaga agar tidak ada penjarahan. Warga Kristen yang telah membayar tebusan atau diberi kebebasan keluar kota dengan aman menuju pantai, dari mana mereka berlayar ke Tripoli atau Tyre.

Kemenangan itu menggema ke seluruh dunia Islam. Yerusalem kembali ke tangan Muslim setelah 88 tahun berada di bawah kekuasaan Latin. Dari Kairo hingga Baghdad, kabar itu dirayakan dengan doa dan pesta. Namun, di Eropa, berita ini jatuh seperti petir. Yerusalem, permata mahkota Kekristenan, hilang.

Jalan menuju Perang Salib ketiga

Kejatuhan Yerusalem mengguncang takhta-takhta Eropa. Paus Gregorius VIII segera menyerukan Perang Salib Ketiga, menyerukan raja-raja Kristen untuk bangkit menebus kehinaan itu. Dari Prancis datang Raja Philippe Auguste, dari Inggris hadir Richard I yang dijuluki si Hati Singa, dan dari Jerman Kaisar Frederick Barbarossa.

Perang Salib Ketiga menjadi salah satu babak paling terkenal dalam sejarah dengan duel diplomasi dan militer antara Richard dan Shalahuddin. Namun, meski banyak kemenangan militer Kristen, Yerusalem tetap tak pernah jatuh kembali ke tangan mereka.

Apa yang membuat peristiwa 2 Oktober 1187 begitu dikenang bukan hanya karena kemenangannya, tetapi cara kemenangan itu diraih. Shalahuddin tidak menulis sejarah dengan kekerasan, melainkan dengan kehormatan.

Dia menolak membalas tragedi 1099 dengan darah. Shalahuddin malah menunjukkan bahwa perang bisa dimenangkan tanpa kehilangan kemanusiaan. Bahkan di mata musuhnya, dia dipandang sebagai sosok ksatria sejati, panutan dalam keadilan dan kemurahan hati.

Kisahnya mengilhami generasi setelahnya, bukan hanya Muslim, tetapi juga Kristen dan bahkan penulis-penulis Barat di Abad Pertengahan. Dante dalam Divine Comedy menyebut namanya dan para kronikus Eropa menulisnya dengan nada hormat.

2 Oktober

Hari itu, 2 Oktober 1187, bukan hanya tentang jatuhnya sebuah kota. Itu adalah simbol dari pergulatan panjang antara dua dunia, Islam dan Kristen, yang bukan hanya diwarnai pedang dan panah, tetapi juga kehormatan dan kemanusiaan.

Yerusalem telah jatuh dan bangkit berkali-kali sepanjang sejarah. Namun pengepungan Shalahuddin al-Ayyubi menempati tempat khusus. Sebuah kemenangan militer yang berpadu dengan kebijaksanaan moral.

Dan ketika hari itu berakhir, kota yang suci bagi jutaan manusia di seluruh dunia berdiri bukan sebagai monumen kehancuran, tetapi sebagai bukti bahwa bahkan di tengah perang, ada ruang untuk kasih sayang, keadilan, dan kehormatan.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 2 Oktober, Hari Ketika Yerusalem Jatuh ke Tangan Shalahuddin al-Ayyubi”

  1. Pingback: [1D1H] 3 Oktober, Lahirnya Naruto Uzumaki di Layar Kaca – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top