[1D1H] 6 Oktober, Ketika Perdamaian Dibalas dengan Peluru

Anwar al-Sadat. Foto: Nobel Prize

JAKARTA – 6 Oktober 1981 di Kairo, deretan tank dan kendaraan lapis baja berbaris rapi di sepanjang Kota Nasr. Ribuan prajurit berbaris dengan kebanggaan yang sama seperti delapan tahun sebelumnya (1973) saat mereka menyeberangi Terusan Suez dalam perang yang kemudian dikenal dunia sebagai Yom Kippur War.

Namun, hari itu bukan lagi tentang perang. Presiden Anwar Sadat hadir untuk memperingati kemenangan Mesir tahun 1973, kemenangan simbolik yang mengembalikan harga diri bangsa setelah kekalahan dari Israel pada 1967.

Di atas tribun, Sadat tersenyum. Ia mengenakan seragam militer cokelat muda dengan pita medali berkilauan di dadanya. Ia tampak tenang untuk seseorang yang sedang duduk di tengah badai politik yang mengancam nyawanya.

Anwar el-Sadat bukanlah presiden biasa. Ia adalah perwira revolusi tahun 1952 yang menggulingkan Raja Farouk bersama Gamal Abdel Nasser. Ketika Nasser wafat pada 1970, banyak yang meremehkan Sadat. Ia dianggap figur kompromi, “orang peralihan” tanpa karisma atau kekuatan politik. Namun sejarah membuktikan sebaliknya.

Pada Oktober 1973, Sadat memimpin Mesir dalam serangan mendadak terhadap Israel. Walau perang berakhir tanpa kemenangan mutlak, Sadat dianggap pahlawan karena berhasil menyeberangi Terusan Suez, simbol pemulihan martabat Mesir. Tapi kemenangan di medan perang segera berubah menjadi keberanian yang jauh lebih besar: keberanian untuk berdamai.

Pada 1977, Sadat melakukan sesuatu yang belum pernah dibayangkan dunia Arab. Ia terbang ke Yerusalem, berbicara di hadapan parlemen Israel, dan menyerukan perdamaian. Dunia tertegun. Ia kemudian menandatangani Perjanjian Camp David (1978) bersama Perdana Menteri Israel Menachem Begin, dimediasi oleh Presiden AS Jimmy Carter.

Tahun berikutnya, Sadat dan Begin dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Namun, di banyak negeri Arab, Sadat dianggap pengkhianat. Ia memecahkan tabu yang paling sakral, yaitu berdamai dengan musuh yang dianggap penjajah tanah Palestina.

Sejak perjanjian itu, ancaman terhadap Sadat meningkat. Kelompok radikal Islam, terutama Al-Jihad dan Gama’a Islamiyya, menganggapnya kafir karena berdamai dengan Israel dan menekan gerakan Islam di dalam negeri. Di balik dinding penjara, rencana pembalasan mulai disusun.

Pada 1981, Mesir dilanda ketegangan. Demonstrasi, penangkapan massal terhadap ulama, intelektual, bahkan penulis dan seniman, semua dilakukan Sadat demi menjaga stabilitas. Tapi tindakan keras itu justru membuatnya semakin terisolasi.

Di tengah tekanan itu, Sadat tetap yakin bahwa Mesir butuh ketegasan. Ia percaya bahwa sejarah akan memihaknya.

“Saya tahu saya akan mati karena perdamaian ini. Tapi saya memilih mati demi harapan daripada hidup dalam kebencian.” katanya suatu kali pada istrinya, Jehan Sadat.

6 Oktober 1981

Matahari baru naik di atas langit Kairo. Helikopter melintas di atas parade militer, pesawat tempur membuat formasi di udara. Ribuan orang bersorak. Sadat duduk di kursi kehormatan bersama Wakil Presiden Hosni Mubarak, Menteri Pertahanan, dan para jenderal.

Ketika iring-iringan kendaraan militer melewati tribun, satu truk berhenti. Empat tentara melompat keluar. Awalnya dikira bagian dari pertunjukan militer. Tapi kemudian salah satu dari mereka, Letnan Khalid Islambouli, berteriak:

“Saya telah membunuh Fir’aun!”

Granat dilemparkan. Ledakan mengguncang tribun. Dentuman peluru menyusul, menghantam kursi kehormatan. Sadat sempat berdiri, mungkin untuk membalas hormat, sebelum tubuhnya roboh ditembus peluru di dada dan leher.

Serangan itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi mengguncang dunia. Enam orang tewas di tempat, termasuk duta besar Kuba. Lebih dari dua puluh luka-luka.

Di rumah sakit militer, upaya penyelamatan berlangsung 45 menit. Tapi pukul 14.40 siang, dokter menyatakan Anwar Sadat meninggal dunia.

Baca Selengkapnya: [1D1H] 5 Oktober, Hari Ketika Apple Berduka

Kairo, kota yang biasanya penuh hiruk pikuk mendadak sunyi. Jalan-jalan utama ditutup. Tentara ditempatkan di setiap sudut. Rakyat terdiam, sebagian menangis, bingung, bahkan ada yang menahan perasaan bercampur antara duka dan kebencian.

Televisi Mesir menyiarkan berita kematian Sadat dalam siaran hitam-putih. Suara penyiar bergetar ketika menyebut kata “syahid”. Dunia bereaksi cepat. Pemimpin dari seluruh penjuru mengirim belasungkawa.

Namun ironi terus mengikuti kematian Sadat. Ketika jasadnya dimakamkan di depan Monumen Prajurit Tak Dikenal, tidak jauh dari tempat ia dibunuh, banyak pemimpin Arab menolak hadir. Hanya tiga tokoh non-Arab yang datang: Jimmy Carter, Yitzhak Navon (Presiden Israel), dan Begin sendiri, orang yang pernah menjadi musuhnya.

Munculnya Hosni Mubarak

Setelah penembakan itu, Wakil Presiden Hosni Mubarak, yang duduk di samping Sadat saat kejadian, selamat dengan luka ringan. Ia kemudian mengambil alih kekuasaan, berjanji melanjutkan kebijakan Sadat.

Namun Mesir berubah arah. Di bawah Mubarak, negara menjadi lebih otoriter, penuh sensor, dan hati-hati dalam diplomasi. Kedamaian dengan Israel tetap dijaga, tetapi semangat keterbukaan Sadat perlahan memudar. Selama 30 tahun berikutnya, Mesir terjebak antara stabilitas dan stagnasi.

Pembunuhan Sadat bukan sekadar pembunuhan politik. Ia adalah refleksi dari benturan besar antara dua pandangan dunia: Yang satu percaya bahwa masa depan Arab terletak pada dialog dan modernitas, yang lain yakin bahwa kompromi dengan Barat adalah pengkhianatan terhadap iman dan martabat.

Sadat berdiri di tengah dua arus itu, mencoba menjembatani, tapi akhirnya dihanyutkan oleh keduanya. Seperti banyak tokoh besar dalam sejarah, ia tewas bukan karena gagal melainkan karena melangkah terlalu jauh mendahului zamannya.

Empat dekade kemudian, Mesir dan Israel tetap memiliki hubungan diplomatik. Generasi muda Mesir mengenal Sadat sebagai tokoh yang membawa tanah air mereka dari perang menuju diplomasi.

Bagi sebagian, ia tetap pahlawan nasional. Bagi yang lain, ia adalah pengingat betapa rapuhnya keberanian di dunia politik Arab. Di luar negeri, Sadat dikenang sebagai simbol moderasi dan keberanian moral—seorang pemimpin yang membayar perdamaian dengan hidupnya sendiri.

Ironisnya, tanggal 6 Oktober tetap menjadi Hari Angkatan Bersenjata Mesir, hari yang seharusnya dirayakan dengan kebanggaan. Namun setiap parade, setiap lagu kebangsaan, dan setiap kilatan senjata di langit Kairo, kini selalu menyimpan bayangan tragedi di baliknya.

Bagi Mesir, tanggal itu adalah dualitas yang sempurna: kemenangan dan kehilangan, kebanggaan dan duka, perang dan perdamaian, semua berkelindan di satu hari yang sama.

Dan bagi dunia, kisah Anwar Sadat menjadi pengingat bahwa perdamaian sejati tak pernah lahir tanpa risiko. Terkadang, peluru yang membunuh seorang pemimpin justru menegaskan pesan terakhirnya bahwa perdamaian adalah keberanian paling berbahaya.

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 6 Oktober, Ketika Perdamaian Dibalas dengan Peluru”

  1. Pingback: [1D1H] 7 Oktober, Luna 3 dan Misi Fotografi Paling Puitis Dalam Sejarah Astronomi – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top