[1D1H] 7 Oktober, Luna 3 dan Misi Fotografi Paling Puitis Dalam Sejarah Astronomi

Wahana antariksa Luna 3 mengorbit Bulan. Foto: Science Photo Library

JAKARTA – Pada tanggal 7 Oktober 1959, dunia menatap langit dengan rasa ingin tahu dan ketegangan. Dari pangkalan peluncuran Tyuratam di Kazakhstan, sebuah roket raksasa melesat menembus langit dingin musim gugur.

Di dalamnya, tersembunyi sebuah kapsul seberat kurang dari setengah ton bernama Luna 3, wahana tak berawak Uni Soviet yang akan mengubah cara manusia memandang Bulan dan seluruh semesta.

Langit malam hari itu menjadi saksi ketika manusia untuk pertama kalinya mengintip ke “sisi gelap Bulan”, bagian yang selama jutaan tahun tersembunyi dari pandangan Bumi. Dalam waktu kurang dari empat hari, pesawat kecil ini berhasil memotret wajah tersembunyi satelit alami kita dan mengirimkannya kembali melalui sinyal radio. Foto-foto hitam putih itu mungkin tampak kasar dan kabur, tetapi bagi dunia tahun 1959, itu adalah revolusi kosmologis.

Akhir 1950-an adalah masa ketika langit menjadi medan perlombaan ideologis. Uni Soviet dan Amerika Serikat tengah terlibat dalam Space Race, perlombaan untuk menaklukkan ruang angkasa sebagai simbol keunggulan politik dan teknologi.

Dua tahun sebelumnya pada 4 Oktober 1957, Sputnik 1 telah meluncur dan menjadi satelit pertama di orbit Bumi. Dunia Barat terkejut dan media Amerika menyebutnya Sputnik Shock. Sejak saat itu, setiap peluncuran Soviet diselimuti aura misteri dan kebanggaan nasional.

Luna 3 merupakan langkah ketiga dalam program Luna setelah Luna 1 (yang meleset dari Bulan dan mengorbit Matahari) dan Luna 2 (yang berhasil menabrak permukaan Bulan). Tapi Luna 3 berbeda. misinya bukan sekadar menyentuh Bulan, melainkan melihatnya dari sisi lain, tempat yang bahkan para astronom terhebat pun belum pernah saksikan.

Di tengah Perang Dingin, keberhasilan seperti itu bukan sekadar pencapaian sains. Ia adalah pesan politik yang menggema bahwa di atas langit pun, ideologi bisa bertarung.

Wahana Luna 3 berbentuk silinder dan panjangnya sekitar 1,3 meter dengan antena menjulur. Beratnya sekitar 278 kilogram, tapi di dalam itu tersimpan teknologi revolusioner: kamera otomatis dengan dua lensa (satu untuk gambar dekat, satu untuk gambar jauh), sistem pemrosesan film, serta pemancar radio untuk mengirimkan citra kembali ke Bumi.

Saat roket Vostok-L melesat dari padang stepa Kazakhstan, instrumen Luna 3 telah diprogram untuk melakukan manuver rumit. Setelah mencapai orbit yang memotong lintasan Bulan, wahana ini meluncur hingga jarak 63.500 kilometer dari permukaan satelit. Di sana, pada tanggal 7 Oktober 1959, kamera Luna 3 mulai bekerja.

Dalam waktu singkat 29 foto diambil mencakup sekitar 70% sisi jauh Bulan. Namun pekerjaan terbesar justru terjadi setelah itu. Foto-foto tersebut harus dikirimkan melalui sistem radio analog ke stasiun di Semipalatinsk dan kemudian ke Moskow. Transmisi berlangsung lambat dan tidak sempurna. Dari 29 foto, hanya sekitar 17 yang dapat terbaca dengan baik.

Tapi dari foto-foto kabur itulah dunia untuk pertama kalinya melihat sisi Bulan yang belum pernah disaksikan manusia.

Sisi gelap yang tidak gelap

Di sisi lain, istilah dark side of the Moon sering disalahpahami. Sisi jauh Bulan sebenarnya tidak selalu gelap Bagian itu mendapat sinar matahari sama seperti sisi yang tampak dari Bumi. Namun, karena Bulan selalu menghadap Bumi dengan sisi yang sama—fenomena yang disebut tidal locking—bagian lainnya tetap tersembunyi dari pandangan.

Foto Luna 3 mengungkap dunia yang berbeda dari ekspektasi. Permukaan sisi jauh tampak penuh kawah, tanpa banyak maria (dataran basaltik luas) seperti yang dominan di sisi dekat. Para ilmuwan menamainya Kawasaki Basin, Tsiolkovsky Crater, dan beberapa daerah lain yang kemudian menjadi obyek penelitian geologi Bulan modern.

Gambar Luna 3 menangkap sisi gelap Bulan. Foto: Wired

Untuk pertama kalinya, manusia menyadari bahwa Bulan bukan benda seragam, melainkan “planet mini” dengan dua wajah: satu yang kita kenal, satu lagi asing dan misterius.

Ketika hasil foto dipublikasikan oleh Telegrafnoye Agenttvo Sovetskogo Soyuza atau TASS (kantor berita Uni Soviet) pada 26 Oktober 1959, dunia ilmiah langsung gempar. Di observatorium di seluruh dunia, para astronom mempelajari citra buram itu dengan kaca pembesar.

Amerika Serikat, meski tengah bersaing sengit dengan Soviet, tidak bisa menyembunyikan kekaguman. New York Times menulis:

“For the first time, mankind has unveiled what the Moon had refused to show for millions of years.”

Namun, di balik kekaguman itu juga terselip kecemasan. Di era ketika rudal antarbenua baru diuji coba, setiap pencapaian teknologi luar angkasa diasosiasikan dengan potensi militer. Bila Uni Soviet bisa mengirim kamera ke sisi jauh Bulan, seberapa jauh lagi kemampuan misil mereka?

Baca Selengkapnya: [1D1H] 6 Oktober, Ketika Perdamaian Dibalas dengan Peluru

Di Uni Soviet, Luna 3 disambut sebagai kemenangan ideologi. Potret Bulan menghiasi sampul majalah Pravda dan Ogonyok, sementara para insinyur seperti Mstislav Keldysh dan Georgi Babakin diganjar penghargaan tertinggi negara. Langit menjadi panggung kehormatan politik dan ilmu pengetahuan menjadi alat diplomasi.

Yang menarik, Luna 3 bukan hanya misi ilmiah, tapi juga cikal bakal teknologi transmisi gambar jarak jauh, “nenek moyang” dari sistem foto digital modern.

Kamera wahana menggunakan film konvensional 35 mm yang otomatis dikembangkan di dalam ruang tertutup dengan cairan kimia. Setelah selesai, hasil foto dipindai menggunakan sinar katoda dan diterjemahkan menjadi gelombang radio. Data itu dikirim ke Bumi, lalu diterjemahkan kembali menjadi gambar oleh printer khusus.

Dengan kata lain, Luna 3 melakukan apa yang kini dilakukan oleh setiap ponsel modern: mengambil gambar, memprosesnya, dan mengirimkannya tanpa kabel.

Sebuah pencapaian luar biasa untuk tahun 1959 di saat komputer masih sebesar ruangan dan transmisi data masih dilakukan dengan pita magnetik.

Namun, di balik keberhasilan teknis itu, Luna 3 juga menyentuh sisi filosofis manusia. Foto-foto dari sisi jauh Bulan memicu diskusi tentang dualitas: terang dan gelap, tampak dan tersembunyi, dikenal dan asing.

Dalam makna simbolik, manusia akhirnya melihat bahwa bahkan benda yang selalu tampak di langit malam pun memiliki sisi tersembunyi. Dan barangkali, begitu pula dengan kita, peradaban yang kerap melihat diri hanya dari satu wajah.

Bagi para astronom dan teolog, penemuan itu mengandung makna spiritual.

“Langit bukan lagi cermin Tuhan, melainkan ruang tempat manusia mengenal dirinya,” tulis astronom Prancis Pierre Kohler dalam esainya tahun 1961.

Meski hanya wahana kecil, Luna 3 membuka jalan bagi eksplorasi luar angkasa yang lebih kompleks:

  • Tahun 1966, Luna 9 menjadi wahana pertama yang mendarat di permukaan Bulan.
  • Tahun 1968, manusia pertama kali mengorbit Bulan dengan Apollo 8.
  • Setahun kemudian, Armstrong menjejakkan kaki di Mare Tranquillitatis.

Namun, dalam setiap langkah itu, Luna 3 tetap menjadi pelopor pandangan manusia terhadap yang tak terlihat.

Foto-foto sisi jauh Bulan masih dipelajari hingga kini untuk memahami evolusi kerak Bulan. Data modern dari satelit NASA Lunar Reconnaissance Orbiter (2009) bahkan mengonfirmasi hasil-hasil awal Luna 3, membuktikan betapa akurat pengamatan analog tahun 1959 itu.

Setengah abad setelah peluncurannya, banyak ilmuwan menyebut Luna 3 sebagai “misi fotografi paling puitis dalam sejarah.” Ia bukan hanya alat teknologi, tetapi juga jembatan antara rasa ingin tahu dan keberanian.

Foto-foto yang dikirim Luna 3 kini tersimpan di arsip Roscosmos dan Smithsonian, berwarna kekuningan karena usia, tetapi tetap memancarkan aura penemuan. Di sana, setiap goresan kawah tampak seperti sidik jari alam semesta.

Per hari ini, manusia telah banyak melakukan eksperimen ke luar angkasa. Manusia telah mengirimkan teleskop jauh ke luar tata surya, dari Hubble hingga James Webb. Namun kisah Luna 3 mengingatkan kita bahwa perjalanan besar dimulai dari keinginan untuk melihat apa yang tersembunyi.

7 Oktober 1959 bukan hanya tanggal dalam sejarah antariksa, tetapi juga metafora bagi pencarian manusia terhadap kebenaran. Bahwa di setiap “sisi gelap”, baik dalam langit maupun diri sendiri, tersimpan pengetahuan yang menunggu untuk ditemukan.

“Luna 3 tidak sekadar memotret Bulan. Ia memotret rasa ingin tahu   manusia,” – Valentina Leonidovna Ponomaryova (antariksawan dan ilmuwan Uni Soviet)

Harfi Admiral

1 komentar untuk “[1D1H] 7 Oktober, Luna 3 dan Misi Fotografi Paling Puitis Dalam Sejarah Astronomi”

  1. Pingback: [1D1H] 8 Oktober, Haji Agus Salim Sang Intelektual dari Tanah Minangkabau – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top