
JAKARTA – Ada satu kalimat yang sudah terlalu sering kita dengar dan mungkin pernah kita ucapkan sendiri saat hati remuk: cinta itu menyakitkan. Kalimat itu seperti mantra universal yang diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi pembenaran bahwa mencintai berarti siap menderita.
Namun, bagaimana jika sebenarnya bukan cinta yang menyakitkan, melainkan harapan yang tak terpenuhi?
Dilansir dari Pulih Dari Dalam, Dr. Daniel Suwandi seorang pakar psikologi spiritual dan transpersonal dalam sebuah wawancara memaparkan sebuah gagasan bahwa penderitaan dalam hubungan bukanlah akibat cinta, melainkan kontrak tak terlihat yang kita buat di dalam pikiran kita sendiri.
“Rasa sakit bukan efek dari mencintai, tapi hasil dari tawar-menawar yang gagal,” ujarnya, dalam keterangan pers, Selasa (21/10/2025).
Dr. Daniel menguraikan analisisnya ke dalam tiga tingkatan kedewasaan hubungan: nafsu, cinta, dan kasih. Melalui tiga tingkatan ini ia mengajak kita meninjau ulang apakah yang kita jalani benar-benar cinta atau hanya keinginan yang terselubung dalam pakaian romantisme?
Level 1: nafsu
Menurut Dr. Daniel, tingkat pertama dinamakan nafsu, sebuah hubungan yang berpusat sepenuhnya pada pemenuhan diri. Ia menyebutnya sebagai tingkat Pemanfaatan atau the taker.
“Nafsu selalu bertanya, ‘Apa yang bisa saya dapatkan darimu?’,” katanya. “Ia adalah dorongan paling dasar dari ego manusia—tentang dominasi, kontrol, dan rasa aman palsu.”
Dalam konteks ini, pasangan, anak, atau bahkan sahabat hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan batin yang tak tersadari: validasi, kekuasaan, atau rasa berharga. Contoh yang paling dekat justru muncul dalam lingkungan yang dianggap suci yaitu keluarga.
Seorang orang tua, misalnya, memaksa anak masuk ke sekolah elit demi gengsi sosial, sembari berkata, “Ini demi masa depanmu.” Tapi di balik kata “demi,” sering tersembunyi ego yang haus pengakuan. Dr. Daniel menyoroti bahwa tindakan semacam itu bukanlah cinta orang tua, melainkan nafsu akan status dan kebanggaan diri.
Begitu pula dalam pernikahan. Banyak pasangan yang sebenarnya tidak mencintai, melainkan ingin memiliki. Kalimat seperti, “Aku melarang kamu bekerja demi menjaga kehormatan keluarga,” kerap terdengar mulia, padahal sering berakar dari kebutuhan untuk menguasai dan mengendalikan.
“Kontrol adalah bentuk halus dari ketakutan dan di balik ketakutan itu, ada ego yang tidak ingin kehilangan sumber pemenuhannya.” kata Dr. Daniel.
Level 2: cinta
Jika nafsu adalah hubungan transaksional satu arah, maka tingkat kedua yaitu cinta terlihat lebih matang, tapi justru menjadi sumber penderitaan terbesar.
Dr. Daniel menyebutnya sebagai cinta bersyarat atau the conditional contractor.
“Di sini, kita masih beroperasi dalam sistem pertukaran yang tersamar. Ada perjanjian tak tertulis: Aku mencintaimu asalkan kamu juga mencintaiku dengan kadar yang sama.” ujarnya.
Ini adalah cinta yang menjadi mata uang sosial. Kita memberi, tapi diam-diam menghitung. Kita menolong, tapi berharap diingat. Kita berkorban, tapi menunggu imbalan moral: ucapan terima kasih, pengakuan, atau setidaknya balasan emosi yang setara. Saat kontrak batin itu dilanggar, muncul rasa kecewa, sakit hati, bahkan dendam.
Dr. Daniel menyebut fenomena ini sebagai tyranny of the giver—tirani sang pemberi.
“Ada orang yang tampak dermawan dan penuh cinta, tapi sebenarnya memberi untuk meneguhkan ego. Ia ingin terlihat mulia, ingin diakui sebagai pihak yang paling berkorban. Itu bukan kasih, itu strategi dominasi halus,” ungkapnya.
Fenomena ini sangat relevan di masa kini. Di era media sosial, cinta bersyarat ini mendapat panggung besar. Banyak pasangan yang menilai cinta dari seberapa sering pasangannya mengunggah foto bersama, memberi komentar manis atau menuliskan kata “I love you” di ruang publik digital. Hubungan menjadi ajang curated affection, bukan koneksi batin.
Seperti yang dijelaskan Dr. Daniel, kita hidup di masa ketika cinta diukur dengan algoritma, bukan kedalaman jiwa. Harapan sosial ini membuat banyak orang menderita, karena mereka mengira cinta adalah tentang validasi eksternal.
Level 3: kasih
Tingkat tertinggi dari hubungan manusia adalah kasih, sebuah keadaan batin yang penuh dan mandiri.
“Kasih sejati tidak bisa menyakiti karena ia tidak menuntut apa pun.” ujar Dr. Daniel.
Dalam kasih, seseorang mencintai bukan karena kebutuhan, tapi karena kebahagiaan memberi itu sendiri. Ia menjadi the unconditional giver. Cinta di tingkat ini bukanlah tindakan, melainkan kualitas keberadaan.
“Bayangkan ketika Anda memeluk bayi Anda. Anda membersihkan kotorannya bukan karena kewajiban, tapi karena itu bagian dari kasih. Anda bahagia bukan karena bayi membalas, tapi karena kehadirannya sendiri sudah cukup.”
Inilah bentuk tertinggi dari hubungan manusia, keadaan di mana memberi adalah kebahagiaan, bukan pengorbanan.
Dalam konteks psikologi transpersonal, tahap kasih ini paralel dengan konsep self-transcendence atau melampaui ego. Teori ini dikembangkan oleh Abraham Maslow dalam fase akhir piramida kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar dan aktualisasi diri terpenuhi, manusia akan mencari pengalaman puncak (peak experience): keadaan kesatuan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Dr. Daniel menyebutnya sebagai momen ketika diri berhenti menjadi pusat semesta. Inilah titik di mana cinta berhenti menjadi emosi dan berubah menjadi kesadaran.
Mengurai akar penderitaan, ekspektasi dan harapan yang tak disadari
Jika cinta sejati tidak bisa menyakiti, mengapa begitu banyak hubungan berakhir dengan air mata?
Jawaban Dr. Daniel sederhana: karena kita mencintai dengan syarat. Kita menciptakan kontrak sosial tak tertulis yang berisi daftar harapan: perhatian, kesetiaan, komunikasi, dan sebagainya. Semua itu tampak masuk akal sampai salah satunya gagal memenuhinya.
“Ketika pasangan tidak lagi mengirim pesan setiap pagi atau tidak merespons dengan cepat, kita merasa kehilangan cinta. Padahal yang hilang bukan cinta, tapi ekspektasi terhadap bentuk cinta,” jelasnya.
Baca Selengkapnya: Hopeless Romantic: Percaya Cinta Sejati atau Cuma Bikin Sakit Hati?
Dalam kacamata psikologi transpersonal, penderitaan ini adalah akibat dari keterikatan ego. Ego menciptakan dualitas: aku dan kamu, memberi dan menerima, cinta dan penolakan. Padahal, kesadaran sejati tidak memisahkan. Ia melihat cinta sebagai energi yang mengalir tanpa arah, tanpa tuntutan.
Fenomena ini kini semakin relevan di tengah meningkatnya krisis kesehatan mental dan relasi digital. Aplikasi kencan, algoritma like, dan budaya instan membuat kita semakin sulit membedakan antara kasih dan kebutuhan validasi. Kita bukan lagi mencintai orang, tapi mencintai sensasi dicintai.
Membatalkan kontrak sosial sebagai jalan menuju kebebasan batin
“Tidak ada cinta yang menyakitkan. Yang menyakitkan adalah gagal memenuhi harapan yang kita ciptakan sendiri.” ulang Dr. Daniel dalam wawancara itu.
Ia mengajak kita untuk membatalkan kontrak sosial batin itu, kontrak yang membuat kita percaya bahwa kebahagiaan tergantung pada tindakan orang lain.
Ini sejalan dengan ajaran kesadaran Timur seperti Advaita Vedanta atau Zen Buddhism yang melihat penderitaan sebagai hasil ilusi dualitas. Dalam kesadaran non-dualistik, tidak ada ‘aku yang mencintai’ dan ‘kamu yang dicintai’; yang ada hanyalah energi kasih yang mengalir.
Dr. Daniel menyebut proses ini sebagai deconditioning, membongkar syarat yang kita tempelkan pada kebahagiaan.
“Begitu kita berhenti menawar, cinta menjadi bebas,” katanya.
Praktik membebaskan diri dari cinta bersyarat ke kasih tanpa pamrih
Untuk bertransisi dari cinta yang bersyarat menuju kasih yang tanpa pamrih, Dr. Daniel menyarankan latihan sederhana namun mendalam.
1. Observasi ekspektasi
Setiap kali Anda merasa tersinggung, kecewa, atau terluka oleh pasangan, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: “Janji tak tertulis apa yang baru saja saya yakini telah dilanggar?” Kesadaran ini membantu Anda memisahkan tindakan pasangan dari konstruksi mental Anda sendiri.
2. Kepemilikan emosi
Akui bahwa rasa sakit bukan disebabkan oleh pasangan, melainkan oleh reaksi Anda terhadap harapan yang gagal. Ini adalah bentuk radical responsibility—menerima bahwa sumber penderitaan ada di dalam, bukan di luar.
3. Latihan kasih tanpa balasan
Mulailah dengan tindakan kecil: memberi tanpa pamrih. Berikan pujian, bantu orang lain, atau ucapkan terima kasih tanpa menunggu reaksi. Rasakan kebahagiaan yang muncul hanya karena memberi itu sendiri.
Seiring waktu, kebahagiaan ini menjadi alami seperti matahari yang bersinar tanpa niat.
Refleksi di era modern antara cinta, ego, dan teknologi
Zaman modern menghadirkan paradoks besar dalam hubungan. Kita terhubung lebih dari sebelumnya, namun merasa lebih kesepian. Banyak pasangan bersama secara fisik, tapi terpisah secara emosional karena interaksi mereka dimediasi layar.
Dalam ekosistem ini, ego menemukan lahan subur. Ia menuntut validasi instan, membandingkan, menilai, dan menciptakan narasi bahwa cinta harus tampak ideal. Padahal, cinta sejati tidak perlu dipamerkan, sebab ia hanya perlu dihidupi.
Psikologi transpersonal melihat ini sebagai krisis identitas spiritual. Manusia kehilangan rasa kesatuan dengan dirinya sendiri. Ketika diri terpecah antara persona digital dan realitas batin, cinta pun terdistorsi menjadi performa sosial.
Kasih tanpa pamrih menjadi semakin langka karena kita lupa satu hal mendasar bahwa cinta sejati tidak membutuhkan penonton.
Dalam pandangan Dr. Daniel, penyembuhan hubungan dimulai dari penyembuhan diri.
“Kita tidak bisa mencintai dengan bebas jika diri masih terpenjara oleh ekspektasi,” ujarnya.
Ia mengutip prinsip kesadaran non-dualistik bahwa penderitaan adalah tanda bahwa kita lupa siapa diri kita sebenarnya.
Dengan menyadari ini, seseorang tidak lagi mencari cinta di luar dirinya karena ia telah menjadi sumber cinta itu sendiri. Hubungan dengan orang lain kemudian bukan lagi arena transaksi, melainkan ruang ekspresi kebahagiaan batin.
Kita diajak untuk meninjau ulang konsep cinta yang selama ini kita anut. Apakah ia benar-benar murni atau masih beraroma nafsu dan harapan tersembunyi?
Di dunia yang terus menuntut kita untuk mendapatkan lebih banyak, barangkali langkah paling revolusioner justru adalah melepaskan. Melepaskan harapan, melepaskan kontrak sosial, dan membiarkan cinta kembali ke bentuk aslinya: kasih yang bebas, lembut, dan penuh kebahagiaan.
Tentang pulihdaridalam.com
Sedikit informasi, pulihdaridalam.com didirikan oleh Dr Daniel Suwandi karena melihat banyaknya kasus sakit yang terabaikan. Banyak masalah penyakit yang timbul akibat tekanan psikis.
Pernahkah Anda mengalami atau melihat orang sakit yang tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke berbagai dokter? Atau merasa lelah, cemas, bahkan menangis tanpa sebab? Perasaan ini bukan sekadar halusinasi, melainkan sinyal dari jiwa dan pikiran yang membutuhkan perhatian serius.
Nah dalam kondisi ini maka sesorang bisa berdampak kepada lingkungan sosial dan kehidupan pribadinya. Maka dari itu ia dan teamnya mendirikan pulihdaridalam.com untuk bisa membantu orang-orang yang mengalami tekanan psikis agar dapat kembali menemukan harapan dan kehidupannya kembali.
Rasinesia

