
JAKARTA – Dalam dunia yang bergerak semakin cepat ini, kita sering dihadapkan pada pilihan antara kualitas atau kuantitas. Pertanyaan klasik ini muncul di banyak ranah mulai dari tugas akademik, pekerjaan, hubungan sosial, hingga konten media.
Di balik pertanyaan itu sebenarnya muncul pula pertanyaan-pertanyaan lain seperti apa yang sebenarnya kita kejar, kedalaman atau kecepatan, makna atau angka?
Fenomena ini sangat terasa di lingkungan mahasiswa. Mahasiswa diajarkan untuk produktif menghasilkan banyak hal seperti tugas, laporan, partisipasi, hingga sertifikat. Semuanya dihitung dan dipamerkan dalam angka seperti Indeks Prestasi Komulatif (IPK), jumlah organisasi, jumlah proyek, hingga jumlah jam pelatihan.
Baca Selengkapnya: Oil Control Paper Bikin Pori-Pori Tersumbat? Mitos atau Fakta?
Kuantitas jadi ukuran kesuksesan yang instan. Maka tak heran jika banyak mahasiswa merasa harus terus “mengisi” Curriculum Vitae (CV) mereka, meskipun apa yang mereka lakukan sering kali tidak meninggalkan bekas pemahaman yang berarti.
Namun, mari kita refleksikan sebentar. Apakah semua yang banyak itu berarti? Apakah membuat lima esai yang ditulis dalam semalam lebih baik dari satu tulisan yang benar-benar digarap dengan riset dan refleksi mendalam? Apakah ikut sepuluh organisasi sekaligus membuat kita menjadi lebih unggul, jika semuanya hanya disentuh di permukaan?
Kuantitas sering kali menipu. Ia menciptakan ilusi prestasi. Dalam jangka pendek, angka memang terlihat mengesankan. Tapi dalam jangka panjang, hanya kualitas yang akan bertahan. Kita tidak akan diingat karena berapa banyak yang kita kerjakan, melainkan seberapa dalam kita menjalaninya.
Seorang penulis, misalnya, tidak dikenang karena jumlah buku yang ia tulis, tapi karena satu buku yang mengubah hidup banyak orang. Seorang pemimpin dihormati bukan karena banyaknya proyek, tapi karena dampak dari satu keputusan besar yang bijak.
Namun, bukan berarti kuantitas tidak penting sama sekali. Dalam proses menuju kualitas, terkadang kuantitas dibutuhkan sebagai latihan. Seorang pelukis hebat mungkin telah menggambar ribuan sketsa sebelum menghasilkan satu mahakarya.
Tapi yang membedakan adalah kesadaran tentang apakah kita mengerjakan banyak hal sebagai proses menuju penguasaan atau hanya untuk mengejar pengakuan?
Kita hidup di zaman di mana segalanya harus cepat. Tapi justru karena itulah, penting untuk memperlambat langkah dan bertanya ulang apakah kita sedang membangun sesuatu yang bernilai atau hanya sibuk untuk terlihat sibuk.
Jadi, daripada terus terjebak dalam logika angka, mungkin saatnya kita kembali ke esensi. Kualitas bukan sekadar hasil akhir, tapi sikap hidup. Kualitas adalah pilihan sadar untuk melakukan sesuatu dengan penuh perhatian, ketekunan, dan tanggung jawab. Ia tidak selalu mencolok, tapi dampaknya jauh lebih dalam dan bertahan lama.
Pandu Aryo
Pingback: Pentingnya Menyiapkan Sinking Fund untuk Meringankan Beban Pengeluaran – Rasinesia