
JAKARTA – ChatGPT salah satu produk Artificial Intelligence (AI) yang dapat menulis dalam waktu kurang dari satu menit. Apa yang seharusnya bagi para penulis butuhkan dalam waktu kurang atau bahkan lebih dari tiga jam.
Momen ini kemudian menimbulkan pertanyaan bagi para penulis. Apakah mereka dibantu atau digantikan oleh AI?
Penulis di seluruh dunia bertanya-tanya, jika mesin dapat melakukannya lantas apa yang tersisa bagi mereka? Apakah kita sedang menyaksikan awal dari perkembangan teknologi atau awal dari tergantinya manusia dalam menulis?
Ketika prompt menggantikan teknik menulis pada umumnya, masa depan penulis mulai dipertanyakan. Apa sebenarnya arti menulis jika tidak berasal dari penulis itu sendiri?
Pergeseran ini didukung oleh apa yang sekarang disebut penulisan berbasis prompt. Menulis di era digital sekarang ini juga telah bergeser dari sistem manual menjadi otomatis di mana prompt dan algoritma menjadi titik fokus.
Penulisan berbasis prompt mengacu pada proses di mana seseorang memberikan arahan atau pertanyaan singkat kepada AI dan AI menghasilkan teks yang dapat dibaca sebagai hasilnya. AI seperti ChatGPT, DeepSeek, dan BlackBox dapat menyediakan apa saja, mulai dari garis besar artikel, esai, puisi, cerpen, dan bahkan satu bab buku dalam satu kali klik.
Kemudahan ini menguntungkan berbagai pihak. AI telah membuka pintu bagi mahasiswa, dosen, masyarakat umum, dan penulis baru yang sebelumnya kesulitan dengan tulisan atau tenggat waktu mereka. Sudah bukan hal yang aneh lagi ketika kita melihat artikel berita, iklan, informasi, dan karya kreatif yang dibuat atau dirancang oleh AI, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Baca Selengkapnya: Membincangkan Proses Kreatif Lutfi Mardiansyah dan Arini Joesoef dalam Acara Bedah Buku Sastra Indonesia FIB Universitas Padjadjaran
Menurut survei Content Assistant pada tahun 2023, penerapan AI dalam penulisan telah meningkat secara drastis dalam dua tahun terakhir. Survei tersebut menunjukkan bahwa 70,7% penulis konten telah menerapkan penulisan berbasis prompt untuk meningkatkan dan memudahkan pekerjaan mereka. Sementara itu, sebanyak 18,4% percaya bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan mereka.
Data ini menunjukkan keyakinan mayoritas pengguna AI bahwa teknologi ini hanya berperan sebagai alat bantu, bukan pengganti sepenuhnya. Di sisi lain, ini juga menyoroti meningkatnya penerimaan terhadap peran AI sebagai kontributor, sekaligus menegaskan bahwa penulis tidak akan sepenuhnya tergantikan oleh mesin.
Namun, batas antara bantuan AI dan keaslian tulisan semakin kabur seiring dengan meningkatnya kecanggihan teknologi. Bagi sebagian besar penulis naskah dan produser konten, kemunculan aplikasi ini mengancam keberlanjutan profesi mereka. Aktivitas yang dulunya hanya dapat dilakukan manusia seperti penulisan dan penyuntingan kreatif kini menghadapi ancaman otomatisasi.
Pergeseran ini memunculkan pertanyaan dalam etika menulis. Dapatkah hasil kerja sebuah kecerdasan buatan dianggap orisinal? Tantangan ini bukanlah sekadar kemungkinan, melainkan realita yang berdampak langsung terhadap karier dan kredibilitas karya yang dipublikasikan.
Para penulis sendiri memiliki pandangan yang beragam tentang AI. Sebagian melihatnya sebagai asisten yang mempercepat proses dan membantu menghasilkan ide-ide inovatif. Namun, ada pula yang memandangnya sebagai ancaman terhadap kreatifitas manusia dan berpotensi mengotomatisasi pekerjaan penulis.
AI memang dapat mendukung proses penulisan kita, tetapi jangan digunakan untuk menggantikan sepenuhnya esensi penulis. Kita harus mempertahankan perbedaan itu. Menulis bukan hanya sekedar menghasilkan teks, melainkan sebuah tindakan manusia yang berakar pada pemikiran, perasaan, dan pengalaman.
Menulis bukan hanya tentang struktur estetis, tetapi juga tentang emosi dan nuansa. AI mungkin dapat menyusun kalimat yang tepat secara tata bahasa, tetapi kesulitan ketika harus menghadapi kiasan budaya, idiom, atau narasi yang rumit.
Sebuah puisi ciptaan AI mungkin memiliki rima yang sempurna, tetapi cenderung kehilangan kedalaman emosi yang hanya dapat disampaikan oleh manusia. Kontras ini menegaskan keterbatasan AI dalam menangkap dimensi kreatif dan emosional yang kompleks.
Mesin dapat meniru bentuk, tetapi tidak mampu memahami esensi. Akibatnya, pembaca sering merasakan hal yang aneh saat membaca teks yang dihasilkan oleh AI.
Namun, meskipun terdapat batasan-batasan tersebut, beberapa penulis tidak serta-merta menolak AI. Sebaliknya, mereka menerimanya sebagai metode baru untuk memperkaya karya mereka. Alih-alih melihat AI sebagai ancaman, sebagian penulis berupaya menjalin kolaborasi.
Dalam dunia sastra, misalnya, mereka melibatkan prompt engineer untuk merancang prompt yang akurat, editor untuk menyempurnakan hasil, dan kurator untuk memilih serta membentuk ide menjadi narasi yang bermakna.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa AI bukanlah pengganti penulis, melainkan kolaborator yang dapat memicu inspirasi dan menghilangkan hambatan dalam menulis. Kombinasi ini akan membuka masa depan imajinasi yang meningkat, di mana imajinasi manusia akan diperkuat, bukan digantikan oleh teknologi.
Kita dapat mengucapkan selamat datang pada penulisan berbasis prompt, namun tetap saja hal ini tidak dapat menggantikan tulisan manusia. Sehebat apapun AI, ia tidak bisa menandingi pengalaman dan kreativitas yang dimiliki oleh manusia.
Pandu Aryo
Pingback: Kembalinya Fosil Koleksi Eugene Dubois dari Belanda ke Indonesia – Rasinesia