
JAKARTA – Beberapa tahun lalu, ide tentang mesin yang bisa berpikir seperti manusia mungkin hanya ada di film-film dan buku fiksi saja. Tapi saat ini, kita hidup di masa di mana Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bukan hanya sebagi alat bantu manusia, tapi juga sebagai rekan kerja yang tidak pernah lelah dan siap membantu setiap waktu.
AI bisa segalanya seperti menulis, menggambar, menganalisis data, bahkan menjadi teman curhat yang siap mendengarkan keluhan-keluhan. Mungkin saja kita tidak sadar, tapi cara kita bekerja dan berpikir saat ini megalami perubahan yang signifikan karenanya.
Mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Contohnya hal-hal yang dulunya butuh waktu lama, sekarang bisa diselesaikan dalam hitungan detik oleh AI. Seperti menulis laporan, membuat desain, sampai mengatur jadwal kerja semuanya bisa dibantu AI. Efisien memang, tapi di balik semua itu peran manusia justru bergeser.
Sekarang, kita bukan lagi sekadar melakukan pekerjaan, tapi juga mengatur bagaimana mesin bekerja bersama kita. Mereka yang bisa memanfaatkan teknologi justru semakin dicari. Misalnya, orang yang paham terhadap prompt menghasilkan ide dari AI, itu akan menjadi keterampilam baru yang bahkan di satu dekade lalu belum ada.
AI seolah-olah membuat kita merekayasa kembali pikiran kita tentang arti produktif. Bukan hanya soal seberapa cepat kita bekerja, tapi seberapa kreatif kita bisa memanfaatkan teknologi untuk menciptakan hal baru.
Karena penggunaannya yang cukup sering, secara tidak sadar AI juga dapat memengaruhi cara berpikir seseorang. Saat ini, semisalnya kita butuh jawaban cepat, kita tinggal bertanya ke AI atau mesin pencari. Informasi datang begitu cepat, sampai-sampai kita kadang lupa menikmati proses mencari tahu.
Baca Selengkapnya: PIK Avenue Hadirkan Sensasi Masa Depan melalui EVOLUXE 2025
Dibandingkan dengan sekarang, dulu belajar berarti membaca buku, merenung, dan memahami. Sekarang, mungkin hal yang penting adalah kita tahu harus mengajukan pertanyaan apa.
AI mendorong kita untuk berpikir lebih strategis bukan sekadar bertanya apa jawabannya, tapi juga berpikir bagaimana cara menemukan jawaban yang akurat.
Dari sekian banyak manfaat yang disebutkan sebelumnya, di sisi lain, ada risiko juga. Kalau manusia terlalu bergantung pada AI yang juga buatan manusia, kemungkinan terburuknya adalah kita bisa kehilangan kebiasaan berpikir kritis.
Mesin memang pintar, tapi mesin dilatih oleh manusia dan tentu manusia tidak selalu benar. Karena itu, kita tetap harus menyeleksi jawaban-jawaban yang diberikan agar logika dan kebenaran tetap terjaga.
Tidak bisa dipungkiri, AI membuka banyak peluang. Contohnya di bidang pekerjaan, banyak calon-calon pekerja yang memanfaatkan fitur AI untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang mereka secara cepat dan tepat.
Namun, di balik peluang itu, ada juga ketakutan seperti apakah AI akan menggantikan manusia?
Jawaban untuk saat ini mungkin bisa tetapi tidak sepenuhnya. Seperti contohnya pekerjaan penjaga loket untuk masuk ke jalan tol yang digantikan oleh plang pintu otomatis. Memang benar saat ini di Indonesia sudah jarang ada pekerjaan tersebut, tetapi di sekitar pintu tol juga dibutuhkan penjaga yang siap kapan saja jika pintu tol tersebut mengalami kerusakan atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, sepintar-pintarnya AI, ia masih membutuhkan manusia sebagai rekan kerjanya.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti melihat AI sebagai ancaman. AI bukan musuh, tapi partner dalam berpikir dan bekerja. Mesin bisa menangani hal-hal teknis dan berulang, sementara manusia fokus pada ide, arah, dan nilai.
Kunci ke depannya adalah tentang bukan siapa yang lebih pintar, tapi bagaimana keduanya bisa bekerja sama. Tetapi perlu di ingat bahwa kita perlu membekali diri bukan hanya dengan kemampuan teknis, tapi juga dengan soft skills seperti berpikir kritis, belajar bertanya, menilai benar dan salah dan mampu memahami makna dari jawaban yang diberikan AI.
AI memang bisa melakukan banyak hal seperti yang disebutkan sebelumnya seperti menulis, membuat aplikasi, bahkan menghasilkan gambar yang luar biasa. Tapi tetap saja AI hanya mesin yang dibuat oleh manusia yang persentase jawabannya tidak 100% tepat.
Mungkin itulah tantangan terbesar kita hari ini. Tidak hanya sekadar beradaptasi dengan teknologi, tapi kita harus memastikan bahwa di tengah kecerdasan buatan, kita memanfaatkannya sebagai rekan dan bukan untuk menggantikan sepenuhnya peran manusia.
Pandu Aryo, mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas. Anggota aktif Labor Penulisan Kreatif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Pandu Aryo
Pingback: Kreativitas sebagai Kecerdasan Baru di Dunia Modern – Rasinesia