Bahasa di Era Digital dalam Konteks Identitas dan Adaptasi Budaya

Bahasa memiliki fungsi sosial yang erat kaitannya dengan identitas individu maupun kelompok. Foto: Indonesiana

JAKARTA – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan terhadap cara manusia berkomunikasi. Media sosial seperti aplikasi pengirim pesan dan ruang interaksi digital menciptakan bentuk komunikasi baru yang lebih praktis. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada isi pesan, tetapi juga pada bentuk dan gaya berbahasa yang digunakan.

Dalam konteks ini, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin dari identitas budaya dan sarana adaptasi terhadap lingkungan digital yang terus berkembang. Fenomena munculnya bahasa gaul internet, singkatan, emoji, dan meme merupakan bukti bahwa bahasa selalu bergerak mengikuti kebutuhan sosial masyarakat.

Bahasa memiliki fungsi sosial yang erat kaitannya dengan identitas individu maupun kelompok. Dalam ranah digital, identitas ini tidak hanya dibentuk oleh latar belakang budaya, tetapi juga oleh komunitas tempat seseorang berinteraksi.

Seperti dikemukakan oleh Crystal (2006), munculnya Netspeak atau variasi bahasa khas internet yang menunjukkan bahwa pengguna bahasa menyesuaikan diri dengan karakteristik media digital yang menuntut kecepatan dan efisiensi.

Bahasa gaul daring seperti “btw”, “lol”, “ngab”, “wkwk”, atau bentuk campur kode seperti “gue banget sih itu vibe-nya” mencerminkan kreativitas linguistik generasi muda.

Di sisi lain, bentuk-bentuk ini juga menjadi penanda identitas kelompok yang membedakan pengguna digital dari konteks komunikasi formal. Dengan demikian, bahasa digital berperan sebagai simbol yang digunakan oleh suatu komunitas.

Bahasa selalu beradaptasi terhadap konteks sosial-budaya di mana ia digunakan. Dalam ekosistem digital, komunikasi ditandai oleh keterbatasan ruang, kecepatan interaksi, dan multimodalitas (gabungan teks, gambar, emoji, dan video).

Fenomena ini mendorong munculnya bentuk ekspresi baru yang lebih singkat dan ekspresif. Seperti dijelaskan oleh Herring (2013), gaya komunikasi digital menciptakan sistem semiotik baru di mana tanda-tanda visual seperti emoji atau Graphics Interchange Format (GIF) menggantikan sebagian fungsi verbal dalam menyampaikan emosi dan nuansa makna.

Selain itu, adaptasi bahasa juga terlihat pada penciptaan istilah baru yang lahir dari budaya digital, seperti “unfollow”, “cancel culture”, “mabar”, atau “stalking”. Istilah-istilah tersebut memperlihatkan bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat adaptasi terhadap realitas sosial baru yang dibentuk oleh teknologi.

Perubahan bentuk bahasa di era digital tidak selalu berarti kemunduran nilai-nilai bahasa baku. Justru, fenomena ini menunjukkan dinamika dan vitalitas bahasa dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Namun, tantangan muncul ketika pergeseran bentuk bahasa ini mengaburkan batas antara bahasa baku dan nonbaku dalam konteks pendidikan dan komunikasi formal. Oleh karena itu, literasi digital linguistik menjadi penting agar masyarakat mampu menempatkan ragam bahasa sesuai konteksnya (Tagg, 2015).

Dalam sosiolinguistik, fenomena bahasa digital dapat dilihat sebagai bentuk cultural adaptation, di mana masyarakat tidak hanya memodifikasi bahasa untuk efisiensi komunikasi, tetapi juga untuk menegaskan eksistensi identitas budaya di ruang global.

Baca Selengkapnya: Aksioma Rumah Belajar Sebagai Wadah Anak Nagari Ladang Laweh

Bahasa di era digital merupakan refleksi dari kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi.

Melalui inovasi linguistik seperti bahasa gaul daring, singkatan, dan emoji, masyarakat menunjukkan fleksibilitas budaya dan identitas baru di dunia maya.

Namun, adaptasi tersebut perlu diimbangi dengan kesadaran terhadap konteks penggunaan bahasa agar nilai komunikatif dan budaya tetap terjaga.

Dengan demikian, bahasa digital tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman terhadap bahasa baku, melainkan sebagai bukti evolusi bahasa yang terus hidup mengikuti perubahan zaman dan budaya.

Pandu Aryo, mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas. Anggota aktif Labor Penulisan Kreatif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. 

Pandu Aryo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top