
JAKARTA – Konon, sebelum manusia mengenal uang, mereka sudah tahu cara menukar sesuatu yang paling berharga lewat tubuh. Prostitusi, pekerjaan tertua yang pernah ada, telah melewati zaman batu, kerajaan, revolusi industri, hingga era digital tanpa pernah benar-benar lenyap.
Ia adalah profesi yang selalu disembunyikan, namun selalu dibutuhkan. Dari kuil suci di Mesopotamia hingga gang sempit kota modern, tubuh perempuan (dan kadang laki-laki) menjadi “altar” tempat manusia menukar kesepian dengan kenikmatan dan moral dengan kebutuhan.
Namun yang menarik bukan hanya keberadaannya, melainkan ketahanannya. Setiap peradaban mencoba menindasnya, menutupinya, atau mengutuknya, tapi seperti air yang mencari celah, prostitusi selalu menemukan jalan untuk bertahan.
Barangkali karena di dalamnya tersimpan paradoks paling manusiawi, keinginan yang tak bisa dikendalikan, ekonomi yang tak bisa dihindari, dan moralitas yang selalu bisa dinegosiasikan. Dunia berubah, agama datang dan pergi, tapi “pekerjaan tertua” ini terus menertawakan perubahan itu dari balik tirai yang setengah tertutup.
Ketika dosa menjadi mata pencaharian
Manusia selalu pandai menyembunyikan dosa, tapi lebih pandai lagi menjadikannya profesi. Prostitusi bukan sekadar pertukaran tubuh, ia adalah pertukaran makna. Di satu sisi, agama dan moral publik mencacinya, menyebutnya “najis” atau “aib”. Namun di sisi lain, ekonomi dan kebutuhan berbisik lembut, “bukankah semua orang bekerja untuk bertahan hidup?”
Ironinya, dunia yang paling keras mengutuk prostitusi sering kali adalah dunia yang paling rajin mengonsumsinya. Para pemimpin berbicara soal kesucian keluarga, tapi pintu hotel tetap terbuka. Masyarakat membentak soal moralitas, tapi tetap melirik di balik jendela gelap. Inilah ironi tertua dalam sejarah manusia, menjual tubuh dianggap hina, tapi membeli kenikmatan dianggap biasa.
Pada akhirnya, tubuh menjadi “pasar” yang tidak pernah tutup. Ketika makanan langka, harga diri bisa dinegosiasikan. Dan di titik inilah “pekerjaan tertua” itu menjadi cermin yang menohok, bukan hanya bagi mereka yang menjual, tapi juga bagi mereka yang membeli, menilai, dan menonton dari balik layar moralitas yang retak.
Sejarah mencatat bahwa prostitusi sudah ada jauh sebelum istilah “pekerjaan” itu sendiri lahir. Di Mesopotamia kuno, perempuan-perempuan kuil dikenal sebagai sacred prostitutes. Mereka tidak hanya melayani lewat tubuh mereka, tapi juga dianggap sebagai medium spiritual antara manusia dan dewa. Praktik serupa juga ditemukan di Yunani dan Roma kuno, di mana prostitusi bukanlah kejahatan, melainkan bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi.
Menurut artikel BBC berjudul The World’s Oldest Profession, prostitusi telah diatur secara hukum di berbagai peradaban kuno. Di kota-kota seperti Pompeii dan Babilonia, rumah-rumah pelacuran memiliki status resmi dan bahkan dikenai pajak oleh negara. Sejarah memperlihatkan bahwa selama ada kebutuhan dan kesepakatan, perdagangan tubuh selalu menemukan tempatnya dalam sistem sosial manusia.
Namun, menyebut prostitusi sebagai “profesi tertua di dunia” bukan sekadar pernyataan historis, melainkan sindiran terhadap dunia yang terus berputar tapi tak pernah berubah. Teknologi berkembang, moral bergeser, tapi pertukaran antara uang dan tubuh tetap bertahan. Hanya kemasannya yang berubah. Dari jalanan kota ke layar ponsel, dari lampu merah ke “algoritma biru”, bisnis ini tidak pernah benar-benar mati.
Tubuh yang dijual, jiwa yang menyimpan luka
Di balik kilau lampu malam dan transaksi yang tampak sederhana, prostitusi menyimpan beban psikologis yang tidak kecil. Banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang bekerja dalam industri ini menghadapi tingkat stres, depresi, dan trauma yang jauh lebih tinggi dibanding populasi umum.
Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) mencatat bahwa pekerja seks komersial kerap mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) akibat kekerasan fisik dan emosional yang mereka hadapi dalam pekerjaan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, penelitian dari Lancet Psychiatry menegaskan bahwa banyak pekerja seks menghadapi stigma sosial yang memperparah kondisi mental mereka. Dalam laporannya disebutkan, stigma bukan hanya meminggirkan pekerja seks, tapi juga menghalangi mereka mengakses layanan kesehatan dan dukungan emosional yang layak.
Artinya, yang dijual mungkin tubuh, tetapi yang paling sering terluka adalah bagian diri yang tak terlihat, harga diri, rasa aman, dan harapan akan masa depan.
Ironisnya, masyarakat yang paling vokal menentang prostitusi sering kali adalah yang paling haus menontonnya secara terselubung. Ini paradoks yang sulit dihindari. Dunia menolak untuk mengakui pekerja seks sebagai manusia dengan emosi dan hak, tetapi tetap menikmati hasil dari sistem yang menindas mereka. Di sini, moralitas menjadi topeng; di baliknya, ekonomi dan hipokrisi “berbisik” dalam nada yang sama.
Baca Selengkapnya: Tanpa Uang Apakah Kita Masih Manusia?
Perkembangan internet telah meredefinisi cara prostitusi dijalankan, tidak lagi sekadar di lorong gelap, tetapi lewat layar ponsel dan jejaring daring. Dalam makalah Information Dynamics Shape the Networks of Internet-Mediated Prostitution, para peneliti menemukan bahwa aktivitas prostitusi daring membentuk jaringan yang saling mempengaruhi, ulasan tinggi meningkatkan permintaan, sedangkan jaringan kota memetakan lokasi kontak secara geografis.
Namun transformasi ini membawa sisi kelam. Menurut organisasi C AASE yang meneliti dampak kesehatan mental dari perdagangan seks, 68 % dari mereka yang menjual seks melaporkan gejala depresi, dan 55 % mengalami kecemasan. Angka yang tinggi meskipun bentuk transaksi telah bergeser ke dunia digital. Stigma sosial, eksploitasi digital, ancaman keamanan data pribadi, semuanya menjadi beban baru yang tidak tampak dalam catatan transaksi uang.
Ironi terbesar, teknologi yang awalnya menjanjikan kebebasan dan jangkauan lebih luas, justru memperluas rentang tekanan terhadap pekerja seks. Harga tubuh kini dibayar tidak hanya dengan uang, tetapi juga ketakutan akan pelacakan, pemerasan, dan hilangnya kontrol atas privasi.
Prostitusi sering disebut sebagai pekerjaan tertua di dunia, tetapi sesungguhnya ia lebih pantas disebut sebagai luka tertua umat manusia. Ia lahir dari ketimpangan, tumbuh di antara kesenjangan ekonomi, dan bertahan karena sistem sosial yang gagal melindungi yang paling rentan.
Ketika tubuh menjadi komoditas, moralitas manusia diuji, bukan pada siapa yang menjual, tetapi pada masyarakat yang membiarkan tubuh dijual. Selama kemiskinan, diskriminasi, dan eksploitasi masih menjadi fondasi ekonomi dunia, maka prostitusi tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia hanya akan berubah bentuk, dari gang sempit kota tua hingga layar digital yang tampak bersih.
Prostitusi bukan sekadar isu moral. Ia adalah cermin paling jujur dari struktur sosial kita. Ia menunjukkan bahwa di balik kemajuan, masih ada manusia yang menjual harapan demi bertahan hidup. Dan selama itu terus terjadi, mungkin kita semua adalah bagian dari pasar yang sama, hanya berdiri di sisi yang berbeda.
“Selama kemiskinan masih dianggap takdir, prostitusi akan tetap jadi profesi.”
Yogi Pranditia