Gas Air Mata vs Gas Air Tinja: Pertarungan Aroma di Jalanan Demokrasi

Poopootov yang dilemparkan demonstran ke pihak keamanan dalam protes di Venezuela. Foto: The Sidney Morning Herald

 

JAKARTA Di jalanan negeri demokrasi, udara jarang sekali murni. Ia selalu bercampur antara teriakan massa, asap bakar ban, dan tentu saja gas air mata, senjata favorit aparat sejak dekade 1920-an.

Gas ini awalnya dikembangkan untuk medan perang, lalu didomestikasi sebagai alat pengendali sipil.

Ironisnya, benda yang dilarang digunakan di medan tempur internasional malah jadi sahih dipakai untuk mengendalikan rakyat sendiri.

Aroma baru dalam repertoar penindasan

Tapi dunia rupanya tak puas dengan pedih mata dan sesak napas saja. Evolusi aroma pun lahir, menghadirkan babak baru dalam sejarah represi. Kami menyebutnya dengan istilah “gas air tinja”.

Senjata yang mungkin terdengar seperti lelucon komedi stand-up, namun faktanya pernah benar-benar digunakan dalam berbagai unjuk rasa di dunia.

Sebut saja Venezuela yang melahirkan koktail poopootov dalam aksi protes yang dilemparkan ke pasukan pengamanan, Uganda yang mencoba “senjata bau” untuk membubarkan kerumunan, hingga Rusia yang menjadikan kotoran sebagai pelengkap strategi represi. Semuanya menegaskan bahwa imajinasi manusia untuk mengendalikan sesama tak lagi terbatas pada teknologi, tapi juga aroma.

Apa yang dulunya dianggap sekadar satir kini mewujud dalam kenyataan. Pertarungan aroma di jalanan tidak lagi sekadar metafora, melainkan realitas yang menggambarkan absurditas politik modern.

Gas air mata membuat rakyat menangis, sedangkan gas air tinja membuat mereka mual. Dua-duanya sama-sama menyakitkan, tapi dengan nuansa berbeda: yang satu pedih, yang satu busuk.

Ketika kotoran naik kelas jadi senjata

Sejarah unjuk rasa modern menyimpan banyak babak dramatis, tapi sedikit yang seaneh kisah ketika kotoran atau sesuatu yang biasanya kita buang diam-diam di wc, naik kelas menjadi alat politik.

Tahun 2017 di Venezuela, para demonstran yang jengah pada gas air mata pemerintah menciptakan senjata tandingan: koktail poopootov.

Bentuk poopootov yang dipersiapkan warga Venezuela. Foto: Reuters

Sebotol kaca berisi kotoran manusia atau hewan dilemparkan ke arah aparat, bukan untuk membakar, melainkan untuk menebar jijik. Jaksa agung Venezuela bahkan menyebutnya “senjata biokimia”, sebuah istilah ilmiah yang terdengar keren, tapi sejatinya hanyalah pengakuan resmi bahwa bau kotoran bisa lebih menakutkan daripada senjata kimia.

Fenomena serupa juga terjadi di Uganda. Polisi setempat memperkenalkan “gas penolak” dengan aroma tinja untuk mengurai massa.

Menurut laporan media lokal, orang yang terkena bau ini akan terbawa aromanya cukup lama, sehingga orang lain di sekitarnya pun ikut menjauh. Dalam bahasa sederhana: jika gas air mata membuat orang menangis, gas air tinja membuat orang lari sambil menutup hidung.

Rusia pun tak mau ketinggalan. Di kota Murmansk, aparat pernah menggunakan kotoran hewan di depan gedung budaya untuk membubarkan demonstrasi.

Metodenya sederhana tapi efektif: bukan meriam air atau peluru karet, melainkan sekadar bau busuk yang membuat massa tercerai-berai. Ternyata, dalam “politik aroma”, tak perlu repot membangun senjata canggih, cukup percayakan pada apa yang dikeluarkan tubuh.

Fakta-fakta ini mungkin terdengar konyol, tapi justru di situlah absurditasnya. Apa yang dimulai sebagai senjata kimia bertransformasi jadi senjata biologis paling primitif: kotoran.

Dan ketika itu terjadi, represi politik pun resmi memasuki era baru, era di mana rakyat tak hanya dipaksa menangis, tapi juga dipaksa mencium busuknya kekuasaan.

Logika aroma sebagai kontrol sosial

Jika gas air mata sudah lama jadi simbol “air suci” aparat untuk membaptis rakyat agar pulang ke rumah masing-masing, maka gas air tinja adalah versinya yang lebih jujur: bau busuk yang tak bisa ditutup-tutupi, sebagaimana busuknya relasi antara rakyat dan kekuasaan.

Baca Selengkapnya: Luka Mata Hingga Kesulitan Bernapas, Kenali Gejala Hingga Cara yang Dapat Dilakukan Saat Terkena Gas Air Mata

Logika di baliknya sederhana sekaligus ironis. Gas air mata bekerja dengan iritasi kimia yang jelas: mata perih, paru-paru sesak, tubuh panik. Sementara gas air tinja bekerja lewat jalur psikologis: manusia punya memori primitif terhadap bau busuk yang secara evolusi dihubungkan dengan penyakit, infeksi, dan bahaya.

Dengan kata lain, aparat tak perlu lagi menakut-nakuti rakyat dengan peluru, cukup buat mereka percaya bahwa setiap tarikan napas membawa risiko menelan kotoran orang lain.

Secara sosial, strategi ini membalikkan peran. Demonstran yang seharusnya tampil heroik dengan spanduk dan teriakan kini dipaksa terlihat seperti kerumunan orang yang kalah perang dengan hidung sendiri.

Bayangkan bagaimana isi siaran berita: bukan lagi “massa ricuh”, tapi “massa bubar karena tak tahan bau tai”. Sebuah framing sempurna untuk melemahkan moral gerakan, dan tentu saja, membuat publik menertawakan mereka alih-alih bersimpati.

Di sinilah satir menemukan bentuk paling telanjang: negara yang seharusnya harum dengan janji demokrasi malah mengandalkan bau busuk untuk menjaga wibawa. Dan lebih ironis lagi, rakyat yang melawan pun kadang menjawab dengan strategi yang sama, melempar kotoran. Pada akhirnya, perang ide, perang slogan, perang moral, semua larut menjadi perang aroma.

Perspektif ilmiah: risiko, etika, dan dampak

Meski terdengar seperti lelucon murahan, penggunaan kotoran sebagai senjata bukan sekadar masalah bau. Dari sisi kesehatan, World Health Organization (WHO) pernah menegaskan bahwa kotoran manusia membawa risiko penularan penyakit serius seperti kolera, hepatitis A, hingga disentri.

Tak hanya itu, kontak dengan udara yang terkontaminasi feses meningkatkan potensi infeksi saluran pernapasan. Artinya, ketika gas air tinja dilepaskan di ruang publik, yang terjadi bukan sekadar “pembubaran massa”, melainkan penciptaan potensi wabah.

Dari sisi etika, Amnesty International mencatat bahwa penggunaan zat kimia yang menimbulkan penderitaan fisik maupun psikologis secara berlebihan dapat dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan, karena melanggar prinsip hak asasi manusia. Dengan kata lain, baik gas air mata maupun gas air tinja sama-sama bisa dipandang sebagai instrumen represi yang menggeser batas kemanusiaan.

Lebih jauh lagi, pakar psikologi sosial seperti Kivikangas menyoroti bahwa respon manusia terhadap bau busuk sangat terkait dengan memori emosional. Bau menjijikkan dapat memicu rasa jijik yang kuat yang seringkali dikaitkan dengan penilaian moral negatif.

Dengan demikian, penggunaan gas berbasis kotoran bukan hanya menyerang tubuh, tapi juga menyerang citra gerakan protes itu sendiri. Demonstran yang terpapar bisa dipersepsikan bukan lagi pejuang, tapi seolah “manusia kalah oleh bau.”

Jika dilihat secara jernih, maka perang aroma ini adalah bentuk represi yang menyalurkan kekuasaan bukan lewat senjata api, melainkan melalui psikologi paling dasar: rasa takut pada busuknya kehidupan. Satirnya, negara yang seharusnya memberi “ruang wangi” pada kebebasan justru lebih percaya pada bau tinja sebagai alat kontrol.

Demokrasi yang harum bau busuk

Warga yang melemparkan poopootov ke arah pengamanan. Foto: ABC News

Pada akhirnya, duel antara gas air mata dan gas air tinja bukan lagi soal siapa yang lebih efektif membubarkan massa, melainkan siapa yang paling piawai mempermalukan akal sehat manusia.

Gas air mata menorehkan air di wajah rakyat, gas air tinja menorehkan busuk di martabatnya. Dua-duanya bekerja dengan cara yang sama: memaksa diam lewat penderitaan, membuat rakyat lupa bahwa inti demokrasi adalah suara bukan aroma.

Ironinya, ketika sejarah kelak mencatat perlawanan rakyat, barangkali bukan lagi tentang gagahnya massa menghadapi aparat, tapi tentang siapa yang lebih tahan bau. Maka, demokrasi di negeri modern bisa saja diringkas dengan sederhana: hak bersuara bisa dibungkam, tapi hidung tidak pernah bisa berbohong.

Dan di situlah tragedinya, negara yang mestinya harum oleh janji keadilan, malah memilih beraroma busuk dari strategi represi paling absurd: perang aroma di jalanan.

Yogi Pranditia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top