
JAKARTA – Dunia seperti sedang kehilangan tombol pause. Berita tentang kerusuhan, penembakan, atau unjuk rasa bermunculan seolah tak ada jeda. Nepal terbakar karena larangan media sosial, Amerika Serikat heboh karena penembakan tokoh politik yang sedang berorasi, lalu kita ingat kembali Indonesia yang beberapa waktu lalu juga dipenuhi amarah rakyat di jalanan.
Kekacauan sudah seperti jadi paket all you can eat yang disajikan setiap hari, hanya saja porsinya terlalu berlebihan untuk kita telan.
Fenomena ini bukan sekadar rentetan insiden lokal, melainkan potret kegelisahan global. Dari Amerika Serikat, Jakarta sampai Kathmandu, bahkan dari kampus hingga menembus gedung parlemen, manusia tampaknya terus mencari alasan untuk marah.
Apakah karena ketidakadilan yang makin terasa? Atau karena dunia digital membuat setiap percikan api segera jadi ledakan besar? Yang jelas dunia kini terasa bising.
Bukannya kita mendengarkan kabar dunia layaknya simfoni harmoni yang menenangkan, justru belakangan ini lebih seperti orkestra kerusuhan yang dimainkan serentak di panggung internasional.
Ketika akses dunia maya diputus, jalanan jadi medan perang
Mari kita mulai dari peristiwa yang terjadi di Nepal. Pemerintah Nepal mungkin mengira mematikan tombol media sosial hanyalah urusan teknis belaka, semacam cabut kabel internet rumah.
Namun bagi jutaan orang muda yang hidup, bekerja, dan bernapas di ruang digital, keputusan itu setara dengan menutup mulut seluruh generasi.
Reuters mencatat bahwa sekitar 90% dari 30 juta penduduk Nepal menggunakan internet dan larangan massal terhadap platform daring itu memicu kemarahan di kalangan anak muda. Menyulut api protes yang tidak bisa lagi dipadamkan dengan alasan birokrasi.
Dari sini, panggung berubah drastis, bukan lagi dunia maya yang jadi arena, melainkan jalanan Kathmandu dan kota-kota lain. Ribuan anak muda turun ke jalan, menyalakan ban, merangsek ke kompleks parlemen, hingga merusak ambulans.
Aparat merespon dengan gas air mata, peluru karet, bahkan tembakan langsung. Respon yang diberikan pihak aparat itu mengakibatkan kerusuhan hingga menewaskan sekitar 30 nyawa (data terakhir saat artikel ini dirilis pada Jumat 12 September 2025) dan ratusan orang mengalami luka-luka. Nepal seakan membayar harga mahal hanya karena pemerintahnya tak tahan melihat warganya bersuara di ruang digital.
Kerusuhan di Nepal berubah drastis setelah demonstran tak puas hanya dengan berdemo di jalanan. Menurut laporan Al Jazeera, para pengunjuk rasa berhasil menembus kompleks parlemen Kathmandu, membakar gedung parlemen dan beberapa bangunan pemerintah penting seperti Singha Durbar, kantor perdana menteri dan beberapa menteri.
Rumah-rumah pejabat tinggi pun tidak luput. Kediaman resmi perdana menteri dan mantan perdana menteri, serta kediaman menteri-menteri tertentu menjadi sasaran kerusuhan. Dalam pusaran chaos, ambulans ikut dibakar dan kendaraan-kendaraan pemerintah dirusak parah serta dijadikan alat protes simbolik.
Banyak dari mereka di antaranya pelajar dan pemuda Gen Z yang jadi korban yang semula hanya berniat menyuarakan kemarahan mereka akan korupsi dan pembatasan kebebasan digital. Rumah pejabat dibakar tidak saja sebagai tindakan amarah, tapi sebagai pesan tegas bahwa rakyat merasa dikhianati.
Para elitnya dengan segala kenyamanan dan fasilitas terlalu jauh dari realitas penderitaan rakyat di tengah pengangguran dan kesulitan ekonomi. Demonstran meneriakkan bahwa larangan media sosial adalah pemicu, tetapi apa yang terjadi di lapangan adalah cerminan kemarahan yang sudah lama terpendam.
Peluru di negeri Paman Sam
Sementara Nepal terbakar oleh api demonstrasi, di belahan dunia lain, Amerika Serikat kembali dihantui oleh tragedi yang sudah terlalu sering terjadi, yaitu penembakan.
Kali ini targetnya adalah Charlie Kirk, seorang komentator politik konservatif yang kerap memicu kontroversi dengan retorikanya.
Baca Selengkapnya: Mengubah Timah Jadi Emas, Mimpi Alkemis yang Tak Pernah Jadi Nyata
Menurut laporan media setempat, Kirk menjadi korban dalam sebuah aksi penembakan di acara publik yang dihadirinya. Insiden penembakan Kirk seketika mengguncang media nasional dan membuka kembali perdebatan lama tentang kepemilikan senjata api di Amerika.
Ironisnya, perdebatan tentang kebebasan di Nepal dan perdebatan tentang kebebasan di Amerika punya satu benang merah, yaitu kebebasan yang diperebutkan selalu berdarah-darah.
Di Amerika, peluru dianggap bagian dari kebebasan individu. Di Nepal, akses internet dan media sosial jadi simbol kebebasan generasi muda. Namun di kedua tempat itu, yang jatuh justru nyawa warga sipil. Sementara, elite politik berdebat di kursi empuknya. Rakyat biasa yang harus mengorbankan darah, tubuh, bahkan hidup mereka demi kesejahteraan dan kebebasan bersuara.
Kekacauan ini menimbulkan pertanyaan yang getir. Apakah manusia memang tidak bisa hidup tanpa menumpahkan darah demi mempertahankan sesuatu yang mereka sebut kebebasan?
Negeri yang tak pernah lelah berdemo itu bernama Indonesia
Kalau Nepal terbakar karena harga kebutuhan pokok hingga kebebasan bersosial media dan Amerika meletus oleh suara peluru, Indonesia punya “keistimewaan” lain.
Demo seakan sudah jadi tradisi budaya. Entah itu mahasiswa, buruh, sopir angkot, sampai emak-emak komplek, semuanya punya kesempatan untuk turun ke jalan.
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang menolak berbagai kebijakan pemerintah. Ada yang menolak aturan kontroversial di DPR, ada juga yang terbakar amarah karena perkataan tak masuk akal dari orang yang katanya wakil rakyat, bahkan ada yang sekadar “ikut-ikutan” karena takut ketinggalan momentum.
Jalanan dipenuhi teriakan, spanduk sindiran, dan batu melayang yang lebih cepat sampai sasaran daripada janji kampanye.
Berbagai media melaporkan bagaimana massa memblokade jalan utama, merusak fasilitas umum, hingga bentrok dengan aparat. Beberapa aksi berujung ricuh, kaca-kaca gedung pecah, dan kantor pemerintahan jadi sasaran amarah. Dan seperti biasa, narasi klasik pun muncul: Aksi massa disusupi pihak ketiga.
Ah, kalimat sakti yang selalu hadir, meskipun rakyat sendiri tahu kadang amarah itu murni tanpa sponsor tersembunyi.
Demo di Indonesia memang punya wajah ganda. Di satu sisi, ia adalah hak demokrasi; di sisi lain, ia sering menjelma kekacauan. Jalanan yang mestinya jadi ruang publik berubah menjadi panggung politik, tempat rakyat menguji kesabaran pemerintah dan pemerintah menguji kesabaran rakyat.Ironisnya, meski ratusan kali ribut, siklusnya selalu sama: rakyat marah, pemerintah mengimbau, polisi berjaga, kericuhan pecah, lalu semua reda hingga menunggu “episode” berikutnya.
Saatnya belajar menjadi “manusia”
Seandainya dunia ini diibaratkan manusia, mungkin ia sudah lama kena insomnia parah. Bagaimana tidak? Belum sempat satu konflik padam, sudah ada konflik lain yang menyala. Nepal terbakar karena rakyat lapar, Amerika meletus karena senjata terlalu mudah dibeli, Indonesia gaduh karena kebijakan yang dianggap tak adil.
Semua ini membuat planet kita seolah seperti mesin karaoke: lagunya berganti-ganti, tapi nadanya tetap sama.
Kenapa dunia tidak bisa diam walau hanya sejenak? Jawabannya sederhana, yaitu kita terlalu pandai dan lihai menciptakan masalah. Manusia selalu punya bakat alami untuk meracik drama, entah lewat politik, agama, ekonomi, atau sekadar ego pribadi.
Jika tak ada isu besar, kita bisa menciptakan isu kecil lalu membesarkannya agar tetap punya bahan ribut. Tenang itu membosankan, ricuh terasa lebih seru. Begitulah kira-kira.
Media pun berperan layaknya tukang sound system di hajatan. Setiap keributan diperbesar volumenya, diberi sorotan lampu, lalu dijual sebagai tontonan. Dunia pun menonton, menilai, mengomentari, dan ikut terpancing. Dengan pola seperti ini, kedamaian hanyalah jeda iklan yang sebentar lagi pasti terpotong kembali oleh adegan baru.
Satir terbesarnya adalah kita semua mengaku ingin hidup damai, tapi dunia sepertinya tak pernah siap untuk benar-benar diam. Karena ketika hening tercipta, justru ada rasa gelisah seolah kita kehilangan “suara latar” yang selama ini membuat hidup terasa penuh warna.
Mari kita berhenti berpura-pura bahwa tidak ada satu pun peradaban yang pernah lahir dari puing-puing hasil penjarahan. Membakar rumah pejabat, merobohkan gedung, atau menjarah toko-toko, hanya menghasilkan satu hal yaitu kekosongan. Kekosongan perut rakyat yang semakin lapar, kekosongan hati keluarga yang kehilangan, dan kekosongan moral manusia yang makin terjerumus.
Kekerasan itu selalu tampak heroik di awal, tetapi ia hanya menyisakan trauma di akhir. Tak ada revolusi sejati yang berangkat dari tangan yang merampas, hanya ada lingkaran dendam yang terus berputar.
Jika kita ingin dunia ini tenang walau hanya sejenak, caranya bukan dengan mengangkat batu, bensin atau senjata, melainkan dengan akal sehat, dialog, dan keberanian untuk menolak logika kerumunan yang buta.
Amarah boleh menyala, tetapi jangan biarkan ia menjelma jadi api yang membakar rumah kita sendiri. Karena dunia sudah terlalu bising dan kita tidak perlu menambah kebisingan dengan jeritan baru.
“Kerusuhan mungkin bisa mengguncang kekuasaan, tapi hanya kedamaian yang bisa membangun masa depan.”
Yogi Pranditia
Pingback: Tragedi di Atas Piring, Berapa Nyawa yang Mati Demi Satu Sajian? – Rasinesia