
JAKARTA – Ketika konser band dengan irama yang “nendang” sedang memainkan lagunya di atas panggung, seringkali para fans membuat suatu lingkaran di depan panggung.
Bukan tanpa alasan para fans melakukan itu. Di dalam lingkaran, ada yang mengayunkan badan sampai lebam, menari tak terkendali, hingga kaki mosher sampai di jidat yang lain.
Hal-hal demikian lumrah di dalam sebuah konser musik yang memacu adrenalin. Pilihan untuk ingin ikut serta berada di lingkaran kadang jadi bagian dari “ritual” untuk meluapkan segala bentuk ekspresi. Di negara demokrasi, setiap orang tentu memiliki kebebasan dalam mengekspresikan diri, bukan?
Pemandangan bibir robek terkena sikut, kening bocor terkena sepatu pantofel, sampai ada yang dibopong karena pingsan adalah pemandangan yang biasa setelah giggs berakhir.
Kultur keos dalam giggs ini secara tidak langsung membelah beberapa kubu yang ada di depan panggung.
Mereka yang ingin menciptakan “tato” berbentuk lebam dan memar di badan, maju ke depan. Bagi yang ingin menyanyi sambil berteriak riang, mundur ke belakang. Inilah pilihan yang dimaksud sebelumnya: ingin ikut serta berada di lingkaran atau menikmati saja dari luar lingkaran.
Dan tak bisa dipungkiri, yang lebih sering terlibat dalam “kekacauan” ini adalah laki-laki. Walaupun para perempuan dapat ikut serta dalam lingkaran, tetapi hal ini dapat menimbulkan luka serius dari mosher yang membabi-buta tidak pandang bulu.
Situasi seperti ini sering terjadi pada tiap giggs, tetapi Grrrl Gang, grup band asal Yogyakarta, memberikan tampilan penonton yang berbeda dalam pertunjukannya, khususnya pengalaman menonton konser bagi perempuan.
Ruang Aman Perempuan di Konser Musik
Grrrl Gang yang mengusung genre indie pop hadir dengan menciptakan ruang aman bagi perempuan yang ingin mengekspresikan diri. Band asal Yogyakarta ini seakan punya kultur yang teratur untuk hak tiap gender agar tidak saling terbentur.
Dalam konsernya, kamu akan melihat pemandangan begini: di depan panggung, diameter ruang lingkaran terbentuk. Perempuan dipersilakan masuk untuk menari riang. Saling bergandeng tangan, berputar, dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya di antara kaum hawa.
Para Grrrls yang merasa harinya monoton, moshing seolah juga menjadi jeda di tengah hiruk pikuk dunia yang membosankan.
Barangkali, karena terlalu sibuk di depan meja kerja, menghubungi klien 24/7, dimarahi atasan setiap kali presentasi lalu revisi, vendor yang tidak bisa diajak kompromi, menghadapi pacar yang cemburuan, dan kesialan lain yang ditabung berlarut-larut pecah melimpah di depan panggung pertunjukan.
Pada situasi ini, audience laki-laki yang berada di depan panggung biasanya akan menarik diri, lalu membuat barikade—membiarkan para Grrrls menjadi diri sendiri, memahami bahwa dunia ini bukan hanya milik laki-laki.
Berdasarkan itu, seorang perempuan asal Jakarta berinisial G (24 tahun) bercerita tentang pengalamannya ikut moshing dengan rasa aman dan tanpa takut terluka kepada pihak Rasinesia.
Saat ditanya tentang alasan mengapa ingin ikut terlibat, G mengungkapkan bahwa awalnya ia hanya ingin mencoba-coba.
“Karena mau coba moshing di pit tanpa takut ancaman kekerasan seksual,” ungkap G kepada pihak Rasinesia, Senin, (11/8/2025).
Momen moshing bisa jadi celah hadirnya pelecehan hingga kekerasan seksual kepada perempuan yang ikut. Hal inilah yang tentu menjadi salah satu alasan Grrrl Gang memberikan ruang aman bagi penonton perempuan untuk menikmati musiknya.
G menambahkan, tujuannya ikut terlibat juga sama dengan alasan perempuan pada umumnya: mengekspresikan diri.
“Yap, benar. Untuk mengekspresikan diri saat mendengarkan lagu. Pertama kali moshpit waktu Grrrl Gang main di Krapela,” ucapnya.
G pun mengatakan bahwa ia cuma moshpit di grrrl pit, tak pernah bercampur dengan laki-laki. Karena hanya di lingkaran yang berisikan perempuan-perempuan itulah ia merasa aman dan nyaman dalam menikmati konser.
Ketika ditanya tentang apakah ia takut terluka jika terjadi hal yang tak diinginkan, G mengungkapkan jawaban yang bertanggung jawab, setidaknya pada dirinya sendiri.
“Kalau bicara takut terluka atau tidak, sebenarnya tidak takut karena konsekuensi dari moshing kan cedera,” ungkapnya sembari tertawa saat diwawancara pihak Rasinesia.
Sedikit kisah yang dibagikan G tentu perlu menjadi sorotan serta refleksi bagi semua penonton konser dan pihak penyelenggara konser, bahwa perempuan juga semestinya mendapatkan rasa aman dalam mengekspresikan diri, sama halnya dengan yang didapatkan dan dilakukan laki-laki saat menikmati konser.
Pada ruang-ruang aman yang tercipta itu, semuanya akan menikmati musik dengan caranya: bergoyang hingga berdansa. Tidak ada deadline, tidak ada revisi dari atasan, tidak ada keresahan akan token listrik yang berbunyi.
Semua masalah dilupakan, berdansa riang—mengikuti derap irama yang makin detik makin menyulut adrenalin untuk menghempaskan diri. Seolah setiap gerakan yang dilepaskan adalah mata pedang yang membelah hari-hari penuh masalah.
Rega Maulana