Haast’s Eagle: Kepunahan dalam Senyap Elang Raksasa Selandia Baru

Ilustrasi haast eagle memburu moa. Foto: Reddit/John Meghan

 

JAKARTA – Ratusan tahun lalu sebelum manusia muncul di Selandia Baru, langit di atas hutan dan lembah tersebut dikuasai oleh satu makhluk yang sayapnya dapat membentang hingga tiga meter yang dilengkapi dengan cakar seukuran tangan manusia dewasa. Namanya Haast’s Eagle, elang terbesar yang pernah hidup di muka bumi.

Haast’s Eagle hidup di Pulau Selatan Selandia Baru. Habitatnya berupa hutan lebat dan lembah curam yang sepi dari hewan besar. Di sanalah ia berburu mangsa utamanya: burung Moa, hewan besar yang tak bisa terbang. Spesies ini sangat mirip dengan burung unta tetapi berukuran dua kali lipat lebih besar.

Baca Selengkapnya: Moa, Unggas Raksasa dari Belahan Bumi Bagian Selatan

Namun, di balik dominasi dan keperkasaannya, nasib Haast’s Eagle ternyata sangat bergantung pada satu hal, yaitu keberadaan burung Moa.

Datangnya manusia dan awal kejatuhan

Sekitar abad ke-13, manusia pertama dari bangsa Maori datang ke Selandia Baru. Mereka menemukan pulau yang tenang, penuh hutan, dan berisi hewan-hewan besar yang tidak takut pada manusia. Moa pun jadi target empuk untuk dijadikan makanan dan bahan pakaian.

Dalam waktu kurang dari tiga abad, Moa akhirnya punah karena diburu secara berlebihan. Ekosistem di Selandia Baru ikut terguncang.

Dengan menipisnya populasi Moa, Haast’s Eagle ikut kehilangan sumber makanannya sehingga elang raksasa ini ikut menyusul Moa menuju jurang kepunahan.

Domino effect tersebut pada akhirnya menyebabkan Haast’s Eagle ikut punah sekitar abad ke-15. Tidak ada catatan tentang kematiannya, tidak ada saksi yang tahu kapan individu terakhirnya berhenti terbang. Yang tersisa hanyalah tulang-belulang di gua dan rawa, serta kisah yang direkonstruksi oleh para ilmuwan berabad-abad setelahnya.

Mereka menemukan bahwa elang ini bukan hanya predator, tapi juga simbol keseimbangan alam. Begitu rantai makanan terganggu, segalanya dapat berakibat pada runtuhnya rantai makanan tersebut. Manusia mungkin tak pernah berniat memusnahkan Haast’s Eagle, tapi kehadirannya sudah cukup untuk mengubah seluruh ekosistem Selandia Baru yang telah bertahan selama berabad-abad sebelumnya.

Langit Selandia Baru masih sama birunya seperti dulu. Tapi di sana tak ada lagi bayangan besar yang melintas di atas pepohonan, tak ada lagi sayap raksasa yang menebar ketakutan di antara pepohonan dan menutupi langit.

Haast’s Eagle menjadi pengingat bahwa kehancuran tidak selalu datang dengan suara ledakan atau bencana besar. Ia datang perlahan, diam-diam, lewat langkah manusia yang selalu ingin berkuasa lagi menguasai.

Rega Maulana

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top