Hopeless Romantic: Percaya Cinta Sejati atau Cuma Bikin Sakit Hati?

Ilustrasi hopeless romantic. Foto: Natasha Adamo

 

JAKARTA Hopeless romantic adalah frasa yang menggambarkan seseorang yang memandang cinta dengan penuh gairah, tetapi sering disia-siakan dan cenderung tidak realistis. Mereka percaya bahwa cinta sejati benar-benar ada dan layak diperjuangkan.

Dikutip dari dictionary.com, frasa hopeless romantic pertama kali muncul pada tahun 1926 dalam kumpulan cerpen Georgian Stories. Dalam cerita itu, tokoh bernama George digambarkan sebagai seorang hopeless romantic yang sedang jatuh cinta, meski orang lain menilai hubungannya justru merugikan dirinya.

Istilah hopeless romantic mulai populer sejak 1920–1930-an dalam literatur dan majalah. Hingga kini, frasa ini terus bertahan dalam budaya populer, bahkan menginspirasi musisi seperti Bouncing Souls dengan album Hopeless Romantic (1999), Meghan Trainor lewat lagu berjudul sama (2016), hingga Rihanna yang menyelipkan istilah ini dalam lagunya Drunk on Love (2011).

Lalu, bagaimana kita tahu apakah diri kita termasuk hopeless romantic?

Ciri-ciri hopeless romantic

Dikutip dari verywellmind, berikut beberapa ciri yang menandakan kalau kamu termasuk hopeless romantic sejati.

Cepat terbawa perasaan

Salah satu ciri hopeless romantic adalah mudah terbawa perasaan atau dalam bahasa gaul baperan. Baru kenal sebentar, tapi sudah merasa dekat seolah-olah hubungan itu sangat berarti.

Baru bertemu sekali, bahkan belum saling mengenal satu sama lain, sudah membayangkan hidup bersama seperti di film romantis dan cerita dongeng.

Pikiranmu akan dipenuhi olehnya dan rasanya seperti naik roller coaster: sekali dibalss chat bisa senyum seharian, tapi kalau tidak dibalas mood langsung anjlok. Perasaan yang terlalu intens ini sering bikin hubungan jadi kelihatan serius padahal baru sebentar jalan.

Sering mengidealkan pasangan

Bagi kamu, setiap pasangan terasa seperti “the one.” Kamu cenderung menutup mata terhadap kekurangan pasanganmu. Hal-hal kecil yang sebenarnya bisa jadi red flag malah dianggap sepele, karena fokus hanya pada sisi positif.

Misalnya, pasangammu tiba-tiba tidak memberi kabar dalam seminggu, kamu akan menganggap pasanganmu itu sibuk. Nah, idealisasi berlebihan seperti ini bisa membuatmu sulit melihat realita dan akhirnya lebih mudah terluka ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi.

Memberi lebih banyak dalam hubungan

Bagi hopeless romantic, cinta itu tentang memberi segalanya tanpa banyak perhitungan. Kamu bisa dengan mudah memberikan waktu, tenaga, perhatian, bahkan uang, hanya untuk membuat pasangan bahagia.

Tapi sayangnya, kadang apa yang diberi lebih banyak daripada yang diterima. Inilah risiko menjadi seorang hopeless romantic, memberikan cinta yang terlalu besar. Pada akhirnya, kamu hanya akan cinta sendirian.

Dua Sisi Hopeless Romantic

Menjadi seorang hopeless romantic memiliki dua sisi. Bisa menjadi hal baik, tetapi juga bisa merusak mental.

Di sisi positif, sikap ini menunjukkan keberanian buat membuka diri pada cinta. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Romanoff melalui verywellmind, meskipun pernah patah hati dan terluka, para romantis yang putus asa melihat kebaikan dalam diri orang lain dan percaya pada potensi mereka.

Namun di sisi lain, ekspektasi yang terlalu tinggi seperti dalam dongeng justru dapat membahayakan diri sendiri. Karena nyatanya, hubungan tidak selalu sempurna, dan kalau terus-terusan mengidealkan pasangan, kamu bisa kehilangan kemampuan untuk melihat kenyataan yang ada.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekspektasi cinta yang tidak realistis bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan membuat seseorang merasa kurang puas dalam hubungan.

Akibatnya, muncul berbagai pertanyaan dalam diri, seperti “Aku kurang apa, ya?”, “Apakah aku kurang perhatian?”, atau “ Penampilanku kurang menarik.” Pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat mental semakin terbebani.

Karena itu, penting bagi seorang hopeless romantic untuk menyeimbangkan perasaan dengan logika dan tidak terlalu terobsesi dengan semua hal romantis.

Percaya pada cinta sejati bukanlah hal yang salah, tetapi mengidealkan hubungan secara berlebihan justru bisa membuat kita terjebak dalam kekecewaan.

Adela Damanik

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top