Kalau Aku Jatuh Kamu Harus Ikut, Mengenal Fenomena Crab Mentality

Ilustrasi crap mentality. Foto: Pngtree

JAKARTA Bayangkan sekelompok kepiting yang ditempatkan dalam satu ember. Ketika satu kepiting mencoba memanjat keluar untuk menyelamatkan diri, kepiting yang lain justru menariknya kembali ke bawah. Alih-alih bekerja sama agar keluar bersama-sama, mereka memastikan tidak ada satupun yang bisa lolos.

Fenomena ini tidak berhenti di laut atau dapur restoran saja, tapi justru tumbuh subur dalam kehidupan manusia modern. Seseorang yang lebih rela semua gagal daripada melihat satu orang berhasil itu disebut dengan crab mentality atau mentalitas kepiting.

Iri hati, cemburu sosial, dan keengganan melihat orang lain sukses membuat pola pikir ini begitu akrab di masyarakat. Tidak heran, banyak pengamat menyebutnya sebagai racun sosial yang menghambat perkembangan individu maupun kolektif.

Fenomena saling menjatuhkan ini dapat muncul dalam lingkungan kerja, keluarga, bahkan di media sosial, di mana kesuksesan seseorang kerap dipersepsikan sebagai ancaman bukan inspirasi.

Secara sederhana, hidup di dalam “ember sosial” membuat kita lupa bahwa dunia luas masih ada di luar sana. Kita terlalu sibuk menarik orang lain jatuh, padahal peluang untuk naik bersama-sama sebenarnya terbuka lebar.

Asal-usul crab mentality

Kisah tentang kepiting dalam ember pertama kali populer sebagai metafora, terutama di masyarakat Filipina untuk menjelaskan bagaimana orang-orang saling menjatuhkan ketika salah satu mencoba berhasil.

Meski terlihat sederhana, cerita ini menyimpan pelajaran psikologis yang dalam. Di dapur, kepiting memang tak pernah bisa keluar karena terus menarik sesamanya ke bawah. Di dunia manusia, perilaku serupa muncul lewat gosip, sabotase, atau bahkan sekadar komentar pedas yang meruntuhkan semangat.

Psikolog menyebut pola pikir ini terkait erat dengan rasa iri, kompetisi sosial, dan mentalitas kelangkaan perasaan bahwa keberhasilan orang lain otomatis mengurangi peluang kita.

Fenomena ini mencerminkan kecenderungan manusia untuk memandang kesuksesan sebagai permainan zero-sum, di mana kemenangan orang lain berarti kekalahan diri sendiri. Inilah akar mengapa crab mentality bisa begitu sulit diberantas, karena ia berakar pada insting kompetitif yang sudah lama tertanam dalam perilaku sosial manusia.

Dengan kata lain, crab mentality tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah produk budaya, sosial, dan psikologis yang bercampur, lalu tumbuh subur di lingkungan di mana solidaritas kalah oleh rasa takut kalah bersaing.

Media sosial “ember” modern manusia

Jika dulu crab mentality hanya tampak di lingkungan kerja, keluarga, atau komunitas kecil, kini media sosial menjadikannya panggung global. Setiap unggahan tentang kesuksesan, entah itu promosi kerja, liburan ke luar negeri, atau sekadar membeli gadget baru, dapat memicu reaksi kepiting dari orang lain.

Alih-alih memberi selamat, banyak yang sibuk menuliskan komentar sinis atau menyebarkan gosip untuk menurunkan citra seseorang yang berhasil tersebut.

Baca Selengkapnya: Satir Atas Keyakinan Modern Ketika Zodiak Lebih Dipercaya Daripada Sains

Studi dari Journal of Undergraduate Neuroscience Education melaporkan bahwa media sosial memperkuat perbandingan sosial. Pengguna media sosial yang sering membandingkan diri dengan orang lain, khususnya di bidang karier, perjalanan, gaya hidup, atau penampilan, kerap merasakan penurunan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri.

Tampak jelas bahwa “ember” sosial kita bukan terbuat dari timah, melainkan dari piksel layar yang menampilkan highlight reel kehidupan orang lain.

Media sosial seharusnya bisa menjadi tempat berbagi inspirasi, tapi sering berubah menjadi arena saling tarik-menarik, di mana satu orang naik hanya untuk ditarik jatuh kembali oleh ratusan tangan virtual.

Politik dan Budaya Crab Mentality

Crab mentality bukan hanya fenomena personal atau digital. Ia juga merasuki politik dan budaya. Dalam dunia politik, sering kali terlihat bagaimana kelompok yang kalah bukan hanya menerima kekalahan, tetapi berusaha menyeret lawannya jatuh bersama.

Alih-alih fokus membangun kebijakan konstruktif, energi dihabiskan untuk menjegal, menyabot, atau bahkan menciptakan narasi negatif agar tidak ada yang tampak unggul.

Dalam sebuah artikel di The Conversation menyoroti bagaimana crab mentality menjadi bagian dari budaya politik di beberapa negara, terutama dalam bentuk politics of envy, di mana keberhasilan satu pihak dipersepsikan sebagai ancaman kolektif, bukan peluang perbaikan.

Pola pikir ini bukan hanya soal individu, melainkan tentang bagaimana masyarakat menciptakan norma untuk memastikan tidak ada yang terlalu menonjol.

Dalam budaya yang sarat dengan persaingan dan ego, mental kepiting bisa berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial dengan cara yang ironis. Mereka yang berani berbeda dan mencoba melompat keluar dari “ember” budaya akan segera ditarik ke bawah oleh kelompok yang lebih besar.

Bagaimana keluar dari “ember”?

Pertanyaan terbesar dari metafora kepiting ini adalah bisakah kita keluar dari ember tanpa menarik orang lain ke bawah? Jawabannya tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil.

Mengubah pola pikir dari zero-sum menuju growth mindset menjadi langkah awal yang penting. Kesuksesan orang lain tidak mengurangi peluang kita, justru bisa membuka jalan baru.

Menurut artikel PsychCentral, salah satu cara paling efektif untuk melawan crab mentality adalah dengan berlatih merayakan pencapaian orang lain. Seperti ditulis oleh psikolog klinis Seth Gillihan bahwa ketika kita belajar mengapresiasi keberhasilan orang lain, kita sebenarnya memperkuat rasa percaya diri kita sendiri.

Dengan kata lain, keluar dari “ember” bukan berarti meninggalkan orang lain di bawah, tetapi membuka jalan agar semua bisa naik bersama.

Kuncinya ada pada perubahan perspektif. Jika “ember” sosial kita selalu menarik ke bawah, maka kita perlu menciptakan “tangga” baru berupa empati, kolaborasi, dan apresiasi.

Dunia tidak harus menjadi perangkap penuh iri hati, ia bisa menjadi ruang bersama di mana keberhasilan individu justru menjadi inspirasi kolektif.

Yogi Pranditia

1 komentar untuk “Kalau Aku Jatuh Kamu Harus Ikut, Mengenal Fenomena Crab Mentality”

  1. Pingback: Spektrum Terlarang dan Alasan Mengapa Ada Warna-Warna yang Tak Pernah Bisa Dijamah Manusia – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top