
JAKARTA – Setiap kali ada lukisan klasik dengan bentuk aneh, entah di langitnya ada bulatan bercahaya, awan yang terlihat ganjil, hingga titik misterius, pasti ada saja yang langsung beranggapan bahwa itu UFO.
Terlebih lagi, internet dipenuhi artikel konspirasi yang meyakini bahwa pelukis abad pertengahan atau Renaissance sebenarnya sedang “merekam” kunjungan makhluk luar angkasa.
Padahal, tafsir semacam itu sering kali lebih mencerminkan obsesi modern pada alien ketimbang maksud asli sang seniman.
Dari kanvas ke teori konspirasi
Dalam kajian seni, simbol berbentuk bulat atau bercahaya di langit biasanya melambangkan hal-hal religius, seperti kehadiran ilahi atau manifestasi cahaya surgawi.
Kemp tahun 1990 dalam The Science of Art: Optical Themes in Western Painting menjelaskan bahwa banyak motif visual yang hari ini dipandang sebagai objek misterius, sebenarnya adalah representasi religius atau simbolis yang lazim dalam konteks sejarahnya.
Dengan kata lain, apa yang hari ini kita tafsirkan sebagai “piring terbang” sebenarnya tidak lebih dari metafora religius, lambang matahari, atau sekadar bagian dari gaya artistik zamannya.
UFO di lukisan klasik adalah cermin dari cara pandang modern, bukan pesan rahasia dari masa lalu.
Lukisan yang sering disalahartikan sebagai bukti UFO

Salah satu contoh paling sering dibicarakan adalah lukisan The Madonna with Saint Giovannino dari abad ke-15. Di bagian langit, ada sebuah objek bulat bercahaya yang sering dituding sebagai UFO.
Padahal, jika diteliti dalam konteks seni Kristen, objek itu hanyalah representasi cahaya ilahi atau fenomena kosmik yang biasa digunakan seniman Renaissance untuk melambangkan kehadiran Tuhan.
Begitu pula dengan The Baptism of Christ karya Aert de Gelder tahun 1710 yang memperlihatkan cahaya bulat memancar ke arah Yesus. Banyak situs konspirasi modern mengklaim itu adalah “pesawat luar angkasa kuno” yang sedang memancarkan sorot lampu.
Namun, penafsiran ini tidak berdasar. Cahaya tersebut hanyalah simbol gloria atau kemuliaan surgawi, bentuk artistik yang lazim dipakai pada era itu.
Sejarawan seni David M. Jacobs dalam kajian tahun 1992 menegaskan, bahwa interpretasi modern tentang UFO dalam karya seni klasik adalah bentuk anachronism, yaitu memaksakan konsep masa kini ke dalam karya masa lalu.
Ia menulis bahwa benda yang dianggap piring terbang sesungguhnya hanyalah ikonografi religius yang dimaknai keliru oleh generasi modern yang terobsesi pada alien.
Artinya, tuduhan adanya UFO dalam seni klasik lebih banyak lahir dari imajinasi kita hari ini, bukan dari niat seniman yang menciptakan karyanya.
Mengapa imajinasi UFO mudah tumbuh di zaman modern?
Munculnya tafsir UFO dalam seni klasik sebenarnya lebih banyak berkaitan dengan budaya populer abad ke-20 daripada niat asli para pelukis.
Setelah laporan “piring terbang” pertama kali populer di Amerika pada tahun 1947, masyarakat dunia menjadi haus akan segala bentuk tanda yang bisa dikaitkan dengan alien. Tak heran, jika simbol-simbol lama dalam lukisan tiba-tiba ditafsir ulang sebagai bukti kunjungan makhluk luar angkasa.
Psikolog budaya Susan Blackmore tahun 1994 dalam kajiannya Alien Abduction: A Medical Hypothesis menyebut bahwa keyakinan pada UFO dan alien lebih sering berakar pada sugesti, ilusi memori, dan pengaruh media daripada bukti nyata.
Tafsir UFO dalam seni klasik adalah cerminan cara berpikir masyarakat modern yang sudah dipengaruhi film, televisi, dan literatur sains fiksi.
Baca Selengkapnya: Misteri yang Diciptakan: Crop Circle dan Fantasi Kolektif Kita
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana otak manusia cenderung mencari pola. Sebuah lingkaran cahaya di lukisan Renaissance yang dulunya dimaknai sebagai fenomena “halo” kini berubah menjadi “piring terbang”, hanya karena kita sudah terbiasa membayangkan objek asing di langit.
Imajinasi itu lalu dipelihara oleh internet, yang menyebarkan teori konspirasi jauh lebih cepat daripada klarifikasi sejarah.
Seni, simbol, dan kesalahpahaman kolektif
Seni klasik sarat dengan simbolisme dan setiap detail biasanya menyampaikan makna religius atau filosofis. Lingkaran bercahaya di langit sering diartikan sebagai matahari, bulan, atau wujud kemuliaan ilahi.
Namun, ketika simbol-simbol ini dilihat oleh generasi modern yang sudah akrab dengan “piring terbang”, maknanya bergeser total.
Ahli ikonografi Erwin Panofsky tahun 1955 dalam Meaning in the Visual Arts menekankan bahwa karya seni tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya.
Ia menulis bahwa tanpa memahami latar budaya dan teologi, simbol-simbol dalam seni bisa dipelintir menjadi tafsir yang sama sekali asing dari maksud senimannya. Inilah yang sering terjadi ketika orang menuding adanya UFO di lukisan klasik.
Kesalahpahaman kolektif ini diperparah oleh romantisasi teori konspirasi. Masyarakat lebih mudah percaya pada narasi misterius bahwa para pelukis menyimpan rahasia alien daripada menerima penjelasan historis yang rasional.
Dengan demikian, mitos UFO dalam seni klasik bukanlah bukti kunjungan makhluk luar angkasa, melainkan bukti betapa kuatnya imajinasi manusia ketika menafsirkan sesuatu di luar konteksnya.
UFO di lukisan, mitos modern di atas kanvas lama
Penampakan UFO dalam karya seni klasik pada akhirnya lebih banyak hidup sebagai mitos modern ketimbang fakta sejarah. Apa yang sering dilihat sebagai “piring terbang” sejatinya adalah simbol religius, fenomena astronomi, atau elemen artistik yang lazim pada zamannya.
Namun, kebutuhan manusia untuk mencari misteri membuat tafsir ini bergeser. Seperti yang diungkapkan Blackmore tahun 1994, keyakinan terhadap alien dan UFO sering kali lebih dekat dengan imajinasi kolektif ketimbang realitas empiris.
Dengan demikian, tudingan bahwa seniman abad pertengahan atau Renaissance telah “menyaksikan alien” hanyalah hasil dari proyeksi pikiran modern yang terobsesi dengan luar angkasa.
Seni klasik seharusnya dibaca sebagai produk budaya yang sarat simbol, bukan sebagai catatan rahasia kunjungan makhluk asing.
Mitos UFO di atas kanvas lama adalah cermin betapa kita lebih suka fantasi daripada fakta. Hal demikian itu pada akhirnya lebih banyak berbicara tentang kita, si manusia modern daripada para seniman masa lalu itu sendiri.
Yogi Pranditia
Pingback: Mengubah Timah Jadi Emas, Mimpi Alkemis yang Tak Pernah Jadi Nyata – Rasinesia