
JAKARTA – Di ujung belahan dunia paling selatan, jauh sebelum manusia menjejakkan kaki di sana, pernah hidup burung raksasa yang dikenal sebagai moa. Unggas tanpa sayap ini merupakan salah satu ikon paling misterius dari Selandia Baru.
Para ilmuwan meyakini moa masih berkerabat dengan burung unta di Afrika, emu di Australia, serta burung rhea di Amerika Selatan (Holdaway & Jacomb, Science, 2000).
Baca Selengkapnya: Emu War, Kekalahan Tentara Australia Menghadapi Kawanan Unggas
Namun, berbeda dengan kerabatnya, moa benar-benar tidak memiliki sayap sama sekali, bahkan tulang sayap yang kecil pun tidak tersisa. Inilah yang menjadikan moa unik dalam catatan evolusi burung.
Fosil-fosil moa yang ditemukan memperlihatkan betapa luar biasanya ukuran hewan ini. Beberapa spesiesnya, seperti Dinornis robustus, dapat tumbuh hingga 3,6 meter jika berdiri tegak dengan berat mencapai 250 kilogram.
Pada 2021 dalam catatan New Zealand Department of Conservation, ukuran ini membuat moa termasuk dalam jajaran burung terbesar yang pernah hidup di bumi. Namun, ada juga spesies moa yang lebih kecil seukuran kalkun, sehingga secara keseluruhan terdapat sekitar sembilan spesies moa yang pernah mendiami hutan, padang rumput, dan pegunungan di Selandia Baru.
Kakinya kuat dan panjang, memungkinkan mereka berlari cepat untuk melintasi hamparan atau padang terbuka. Namun, meski besar dan tangguh, moa sepenuhnya vegetarian. Dalam hasil riset Wood dan kawan-kawan pada tahun 2020 yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, analisis isi perut fosil yang terawetkan menunjukkan bahwa mereka memakan dedaunan, ranting, buah-buahan, dan biji-bijian.
Dengan tubuh yang masif, pergerakan mereka turut membentuk ekosistem. Moa berperan menyebarkan biji tanaman dan menjaga keseimbangan vegetasi di hutan-hutan Selandia Baru.
Hidup damai tanpa manusia
Keunikan ekologi Selandia Baru adalah tidak adanya mamalia predator besar sebelum kedatangan manusia. Predator utama moa hanyalah elang Haast (Hieraaetus moorei), burung pemangsa raksasa dengan bentang sayap mencapai tiga meter.
Elang ini cukup kuat untuk menerjang moa muda atau menyerang leher moa dewasa. Namun di luar itu kehidupan moa relatif aman. Moa tidak mengembangkan naluri untuk takut terhadap makhluk asing.
Tetapi, ketenteraman itu runtuh pada abad ke-13, saat suku Maori tiba dari Polinesia. Menurut penelitian arkeologi, para pendatang awal itu menemukan Selandia Baru sebagai tanah yang penuh sumber daya. Moa dengan tubuh besarnya dan ketidakmampuan untuk terbang menjadi sasaran empuk. Dalam kurun waktu hanya sekitar dua abad, seluruh populasi moa lenyap,
Perburuan yang menghabisi segalanya
Orang Maori memanfaatkan moa secara total. Dagingnya menjadi sumber makanan berlimpah, kulit dan bulunya digunakan sebagai pakaian dan hiasan, sedangkan tulangnya dijadikan alat dan senjata.
Banyak situs arkeologi di Selandia Baru menunjukkan tumpukan tulang moa yang hangus akibat dimasak, bukti betapa intensif perburuan ini dilakukan.
Masalahnya, reproduksi moa berlangsung lambat. Burung ini hanya bertelur sedikit dalam setahun dan ukuran telurnya yang sangat besar—ada yang sebesar bola voli—justru membuatnya rawan dijarah. Sekali siklus perkembangbiakan terganggu, populasinya menjadi sulit pulih.
Selain perburuan, pembukaan hutan untuk ladang juga merusak habitat alami mereka. Kombinasi dua faktor ini menciptakan “badai sempurna” yang mempercepat kehancuran. Pada sekitar tahun 1500-an, semua spesies moa sudah dinyatakan punah.
Kepunahan moa juga menyeret predator puncaknya, elang Haast, ke jurang kepunahan. Elang ini sangat bergantung pada tubuh besar moa sebagai sumber energi. Tanpa mangsa utama, populasi mereka menyusut drastis hingga akhirnya hilang dari muka bumi.
Kasus ini menjadi contoh klasik dalam ekologi tentang kepunahan berantai akibat hilangnya satu spesies kunci.
Kini, yang tersisa dari moa hanyalah tulang belulang yang tersimpan di museum dan situs arkeologi. Beberapa fosil bahkan ditemukan masih memiliki jaringan kulit, bulu, atau kotoran yang terawetkan di gua-gua kering. Dari situlah para ilmuwan bisa merekonstruksi gaya hidup moa.
Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi DNA purba membuka peluang baru. Pada 2014 dalam Nature Communications yang ditulis Cooper dkk, tim peneliti dari University of Adelaide berhasil mengekstrak DNA mitokondria dari fosil moa yang berusia lebih dari 600 tahun.
Hal ini memicu perdebatan. Mungkinkah moa suatu hari nanti dihidupkan kembali melalui teknologi de-extinction atau bioteknologi dan rekayasa genetika seperti kloning dan penyuntingan genom?
Meski menarik secara ilmiah, banyak ahli konservasi menekankan bahwa yang lebih penting adalah melindungi spesies yang masih hidup hari ini, seperti kiwi, kakapo, dan takahe, burung-burung khas Selandia Baru yang kini juga terancam punah.
Moa adalah pengingat bahwa kepunahan dapat terjadi lebih cepat dari yang dibayangkan. Dalam waktu kurang dari tiga generasi, sebuah spesies yang tampak abadi bisa hilang selamanya.
Bagi Selandia Baru, moa bukan sekadar kenangan purba, tetapi juga cermin dari tanggung jawab manusia terhadap keseimbangan alam.
Hari ini, jika kita melangkah ke museum-museum di Wellington, Auckland, atau Christchurch, kita bisa menatap kerangka menjulang dari moa.
Hanya tulang, tanpa daging, tanpa suara langkah di hutan. Seolah mereka berdiri diam, menjadi saksi bisu atas kesalahan manusia di masa lalu dan sekaligus peringatan bagi masa depan.
Rega Maulana