
JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Awan (Bassist dari band .Feast) berdiri di panggung, berapi-api menyampaikan kritik karena di bawah panggung aparat tampak memukuli crowd penonton di RI Fest yang digelar di JIExpo Kemayoran pada 15 Agustus lalu.
Unggahan video amatir dari penonton tentang peristiwa ini juga ramai dibicarakan di sosial media, seperti X, Instagram dan TikTok. Beragam reaksi mencuat di kolom komentar.
Sikap demikian tentu ironis sekali, mengingat musik rock lahir untuk melawan penindasan, tapi yang justru ditindas malah penonton yang mencoba moshing.
Barangkali negara, terkhususnya aparat, memang punya bakat alami dalam menafsirkan hal-hal yang di luar kapasitasnya dan menganggap buruk semua yang tak sesuai dengan pandangan mereka.
Moshing yang barangkali dalam pandangan mereka serupa “kegaduhan”, memang perlu harus ditertibkan. Jika benar demikian, tentu pandangan ini sudah salah tafsir. Moshing yang semestinya dibaca sebagai tarian kebebasan, justru diperlakukan seperti kerusuhan politik yang sering mereka tangani.
Padahal, moshing yang dilakukan oleh penonton di konser musik bukanlah sebuah penemuan baru atau aksi gagah-gagahan dan “sok asik” belaka.
Oleh sebab itu, mari kita melihat moshing dari berbagai perspektif yang bisa memberikan wawasan dan membuka pandangan akan keberagaman bentuk ekspresi manusia dalam menikmati musik.
Jika berkaca ke masa lalu, sejak tahun 80-an anak-anak hardcore di Washington DC sudah “bermain” saling tabrak di depan panggung Minor Threat atau Black Flag. Kemudian, di era grunge 90-an, Nirvana mengisi setengah energi panggungnya dengan chaos di pit.
Bahkan di Indonesia, cerita klasik konser underground di Surabaya atau Bandung di akhir 90-an selalu penuh benturan, tapi anehnya jarang sekali ada yang “rusuh” sungguhan—karena kode etik tak tertulisnya sederhana: kalau ada yang jatuh, angkat, jangan tendang! Entah kenapa hal sesederhana itu susah dipahami oleh pihak berseragam.
Jika kita melihat dari sudut pandang humanisme, mosh pit itu semacam pesta kemanusiaan: tubuh manusia yang sehari-hari dipaksa duduk manis di kantor, disuruh tunduk di sekolah, atau antre di bank, tiba-tiba bisa loncat, tabrak, dan teriak.
Anehnya, meski dari luar tampak brutal, justru ada solidaritas yang lahir: semua orang sama-sama keringatan, sama-sama biru lebam, sama-sama tertawa. Ironi paling manis adalah solidaritas sesungguhnya sering lahir dari kekacauan, bukan dari apel pagi bersama atasan.
Baca Selengkapnya: Teguran dari Awan .Feast Terhadap Arogansi Aparat Kepada Penonton di RI Fest
Nah, kalau menggunakan kacamata Marxisme, moshing itu obat sementara dari alienasi kapitalisme. Di dalam buku Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Karl Marx menuliskan bahwa manusia terasing dari kerja, dari sesama, bahkan dari dirinya sendiri. Di mosh pit semua itu runtuh: tubuh tidak lagi mesin produksi, tapi mesin tabrakan. Relasi sosial tidak lagi kompetitif, tapi kolaboratif—kamu jatuh, saya angkat, kita lanjut nabrak.
Hal yang paling menarik adalah orang-orang merasa kembali “menjadi dirinya” justru lewat rasa sakit, bukan lewat gaji bulanan. Jadi, jangan kaget kalau banyak pekerja kantoran yang pulang kerja, copot dasi, lalu masuk pit di konser metal. Itu merupakan bentuk “cuti spiritual” dari alienasi.
Lalu, bagaimana jika moshing dipandang dari kacamata postmodernisme? Moshing justru terlihat lebih “lucu” lagi. Semua benturan itu hanyalah simulasi kekerasan: mirip perang, tapi tidak ada musuh. Mirip chaos, tapi penuh aturan tak tertulis.
Ini semacam dekonstruksi besar-besaran terhadap ide “tarian indah”. Siapa yang butuh balet kalau bisa saling sikut?
Jadi, ketika aparat menganggap mosh pit adalah sebuah ancaman, sebenarnya mereka gagal paham: yang mereka lihat itu hanyalah parodi kekerasan, cosplay agresi.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat kenyataan sebenarnya dari moshing dan bagaimana doktrin negara terhadap perangkatnya dalam melihat kegiatan sekelompok masyarakat dalam menikmati konser. Mereka selalu melihat ekspresi kebebasan seperti sebuah kekacauan. Miris!
Kesimpulannya, moshing adalah salah satu penemuan budaya paling jenius abad 20. Dari luar tampak barbar, tapi sebenarnya lebih beradab daripada banyak institusi formal.
Ironi tragisnya: di tangan crowd, kekerasan bisa jadi solidaritas. Di tangan aparat, solidaritas seringkali berubah jadi kekerasan. 1312 Forever!
Rifki Hardian Pasi