Spektrum Terlarang dan Alasan Mengapa Ada Warna-Warna yang Tak Pernah Bisa Dijamah Manusia

ilustrasi spektrum warna. Foto: ThoughtCo.

JAKARTA Dunia yang kita lihat dipenuhi warna-warni indah, tapi apakah mata manusia benar-benar menangkap semuanya? Ternyata, ada spektrum warna yang tetap tersembunyi menunggu untuk dijelajahi oleh ilmu pengetahuan dan imajinasi.

Mata manusia mampu melihat cahaya dengan panjang gelombang sekitar 380 hingga 740 nanometer yang dikenal sebagai spektrum cahaya tampak.

Semua warna yang kita kenal seperti merah, kuning, hijau, biru, adalah hasil persepsi retina yang menangkap gelombang cahaya ini. Namun, spektrum cahaya jauh lebih luas daripada yang bisa ditangkap mata manusia.

Gelombang di luar batas ini seperti ultraviolet atau inframerah tetap tak terlihat, meski ada di sekitar kita setiap saat.

Menurut berbagai sumber, mata manusia hanya melihat sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik. Banyak panjang gelombang lain yang ada di sekitar kita termasuk ultraviolet dan inframerah, tidak bisa dijangkau oleh retina manusia.

Artinya, dunia yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan visual yang ada, seolah kita menonton film dengan beberapa adegan sengaja dihapus.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik. Jika manusia hanya bisa melihat sebagian spektrum, apakah warna yang kita nikmati sehari-hari benar-benar mencerminkan dunia yang sesungguhnya? Atau justru realitas warna lebih kaya, tetapi tersembunyi dari mata kita?

Dunia di luar jangkauan mata

Mata manusia hanya mampu melihat sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik, yaitu cahaya tampak dengan panjang gelombang sekitar 380 hingga 750 nanometer. Namun, di luar rentang ini terdapat spektrum lain yang tak terlihat oleh kita, seperti ultraviolet (UV) dan inframerah (IR).

Ultraviolet memiliki panjang gelombang lebih pendek dari cahaya ungu, sementara inframerah memiliki panjang gelombang lebih panjang dari cahaya merah. Meskipun kita tidak dapat melihatnya, kedua spektrum ini memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, sinar UV dapat menyebabkan kulit terbakar, sementara sinar IR digunakan dalam teknologi seperti remote control dan kamera termal.

Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan visual yang ada. Jika kita dapat melihat spektrum yang lebih luas, mungkin kita akan menyadari bahwa warna yang kita kenal sehari-hari hanyalah sebagian kecil dari warna yang sebenarnya ada di sekitar kita.

Warna yang hanya bisa dirasakan bukan dilihat

Ada fenomena menarik selain spektrum yang tak terlihat oleh mata manusia.  Beberapa organisme atau teknologi dapat “merasakan” warna yang kita tidak bisa lihat. Misalnya, lebah dapat melihat sinar ultraviolet yang membimbing mereka menemukan bunga dengan pola yang tak terlihat oleh manusia.

Burung juga memiliki kemampuan melihat spektrum yang lebih luas termasuk ultraviolet, sehingga dunia mereka tampak jauh lebih kaya warnanya dibanding dunia kita.

Di sisi teknologi, kamera multispektral atau sensor khusus dapat mendeteksi gelombang cahaya di luar spektrum tampak, seperti inframerah dan ultraviolet. Dengan perangkat ini, manusia bisa “merasakan” warna yang sebenarnya ada, tetapi tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Baca Selengkapnya: Kalau Aku Jatuh Kamu Harus Ikut, Mengenal Fenomena Crab Mentality

Fenomena ini mengajarkan kita bahwa persepsi warna manusia sangat terbatas. Dunia penuh dengan warna yang kita tidak pernah sadari, tetapi dapat dijelajahi melalui sains dan teknologi. Dengan kata lain, ada lapisan realitas visual yang tidak bisa kita rasakan secara alami namun hanya bisa dilihat melalui perangkat dan interpretasi ilmiah.

Warna yang kita lihat sebenarnya bukan hanya hasil dari cahaya yang masuk ke mata, tapi juga interpretasi otak terhadap sinyal yang diterima retina. Mata menangkap panjang gelombang cahaya, tetapi otaklah yang memproses dan memberikan “arti” pada warna tersebut.

Inilah sebabnya mengapa kita bisa mengalami ilusi warna, di mana dua orang bisa melihat warna yang sama secara berbeda atau melihat pola yang tidak ada.

Menurut artikel Scientific American, warna yang kita lihat adalah hasil konstruksi otak. Retina mengirimkan sinyal ke otak dan otak menafsirkannya berdasarkan konteks, cahaya sekitar, dan pengalaman sebelumnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa persepsi warna manusia bukanlah representasi objektif dari dunia. Warna yang kita nikmati sehari-hari adalah hasil kompromi antara realitas fisik dan interpretasi otak.

Dengan kata lain, warna yang kita lihat hanyalah versi “terjemahan” dari dunia nyata, selalu ada kemungkinan bahwa ada nuansa yang terselip atau bahkan tidak kita sadari sama sekali.

Warna, realitas, dan imajinasi

Setelah memahami bahwa mata manusia hanya menangkap sebagian spektrum cahaya dan otak menafsirkan warna berdasarkan konteks, lalu muncul pertanyaan. Apa arti semua ini bagi kita? Dunia yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan visual yang ada. Warna yang kita nikmati setiap hari hanyalah hasil interpretasi otak terhadap gelombang cahaya tertentu.

Fenomena ini membuka ruang bagi imajinasi. Misalnya, konsep warna yang tak terlihat oleh manusia bisa menjadi inspirasi dalam seni, desain, dan teknologi. Seniman dapat bermain dengan ilusi optik, ilmuwan dapat menciptakan sensor multispektral, dan pengembang teknologi augmented reality dapat “menambahkan” warna baru yang selama ini tak terlihat. Keterbatasan persepsi manusia justru mendorong kreativitas dan inovasi.

Kesimpulannya adalah warna bukan hanya tentang panjang gelombang cahaya, tapi juga tentang bagaimana manusia merasakan, menafsirkan, dan membayangkan dunia.

Dunia visual yang kita anggap “nyata” hanyalah versi yang dibatasi oleh mata dan otak kita, sementara realitas sesungguhnya penuh kemungkinan warna yang tak pernah kita lihat dan hanya bisa dijelajahi melalui sains, teknologi, dan imajinasi.

Tak hanya ultraviolet dan inframerah saja yang sukar dilihat langsung oleh mata manusia. Ada banyak “spektrum terlarang” lainnya di alam semesta yang dapat dijelajahi di masa depan dengan bantuan piranti teknologi, sains hingga imajinasi tersebut.

Yogi Pranditia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top