Tanpa Uang Apakah Kita Masih Manusia?

Ilustrasi seseorang yang punya banyak uang. Foto: Kaskus

JAKARTA Bayangkan pagi tanpa transaksi, tanpa dering notifikasi pembayaran, tanpa saldo yang perlu dicek. Dunia seolah lebih sunyi, tapi juga lebih asing. Kita mungkin masih tersenyum, masih berjalan, masih berbicara, tapi kehilangan sesuatu yang selama ini jadi denyut kehidupan modern: uang.

Di zaman ini, uang bukan hanya alat tukar, tapi bahasa universal yang menilai segalanya, dari rasa lapar sampai harga diri. Namun, jika uang lenyap seketika, apakah manusia benar-benar bebas? Atau justru kehilangan “cermin” untuk mengenali dirinya?

Kita hidup di dunia di mana nilai manusia seringkali ditakar dari nominal, bukan moral. Maka, hilangnya uang bukan sekadar kehilangan benda, tapi kehilangan sistem yang selama ini membuat kita merasa “berfungsi”.

Di titik itu, barangkali kita akan menyadari yang membuat kita manusia bukanlah kemampuan mencintai, tapi kemampuan menghitung.

Tanpa uang dunia kehilangan logika dasarnya, sebab seluruh sistem kita, mulai dari pendidikan hingga cinta, dibangun di atas konsep nilai tukar. Bayangkan toko tanpa harga, pekerjaan tanpa gaji, bahkan negara tanpa pajak. Pada awalnya mungkin terasa utopis seperti kembali ke masa ketika manusia saling berbagi tanpa pamrih. Tapi cepat atau lambat, kekacauan akan muncul dari hal yang paling manusiawi: keinginan.

Manusia tidak pernah benar-benar setara, selalu ada yang lebih kuat, lebih pandai, lebih berkuasa. Ketika uang lenyap, bentuk baru dari “mata uang” akan muncul, kekuasaan, tenaga, informasi, bahkan pengaruh sosial.

Yang punya kemampuan bertahan hidup akan jadi “kaya”, sementara yang tidak, kembali menjadi budak sistem, hanya saja tanpa kertas dan logam. Dunia tanpa uang, pada akhirnya, bukan dunia tanpa ketimpangan, tapi dunia dengan bentuk ketimpangan baru yang lebih halus dan lebih kejam.

Manusia dan ketergantungan pada nilai

Bayangkan dunia tanpa harga, tanpa uang, tanpa angka yang menentukan seberapa layak seseorang disebut “berhasil”. Dunia seperti itu terasa asing, bukan karena tak mungkin, tetapi karena manusia sudah lama menjadikan nilai sebagai candu yang mengatur ritme hidupnya.

Kita bekerja bukan sekadar untuk hidup, tetapi untuk menjaga angka di rekening tetap berdenyut. Kita menakar arti diri lewat angka di slip gaji, bukan lagi lewat ketenangan hati. Padahal, di balik semua perhitungan ekonomi itu, manusia hanyalah makhluk yang butuh rasa cukup, bukan sekadar cukup uang, tapi cukup makna.

Penelitian dari Journal of Financial Services Marketing berjudul Psychological Needs and Financial Well-Being: The Role of Consumer Spending Self-Control menemukan bahwa kesejahteraan finansial seseorang lebih erat kaitannya dengan kontrol diri dan pemenuhan kebutuhan psikologis dibanding sekadar jumlah uang yang dimiliki.

Artinya, rasa aman dan bahagia tak lahir dari dompet tebal, melainkan dari kemampuan menyeimbangkan keinginan dan kebutuhan dari keheningan yang tahu kapan harus berhenti mengejar.

Namun, dunia modern mengajarkan kita sebaliknya: bahwa tanpa uang, kita bukan siapa-siapa. Padahal mungkin, justru karena uang, manusia mulai kehilangan siapa dirinya. Kita menjual waktu, menukar mimpi, dan meminjam arti hidup dari sesuatu yang seharusnya hanya alat.

Pada akhirnya, ketergantungan pada uang bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga tragedi eksistensial, saat manusia lupa bagaimana rasanya bernilai tanpa angka.

Dunia yang tak lagi dihitung

Bayangkan jika uang lenyap, tidak ada harga, tidak ada gaji, tidak ada angka yang menodai hubungan manusia dengan nilai. Mungkin saat itu dunia akan tampak lebih adil, karena materi tak lagi jadi tolok ukur.

Namun kenyataannya, manusia telah begitu lama menjadikan uang sebagai jangkar eksistensi. Tanpanya, banyak yang tak lagi tahu bagaimana menilai dirinya sendiri.

Menurut survei Bankrate bulan Maret 2024, 47% orang dewasa di Amerika mengaku bahwa masalah keuangan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental mereka. Uang bukan sekadar alat tukar, melainkan beban emosional yang terus membayang di pikiran.

Selain itu, studi dari Applied Research in Quality of Life mengungkap bahwa kekhawatiran finansial memiliki asosiasi positif signifikan dengan tekanan psikologis. Semakin besar kecemasan terhadap uang, semakin berat beban mentalnya.

Tanpa uang, manusia mungkin kehilangan ukuran eksternal untuk mengatakan “aku cukup” atau “aku berharga”. Namun mungkin, justru di titik itulah manusia bisa mulai belajar menilai diri sendiri berdasarkan nilai-nilai bukan material: kesetiaan, kasih, kreativitas, dan solidaritas. Sebab terkadang, angka-angka yang hilang membuka pintu ke nilai-nilai yang selama ini tertutup.

Baca Selengkapnya: Panduan Bertahan Hidup dari Serangan Zombie, Antara Logika dan Insting Primitif

Kita sering berpikir uang adalah alat kebebasan. Padahal, dalam diam, uanglah yang mengekang manusia lebih kuat dari rantai besi mana pun. Kita bekerja bukan karena ingin hidup, tapi karena takut tidak punya cukup uang untuk hidup. Di dunia yang tanpa uang, mungkin rasa takut itu akan lenyap, tapi apakah manusia siap kehilangan alasan yang membuatnya bangun setiap pagi?

Seorang ekonom dan psikolog, Dan Ariely, dalam wawancaranya bersama CNBC Make It menjelaskan bahwa manusia modern seringkali tidak bekerja untuk mencari kebahagiaan, tetapi untuk menghindari ketidakpastian.

“Orang tidak bekerja hanya demi uang. Mereka bekerja untuk merasa aman, dan ilusi keamanan itu seringkali datang seiring dengan gaji yang diterima.” – Dan Ariely.

Dalam konteks ini, uang bukan hanya medium ekonomi, tapi juga psikologis, semacam jimat yang membuat manusia merasa masih punya kendali atas hidupnya. Namun ironi muncul ketika kendali itu justru membentuk penjara. Kita mengejar uang untuk merasa aman, tapi rasa aman itu tak pernah datang, sebab angka di rekening tak punya ujung pasti.

Jika dunia tanpa uang benar-benar ada, mungkin sebagian manusia akan kehilangan arah. Tapi sebagian lainnya, mungkin untuk pertama kalinya, akan benar-benar bebas.

Dunia tanpa harga

Bayangkan dunia tanpa uang. Tak ada angka di layar ponsel, tak ada transaksi di balik senyum kasir, tak ada dompet yang berat karena logam, atau hati yang ringan karena saldo bertambah. Manusia akan kembali menilai sesuatu bukan dari harga, tapi dari makna. Seikat bunga tidak lagi setara dengan segelas kopi mahal, dan sebuah pelukan tak lagi dikonversi ke angka rupiah.

Namun, dunia seperti itu bukan hanya tentang kebebasan, ia juga tentang kehilangan arah. Tanpa uang, manusia mungkin akan kembali pada barter emosi dan nilai-nilai lama, tapi siapa yang menjamin keserakahan tak akan menemukan bentuk barunya?

Kita mungkin menukar emas dengan rasa hormat, cinta dengan kekuasaan, dan bahkan kebaikan dengan pengakuan. Karena uang hanyalah simbol, yang sejatinya menggantikan kehendak manusia untuk memiliki lebih.

Jika suatu hari uang menghilang, manusia tetap akan menciptakan versi baru darinya. Entah berupa waktu, perhatian, atau pengaruh. Karena haus akan “lebih” telah menjadi bagian dari darah peradaban.

“Dunia tanpa uang tak akan membuat manusia berhenti membeli, mereka hanya akan mengganti harga dengan ego.”

Rasinesia

1 komentar untuk “Tanpa Uang Apakah Kita Masih Manusia?”

  1. Pingback: Dibayar untuk Dosa, Menyelami Akar Prostitusi sebagai Pekerjaan Tertua – Rasinesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top