
JAKARTA – Daniel Baskara Putra atau lebih dikenal dengan mononim Hindia, adalah penyanyi-penulis lagu, produser rekaman, dan komposer Indonesia. Dikenal sebagai vokalis dari grup musik rock .Feast, Baskara juga merupakan frontman dari grup yang dibentuknya, Lomba Sihir.
Di bawah nama Hindia, Baskara menampilkan sisi dirinya yang paling jujur, reflektif, dan kritis terhadap isu-isu sosial modern.
Lagu bukan sekadar melodi dan lirik, melainkan cermin yang terkadang buram, sering kali juga jernih yang merefleksikan keresahan sang pencipta.
Dalam diskografi Hindia, proyek solo dari Daniel Baskara Putra, lagu Untuk Apa/Untuk Apa? yang terhimpun dalam album Menari dengan Bayangan (2019), berdiri sebagai salah satu karya introspektif terbaiknya.
Lagu ini bukan hanya sebuah pertanyaan, melainkan sebuah kritik yang menusuk tentang ambisi berlebihan di kehidupan modern yang sering membuat kita kehilangan esensi menjadi manusia.
Refleksi Hindia ketika hidup bukan sekadar bekerja
Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Authenticity yang dipandu oleh Soleh Solihun dan Ari Lesmana, Baskara menceritakan proses penciptaan lagu ini. Ia merasa bahwa sebagai seorang solois, ia memiliki waktu seumur hidup untuk menulis. Namun, dalam perjalanan 25 tahun hidupnya, muncul sebuah kesadaran:
“Gue udah tahu banget jawaban dari hidup gue. Gue mau ngapain, gue mau jadi apa, apa yang mau dikejar. Pada akhirnya gue merasa tidak semua harus dikejar.”
Kesadaran inilah yang kemudian dirangkum menjadi lagu Untuk Apa/Untuk Apa?. Baskara menyadari bahwa fokus yang berlebihan pada pencapaian, harta, dan karier dapat mengikis hal-hal berharga lainnya. Lirik ini menjadi pengingat yang menyakitkan:
Mengejar mimpi sampai tak punya rasa
Mengejar mimpi sampai lupa keluarga
Mengejar mimpi lupa dunia nyata
Mengejar mimpi tapi tidak bersama
Analogi arsitektur dan mitologi, membongkar makna yang berlapis
Untuk menyampaikan pesannya, Baskara yang dijuluki “Nabi Gen Z” memainkan peran sebagai penyair dan pemikir, menggunakan analogi yang kaya, mengubah makna kata sederhana menjadi penggambaran kompleks.
1. Rumah dan kekayaan yang kosong
Lagu dibuka dengan gambaran sebuah “rumah yang dahulu sederhana” namun kini berubah. Baskara mengaku suka menulis lagu di mana makna sebuah kata kunci berubah sepanjang album, dan di lagu ini, “rumah” menjadi analogi sentral.
Baca Selengkapnya: “Tabola Bale” Kolaborasi Silet Open Up, Jacson Zeran, Juan Reza dan Diva Aurel Raih Penghargaan Youtube Music Academy 2025 Sebagai Most Subscriber Gained Artist
Awalnya adalah tempat dibangunnya cita-cita, namun kemudian berubah menjadi simbol kekayaan dan harta yang dibangun tanpa kehangatan.
Rumah ini dahulu sederhana
Ruang demi ruang dibangun bersama
Tak sadar menimbun yang lebih berharga
Berdiri di atas yang lebih bermakna
Penggunaan analogi arsitektur terus berlanjut pada frasa “anak tangga yang berlebihan jumlahnya” yang menggambarkan sebuah pengejaran tanpa henti “Mendaki terus entah mau ke mana?”
2. Keras kepala, satwa langka, dan godaan dunia
Baskara menyelipkan referensi mitologi dan fabel untuk memperkuat pesannya: Medusa. Medusa, tokoh mitologi Yunani yang membuat orang menjadi batu, digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keras kepala dan apatis terhadap lingkungan sekitar karena terlalu fokus pada ambisi:
Mengelak, kerap kutemukan jawabnya / Medusa dan semakin keras kepala
Ia bahkan menjelaskan bahwa lirik ini juga menyindir dirinya sendiri yang berambut keriting.
Kemudian satwa langka: keinginan untuk meraih segala pencapaian digambarkan sebagai pengejaran “satwa langka”, yang saking kerasnya, kita “melintah lupa jadi manusia”. Ini adalah sindiran tentang orang yang menghalalkan segala cara demi ambisinya.
Setelah itu Hawa dan Dewa Siwa. Tidak berhenti di situ, lirik juga masuk ke ranah mitologi agama dan dongeng. Analogi Hawa yang tergoda buah terlarang digunakan untuk menggambarkan godaan duniawi yang tidak ada habisnya.
Sementara referensi Dewa Siwa disandingkan untuk menggambarkan keserakahan manusia yang selalu merasa butuh banyak hal, padahal sebagai manusia “hanya bertangan dua.”
3. Kesendirian di puncak pengejaran
Ironi terbesar dari ambisi ini digambarkan dengan gamblang dan menyedihkan:
Kasur yang luas tapi bangun sendiri
Mobil baru mengkilap tanpa penumpang di kiri
PS4, nintendo switch tanpa player dua
Ini adalah potret kesuksesan material yang didapatkan dengan mengorbankan relasi, semua kemewahan tersebut terasa hampa karena tidak ada orang terdekat yang mendampingi untuk menikmatinya.
Makna ‘Cemara’ dan apa yang tak bisa dibawa mati
Pada bagian bridge yang kuat, Baskara menyatukan semua referensi agama dan mitologi (yang mengambil dari Hindu, Buddha, Kristen, Islam, dan Yunani) untuk mengingatkan tentang akhir dari segalanya.
Terlepas apa yang engkau percayai
Tetap takkan ada yang dibawa mati
Di bagian ini, makna “rumah” kembali berubah. Jika di awal rumah adalah harta, di akhir rumah adalah simbol kemanusiaan, yang diwakili oleh “cemara”. Baskara menjelaskan, cemara diartikan sebagai rumah keluarga di Indonesia, dan pada akhirnya, rumah itu bukan lagi soal harta melainkan orang yang berharga, seperti Ibu.
Lagu ini ditutup dengan kenangan personal “ikat rambut yang tertinggal” dari pasangan yang hilang karena fokus pada ambisi. Benda kecil yang dulunya “tak ada apa-apanya,” kini menjadi sesuatu yang “lebih berat dari seribu ton”.
Sebuah penyesalan akan hal berharga yang telah disia-siakan. Lagu Untuk Apa/Untuk Apa? adalah sebuah karya yang padat, konseptual, dan jujur. Ini adalah pengingat keras dari Baskara Putra bahwa kita harus sesekali berhenti berlari dan bertanya pada apa yang sedang kita kejar. Karena pada akhirnya, segala ambisi yang dikejar sendiri-sendiri, serta surga yang ditimbun tanpa bisa dibagi, hanya akan berujung pada wafat sendiri-sendiri.
Lagu ini, menurut Baskara, termasuk tulisan terbaik yang pernah ia tulis karena kedalaman konsep dan maknanya yang Panjang.
Afny Dwi Sahira kelahiran Ponorogo, 25 Maret 2006. Merupakan seorang Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Aktif menulis dan mencintai dunia seni dan saat ini bergabung dalam Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas.
Afny Dwi Sahira
Pingback: Lalahuta Hadirkan Suasana Cinta Baru Dalam Lagu Terbaru Berjudul “Cincin” – Rasinesia